Tak ada asap, apalagi api. Entah kenapa, tiba-tiba aku diizinkan untuk menengok pondok tercinta. Padahal saat itu aku sedang PPL (Praktek Pengalaman Lapangan). Ya mungkin juga karena tempat PPL ku tidak jauh dari ma’had tercinta. Sehingga pihak sekolah tidak keberatan untuk mengizinkanku. Tapi, bukan ini yang aku risaukan. Pertanyaan besarnya adalah, ‘Seberapa pentingkah urusan orang tuaku sampai aku diizinkan menemui mereka di pondok?’. Hufth,, entahlah! Galau tingkat tinggi. Hasbunallah Wa Ni’mal Wakil…
Semuanya benar-benar di luar dugaan. Kuterperanjat terkaget-kaget saat mendengar ini semua. Rabbi.. secepat inikah? Setelah kucium dan kupeluk tubuhnya, ibu mulai menceritakan runtut dari awal sampai akhir. “Maksud kedatangan ibu kesini nak, hendak menyampaikan amanah dari seorang lelaki yang ibu pandang cocok untukmu. Benar nak, lelaki itu hendak melamarmu.” Cerita ibu mengawali episode-episode selanjutnya. “Alhamdulillah…” Ucapku lirih, berharap bahwa lelaki tersebut baik agamanya. Tak lama kemudian, ibu menyodorkan kertas persegi kecil yang sangat aku kenali. Ya, foto calon suami yang diajukan untukku. Perlahan, kuamati foto tersebut. Senyuman manis tersimpul untuk ibuku. Beliaupun optimis aku menerimanya. Karena, bagaimanapun juga aku harus bersikap manis dihadapan ibuku. Meskipun hatiku sedang tercabik-cabik. Kesedihan melanda hatiku. Bagaimana tidak sedih jika calonku kelak seperti ini? Dari mana keqowwaman suami bisa didapatkan jika agama saja minim?
Bertambahlah kesedihanku saat ibu menceritakan secara detail lelaki tersebut. Mulai dari background pendidikan yang S2, umur, sampai nasab pun ibu ceritakan lengkap. Karena ternyata ia tidak seperti yang aku bayangkan. Ibuku pun sangat berharap aku menerimanya. Setiap anak pasti ingin membahagiakan orang tuanya. Begitu juga sebaliknya. Ibuku ingin membahagiakanku dengan memilih dia sebagai calon suamiku kelak. Karena, calon suamiku ini tidak perlu dipertanyakan kekayaannya. Ya.. itulah mindset seorang ibuku, yang masih awam sekali dengan Islam. Sehingga beranggapan bahwa kebahagiaan itu diukur oleh banyaknya harta. Beliau masih menghitungnya dengan matematika dunia. Meskipun, di sisi lain beliau tersadar bahwa lelaki tersebut tidak sesholeh ustadz-ustadz pada umumnya. “Tapi, ia laki-laki baik dan berpendidikan”, tambah ibu meyakinkanku.
Beliau mengingatkanku akan masalah keluarga yang telah lampau. Sampai ibu tak kuasa membendung air matanya. Ibu menangis deras di hadapanku. Tak tega kumelihat ini semua, hingga aku ikut menangis juga. Atas dasar iba dan baktiku kepada ibu, kuterima permintaan ibu untuk lanjut ke ta’aruf. Sejenak kuterlupa atas prinsip hidupku. Ku ingin membanggakan orang tuaku. Mungkin dengan penerimaanku, meringankan beban beliau. Andaikan ibu tahu perasaanku, bahwa ini semua bukan menuruti kata hatiku. Jujur seadanya, saat itu aku benar-benar dilema antara bakti dan prinsip hidup.
Malam syahdu bumi Boyolali… Di saat mata-mata sedang pensiun dari tugasnya, kuniatkan diri untuk sholat istikhoroh, berharap mendapatkan petunjuk dan kemantapan dari-Nya. Benar-benar dilema. Pikiranku penuh.
Seminggu berlalu… aku mendapat kabar bahwa dia akan mengunjungiku ke ma’had. Beserta perwakilan dari keluarganya pun keluargaku. Setelah kami tentukan tempat yang tepat, kami bergegas menujunya untuk ta’arufan plus nadzor. Lagaknya, gaya orang kantoran. Perasaanku datar-datar saja. Tak ada getaran yang lumayan mengguncangkan hatiku. Berbeda saat bertemu dengan ikhwan yang keren dinnya. Banyak pertanyaan yang saling kami lontarkan. Satu hal yang membuatku janggal, ia mengaku bekerja di sebuah bank syari’ah milik negara. Kutatap wajah ibuku yang selalu berharap akku akan menerimanya. Tak lama kemudian, bibinya mendesakku agar segera menjawab saat itu juga. Hatiku masih gusar. Bingung menjawabnya hingga kupura-pura tidak mendengar perkataan bibinya. Sekali-kali kualihkan dengan pertanyaan lain. Hingga pertanyaan dilontarkan untuk ketiga kalinnya. Dengan gegabah dan pikiran pendek, akhirnya kuiyakan. Aku tersenyum manis. Ya.. senyuman munafik, karena sebenarnya hatiku menangis sekeras-kerasnya. Semua kulakukan agar tidak mempermalukan kedua orang tuaku. Bibinya menanyakan waktu yang tepat untuk melamarku. Kujawab, “Liburan semester ganjil, awal Januari 2015.”
Hari semakin bergulir, kumantapkan hati dengan memperbanyak istikharah. Berharap agar Allah memberi kemantapan antara aku dengannya. Namun, apalah daya? Justru aku mimpi, di sebuah masjid banyak sekali laki-laki yang sedang berkumpul. Mereka semua mengenakan baju koko putih dan berjenggot. Sangat kontras sekali dengan calon suami yang kemarin ta’aruf denganku. Oleh karena, kuyakin sekali bahwa ia bukan jodohku.
Cukup sulit bagiku untuk meyakinkan ke ibu mengenai hal ini. Mengingat background agama beliau, awam. Kuceritakan secara runtut tentang perasaan janggalku sejak bertemu dengannya. Pun tentang mimpiku. Akhirnya kuputuskan untuk berhenti sampai sini saja. Bagi ibuku, ini adalah hal yang memalukan. Tapi, aku berusaha untuk selalu meyakinkan ibu. Kulontarkan alasan kedua, yaitu tentang pekerjaannya yang di bank syari’ah. Kujelaskan ke ibu tentang bahaya riba dan pemakan riba. Dampak buruk bagi pemakan riba, dan lain sebagainya. Tak cukup sekali saja aku meyakinkan hal ini kepada ibu. Karena perasaan tidak enak kepada keluarga tersebut serta menjaga nama baik keluargaku sendiri. Rabbi… Sa’idnii…(tolonglah aku-edt)
Tak lupa juga, selalu kukonsultasikan hal ini kepada ustadzah yang menurutku bisa menyelesaikannya. Karena aku juga takut, jika suatu saat nanti ustadzah mempermasalahkannya. Bagaimana tidak? Aku pernah bertemu dengan lelaki yang bukan mahromku. Tapi, jawaban ustadzah cukup membuatku tenang. Kata ustadzah, “Gak papa.. Karena ini masalah darurat dan harus diselesaikan sekarang juga. Karena, jika tidak akan berakibat fatal.” Alhamdulillah… aku diizinkan ustadzahku untuk menelepon langsung ke pemuda tersebut. Demi Allah, semua ini kulakukan untuk menjaga din dan keistiqomahanku. Tapi, aku harus mencari waktu tepat untuk berbicara dengannya. Saran dan masukan dari teman-teman kuterima dengan hati yang lapang. Mereka dapat mencerahkan akalku untuk bisa berpikir jernih. Awalnya, aku putus asa. Aku bingung. Bagaimana cara aku menyelesaikan ini semua? Di sisi lain, kalau aku tidak menyampaikan hal ini ke mereka (keluarga laki-laki), bulan Januari depan mereka akan berkunjung ke rumahku untuk melamarku. Aku tidak mau hal ini terjadi.
Esok harinya, aku dipanggil ke kamar ustadzah untuk menerima telpon. Suara lembut di sebarang sana menyambutku. Ya.. ibuku. Beliau bertanya kepadaku apakah aku sudah menelepon dia? Kujawab, belum. Beliau mengabarkan kalau pemuda tersebut akan meninggalkan pekerjaannya menjadi pegawai bank seusai pembuatan TESIS S2 nya. Aku terkejut, shock, dan mengucurkan air mata mendengar kabar ini. Aku semakin shock saat mendengar kabar bahwa dia telah membeli emas untukku. Harapanku untuk memutuskan hubungan kepadanya luntur tiba-tiba. Aku benar-benar kecewa kepada ibu yang kurang mengerti isi hatiku. Andaikan ibu tahu, aku ingin menikah dengan orang yang sefikrah denganku. Bukan orang-orang seperti mereka. Aku ingin menjaga fitnah-fitnah dunia. Ku ingin menjadi muslimah shalihah sejati yang tetap berdiri untuk menegakkan din ini. Ku yakin, Allah mengerti niat baikku. Hatiku hampa, kering. Apa jadinya jika pemuda tersebut datang ke rumah Januari depan?
Kulewati hari demi hari dengan tangisan. Untuk kesekian kalinya aku bingung mau berbuat apa. Keluarga tidak ada yang mendukungku. Aku hanya bisa bercerita ke temanku dengan harapan untuk meringankan beban yang aku panggul. Tapi sama saja, air mataku terus mengucur hingga mataku membengkak besar. Orang-orang di sekitarku bingung, ada apa denganku. Sempat juga, aku ancam ibuku. Kalau Januari depan mereka datang ke rumah, aku tidak mau pulang. Seolah-olah aku ingin mempermalukan keluargaku di hadapan keluarganya. Saat itu aku takut, aku tahu ini semua khilaf. Tanpa sadar, aku bernada tinggi kepada ibu. Astaghfirullahal ‘Adziim…
Yang kubisa saat ini adalah hanya memperbanyak do’a kepada-Nya. Karena ku tahu, karena Allah pasti mendengar do’a-do’a hamba-Nya. Esok harinya, kuberanikan diri ini untuk meneleponnya. Kuawali pembicaraan tentang apa yang aku alami selama ini, setelah dipertemukan dengannya. Tentang istikharahku, mimpiku, perasaan hatiku, semuanya kuceritakan. Dia hanya tertawa mendengar penjelasanku. Kemantapan hati dan resiko jika aku menikah dengannya pun ku sampaikan. Alhamdulillah, dia menyelesaikannya dengan kepala dingin. Hingga akhirnya dia sendiri yang memutuskan untuk tidak lanjut ke sesi lamaran. Alhamdulillah.. Syukurku pada-Nya, tak lupa sujud syukurku pada Allah yang menskenario ini semua. Allah.. Engkau Mahasuci, semua yang kualami ini karena takdir-Mu.
D’ Michi Nazula, Grenjeng