Kebenaran agama Islam, sebagaimana disabdakan baginda Nabi صلى الله عليه و سلم; “Layluha kanahaariha, malamnya seperti siang.” Terang benderang, sehingga tampak jelas dan tiada sedikit pun keraguan di dalamnya. Tetapi, orang-orang kafir, entah karena kedengkian ataupun rasa sombong yang menjangkiti hati mereka, selalunya mencari-cari celah. Berbagai cara dicoba untuk menyangkal kebenaran yang tak terbantahkan.
Para ahli sejarah, khususnya para sejarawan muslim yang menelusuri jejak rekam perjalanan umat ini, seperti Al-Khattib Al-Baghdadi dalam Taarikh Baghdaad, Ibnu ‘Assakir dalam Tabyiinu Kidzbil Muftaraa, Al-Qadhi ‘Iyadh dalam Tartibul Madaarik wa Taqribul Masaalik li Ma’rifati A’lam Madzhab Maalik, dan Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah, mereka semua, mengabadikan satu kisah yang sangat indah. Menakjubkan, menunjukkan kemuliaan dan harga diri dalam bingkai kecerdasaan seorang alim yang mantap jiwa.
Alkisah, ketika khalifah muslimin mendapatkan surat dari raja Romawi yang berisikan permintaan agar dikirimkan orang paling berilmu dari kalangan umat Islam. Maka digelarlah musyawarah perihal siapa orang yang layak untuk berdialog dan menjawab semua pertanyaan yang tingkatnya tidak sembarangan, karena akan berhadapan dengan kejumawaan orang-orang kerajaan.
Anak muda yang bernama Abu Bakar Al Baqillani diusulkan dalam majlis itu. Beliau, Al Baqillani rahimahullah, adalah salah seorang ulama Malikiyyah dari Bashrah yang sangat cerdas. Ahli dalam berbagai ilmu, juga memiliki kemampuan dialog seorang ahli hikmah; memberi jawaban telak dengan singkat dan tepat. Khalifah pun mengutus Al Baqillani sebagai duta yang harga diri agama dan bangsa dipertaruhkan kepadanya.
Al Baqillani menghadap ke istana raja begitu sampai di Romawi. Ternyata, sejak awal, sang raja mensiasati pertemuan ini untuk menjatuhkan utusan khalifah. Dengan sengaja ia duduk di singgasananya. Persis di hadapannya, telah disediakan satu pintu yang sangat kecil. Sehingga siapapun yang memasukinya pasti akan menundukkan kepala. Al Baqillani yang mengetahui hal tersebut, jiwanya tidak menerima diperlakukan dengan cara seperti itu. Harus menunduk di hadapan raja Nashrani? Sungguh tak sudi pikirnya. Maka beliau pun masuk dengan pantatnya terlebih dahulu dan membelakangi Raja Nashrani.
Majlis pun dimulai oleh sang raja, “Saya dengar, menurut agama kalian, bulan pernah terbelah untuk Rasul kalian?” “Benar!”jawab Al- Baqillani.
Raja, “Apakah kalian punya hubungan khusus dengan bulan, sehingga bulan hanya terbelah untuk kalian tapi tidak terjadi pada umat sebelum kalian?”
“Bagaimana dengan Al Maidah (hidangan makanan) yang turun dari langit untuk Isa?” tanya Al Baqillani, “Apakah kalian juga punya hubungan khusus dengannya sehingga tidak diketahui oleh masyarakat manapun kecuali kalian?”
Beberapa permasalahan dibahas dalam sidang itu. Tidak ada satupun ahli ilmu di sidang raja yang mampu mengalahkan Al Baqillani. Maka sang raja memutuskan untuk memanggil Paus tertinggi mereka. Sang Paus pun datang. Melihat kedatangannya, Al Baqillani terlihat sangat gembira, mengagungkannya, menyambutnya seolah kedatangan seseorang yang sangat ditunggu-tunggu. Dan benar, Al Baqillani menyampaikan kata-kata untuk Paus yang telah disiapkannya, “Apak kabar tuan? Apa kabar istri tuan? Apa kabar anak-anak tuan?”
Semua yang hadir terheran-heran dengan sambutan itu. Bahkan, sang raja pun menghardik, “Hei…tidak tahukah kamu kalau ini Paus yang suci dari semua itu (tidak menikah dan tidak punya anak)?”
Dengan santai dan elegan, Al Baqillani membungkam mereka semua, “Kalian sucikan Paus kalian dari istri dan anak, sementara kalian tidak menyucikan Tuhan semesta alam dari istri dan anak?!”
Paus yang mendengar langsung, berkata kepada raja, “Segera beri dia hadiah dan keluarkan dari negeri ini!”
The End. Intaha’ kalam.
Ditulis oleh: M. Faishal Fadhli
Editor : Yazid Abu Fida’