darusyahadah.com | Hari itu Selasa, 15 Desember 2020 pukul 02.15 WIB, Hiace armada yang mengangkut rombongan meluncur meninggalkan gerbang timur De-es. Bismillahirrahmanirrahim, bismillahi tawakkaltu ‘alallah, subhanalladzi sakhkhara lana hadza ….
Suasana malam begitu hening, jumlah kami 15 orang, ada direktorium ada juga 8 asatidzah kabag lainnya termasuk sopir. Lokasi yang akan dituju bagi saya yang jarang bepergian lumayan jauh, Mojokerto, Jawa Timur.
Yesss… ceritanya ziyarah ma’hadiyah, menyelami samudra silaturrahim sambil nyeruput kopi pengalaman ke Pondok Riyadhul Jannah atau biasa disebut dengan Rijan.
Saya tidak akan menceritakan suasana perjalanan dinihari yang walaupun diawali dengan canda ringan diselingi kantuk, karena kelelahan di siang harinya. Singkat cerita, sekitar pukul 05.30 pagi kami sudah memasuki wilayah Mojokerto dan berhenti di sebuah masjid yang cukup asri untuk sekedar MCK dan ganti pakaian, masjid An Nuur namanya karena lokasi yang dituju sudah sangat dekat. Setelah mampir di warung makan ‘Sederhana’, kami bersiap untuk melanjutkan perjalanan yang kurang-lebih tinggal 500 meter lagi untuk menuju lokasi.
Saat keluar dari teras warung tersebut pandangan saya tertuju ke arah timur tepatnya di atas sebuah bukit tampak beberapa bangunan bertingkat nan mentereng bertengger kokoh bagai pilar menyangga gunung. Emang itu pondoknya, ujar Ustadz Anwar yang pernah bertandang ke pondok pavoritnya para pengusaha tersebut.
Tepat pukul 08.30 kami sudah tiba di lokasi pesantren berudara sejuk tersebut. Masya Allah, beberapa anak muda berpakaian putih-putih, berpeci dan bersarung bersama sosok pria berumur telah menunggu berjejer di pintu gerbang. Dengan ramah mereka mempersilahkan kami untuk masuk. Kami pun dibawa ke sebuah lokal bangunan tingkat yang cukup longgar untuk menampung rombongan. Kamipun menduduki dua deret kursi sofa berhadapan, dan beberapa kursi kayu klasik yang tertata rapi. Saya menoleh ke dinding sebelah kanan yang berderetkan pintu-pintu. Ternyata lokal tersebut terdiri dari kamar-kamar berukuran besar yang jika berbaring di lantai karpet merahnya perkamarnya bisa muat 12 orang. Kamar tersebut cukup lengkap mulai dari dipan beserta kasur busa dan bantal gulingnya, 2 buah kasur lainnya bersandar di satu dinding dengan ketebalan yang berbeda. Sepertinya untuk cadangan jika tamu perkamar jumlahnya melebihi 2 orang bisa digelar di lantai samping kiri-kanan dipannya. Dan jangan lupa meskipun tidak terkesan mewah, kamar tersebut ada kamar mandinya lengkap dengan shower air hangat, alat mandi dan cermin.
Sekilas kamipun bertanya dalam hati, inikah ruang pertemuannya? Tak lama kemudian datang seorang berbaju putih dengan santun mempersilahkan kami untuk beristirahat sejenak atau barangkali mau bersih-bersih, bahkan akan disiapkan sarapan pagi. “Antum semua kan habis menempuh perjalanan jauh jadi istirahatlah dulu barang sejenak” ujar seorang ustadz muda yang ternyata putra pertama dari istri keempat kyai karismatik pendiri atau pengasuh pondok tersebut. Dikiranya kita belum sempat mampir berkemas ganti baju, sarapan de el el. Padahal kita sudah pasang kuda-kuda, siapa tahu sesampainya di lokasi acara pertemuan langsung dimulai tanpa ada sarapan terlebih dahulu mengingat sudah beranjak siang.
Ternyata bukan sekedar SOP tapi memang sudah menjadi karakter asatidzah maupun santrinya sedemikian istimewanya memperlakukan tamu dan memang demikianlah Islam mengajarkan. Akhirnya setelah kami sampaikan bahwa sudah sempat mampir untuk persiapan dan sarapan maka disepakati untuk memulai acara setelah 30 menit kemudian.
Sekitar pukul 09.00 WIB acara pun dimulai. Ust H.M. Ainur Rafiq, Lc yang menjabat sebagai salah satu mudir mengawali cerita santainya dengan sejarah berdirinya pondok yang penuh liku mulai dari satu tempat berpindah ke lokasi yang sekarang ini. Dengan keuletan dan kegigihan KH. Mahfudz Syaubari, MA sang pengasuh dan pendiri pesantren akhirnya mencapai segala yang diimpikan. Menjadi pesantren yang bukan hanya menjadi pilihan para orang tua atau wali untuk menitipkan anak-anak mereka tapi juga menjadi rujukan para pengusaha dan kepercayaan para investor. Tidak berapa lama kami diajak berkeliling pesantren dimulai dengan memasuki sebuah ruangan berinterior papan atas bak hotel mewah bintang lima dan jangan heran semuanya adalah hasil karya santri. Lalu menuruni tangga menuju area beberapa kolam berukuran besar memanjang berair jernih dari air sungai pegunungan. Suara gemericik airnya menambah keindahan dan terkesan natural. Tampak ikannya banyak, sehat-sehat dan besar-besar. Di lorong-lorong bawah dak tangga atau pagar bangunan selain kolam ada juga berbagai macam unggas.
Sembari berjalan menikmati kekaguman, kami juga ditunjukkan ke lokasi-lokasi penting beserta fungsinya. Ada sebuah ruangan yang isinya berbagai macam fashion atau aksesoris yang dari A sampai Z nya dikerjakan oleh santri.
Selanjutnya kami menaiki tangga demi tangga, sambil mendengarkan penuturan ustadz yang semakin seru aja. Pesantren memiliki banyak unit usaha atau PT yang meraup keuntungan milyaran rupiah. Mulai dari kerajinan tangan, konveksi, resto hingga loundry yang kini sudah mulai banyak membuka cabang dan semuanya dikelola oleh santri atau alumni. Semua santri Rijan gratis bahkan mendapat uang saku hasil usaha atau keterampilannya. Masing-masing bekerja secara terjadwal sesuai minat dan bakatnya, mulai dari kebersihan lingkungan, dapur lauck pauck, loundry, hingga interior bangunan atau arsitek. Tak heran jika mengangkat batu saja didoktrin untuk dibayangkan seolah mereka sedang membangun istana dan berharap batu-batu tersebut mendatangkan keberkahan, maka tak jarang setiap batu yang diangkat untuk bangunan diniatkan lillah dan dibacakan kalimah thayyibah. Para santri dipahamkan bahwa dengan 2 jam kerja saja sudah bisa memberi makan untuk diri dan kawannya, bagai mana jika 8 jam? Dan yang tak kalah penting mereka diajari kemandirian, dibimbing bagaimana memenej waktu dan kerja, dimulai dengan kedisiplinan mengelola uang hasil keringat sendiri. Maka setiap santri yang mendaftar disyaratkan 3 hal ; pertama tidak boleh menerima uang jajan dari orang tua, kedua tidak merokok atau narkoba dan ketiga jika sudah lulus harus kembali ke tempat asal.
Tibalah di tangga teratas, kali ini kami mendapati sebuah ruangan luas semacam aula pertemuan berkelas nasional. Saat menengok ke bawah tampak pemandangan indah berupa hamparan tanaman sayur dan buah ada juga beberapa kolam baru, dan nun jauh di sana ada kilauan gedung-gedung kota. Tak terasa kamipun sudah dibawa kembali menuruni tangga. Dan sebagaimana yang dijanjikan kami akan diajak mengunjungi sebuah pesantren tahfizh yang dikelola oleh salah seorang menantu kyai, pesantren At Tin namanya. Setelah menempuh jarak sekitar 500 meter dan mulai memasuki kawasan yang kiri-kanannya berjejer tanaman menghijau, kamipun tiba di pesantren yang dituju. Kyai Fahmi mudir pesantren tahfizh tersebut menyambut kami dengan baik dan ramah. Beliau mulai menerangkan step by step metode yang beliau pakai buah karya hasil pengalaman dan kajian mendalam beliau sendiri. Metode tersebut tertuang dalam beberapa buku semacam pedoman mutaba’ah yang terdiri dari beberapa seri atau jilid. Hafalan yang disetorkan bukan memakai istilah muka atau lembar atau halaman tapi dengan istilah maqra. Ada banyak macam istilah metode atau managemen yang cukup menggelitik kami. Hampir semua istilah tersebut berupa singkatan misal ada yang disebut ‘aksi = ajak kawan semangat ibadah’ dan lain-lain.
Tanpa terasa azan dzuhur berkumandang. Saatnya kami shalat dan bersiap untuk pulang. Ust Khozin yang setia menemani pun mempersilahkan kami untuk kembali ke Rijan, karena makan siang telah disiapkan di sana. Maka setelah shalat dzuhur kami menuju ke ruang makan yang ada di lantai atas ruang peristirahatan atau ruang acara. Di sana telah tersedia berbagai menu tradisional berupa pepes, urap, otak-otak, goreng lele, sambal dan krupuk. Tidak lupa cuci mulut buah pisang dan nangka. Sesekali kami dilayani santri membukakan bungkusan pepes baru saat lauk di piring sudah habis. Ada juga santri yang berdiri menunggu kebutuhan para tamu di pojok luar ruangan yang sesekali menunjukkan tempat cuci tangan atau tisu.
Alhamdulillah kini saatnya kami kembali ke pondok tercinta Darusy Syahadah, rasanya sudah tak sabar ingin mempraktekkan apa yang didapat dari perjalanan yang menyenangkan ini. Di sepanjang perjalanan pulang tak henti-hentinya kami mengulang dan mengingat kembali apa yang kami dengar dan saksikan selama 3 jam di Rijan. Alhamdulillah ternyata ada hikmahnya obyek kedua Dalwa (Pasuruan) membatalkan baik-baik tidak jadi menerima tamu karena sikon. Kalau saja jadi ke 2 lokasi sebagaimana rencana awal, maka akan terburu-buru dan gagal fokus. Terimakasih Rijan. Mohon maaf jika ada keliru tulis nama atau tempat. Semoga report ini bermanfaat. (abufajri)