Daftar Isi
Belajar dari Kisah Ibnu Hajar
Tetesan Air
Bagi yang pernah belajar di lembaga pendidikan Islam tentu tak asing lagi dengan kitab Fathul Bari.
Tulisan yang mengulas secara lengkap faedah hadits-hadits shahih dari Imam Bukhari tersebut merupakan karya monumental yang sangat populer.
Penulisnya adalah seorang Ulama Salaf yang sangat masyhur akan kealimannya. Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, demikianlah kita mengenalnya.
Ada kisah menarik dan unik tentang asal mula nama yang dikenal dari ulama karismatik ini.
Terlepas dari keautentikan kisahnya, ada hikmah yang bisa kita petik dari cerita yang ringkas ini.
Tersebutlah sebuah kabar tentang asal mula sebutan beliau, Ibnu Hajar atau dalam bahasa Indonesia berarti Anaknya Batu.
Ibnu Hajar kecil adalah anak yang luar biasa. Semenjak usia dini beliau telah kehilangan ayah dan ibundanya. Namun demikian, tidak berarti beliau menyerah begitu saja.
Tanpa kehadiran kedua orang tua, Ibnu Hajar kecil disekolahkan di sebuah Maktab (semacam lembaga pendidikan agama) ketika umurnya belum genap 5 tahun.
Pada awal mula beliau menuntut ilmu di sana, rasa sedih karena kepergian orang tua ternyata masih menggelayuti diri.
Hal itu pun sedikit berpengaruh pada proses belajarnya. Pelajaran yang disampaikan jadi terasa susah dihafal dan dipahami.
Hingga suatu waktu Ibnu Hajar kecil meminta izin kepada gurunya untuk sejenak keluar dari tempat belajar.
Setelah beberapa waktu berjalan dan berkeliling, beliau memutuskan untuk kembali menuju maktab karena mendung mulai datang.
Di tengah perjalanan kembali, hujan ternyata datang lebih cepat. Ibnu Hajar segera mencari tempat untuk berteduh.
Tibalah beliau di sebuah gua untuk berteduh. Tidak berapa lama kemudian hujan mulai reda. Beliau pun bersiap untuk bergegas.
Akan tetapi dari dalam gua tersebut beliau mendengar suara tetesan air yang terus menetes. Penasaran, Ibnu Hajar segera berjalan mencari sumber suara.
Tepat seperti apa yang diperkirakan, suara tersebut merupakan air yang menetes dari langit-langit gua dan menimpa sebuah batu besar.
Di batu itulah beliau kemudian melihat sebuah lubang yang berisi air.
Sejenak terdiam beliau lantas bergumam, “Air tersebut secara konsisten dan tekun menjatuhkan diri ke atas batu hingga membuat sebuah lubang.
Jika benda sekeras batu saja bisa berlubang dengan tetesan air yang lembut dan kecil, tentu akal dan hati jauh bisa lebih menerima kebenaran ketika terus diulang dan tekun.”
Setelah kejadian tersebut, Ibnu Hajar menjadi lebih semangat untuk belajar dan mencari kebenaran hingga menjadi sosok yang hebat dan diakui sepanjang sejarah.
Atas dasar kisah itulah beliau kemudian dikenal dengan sebutan Ibnu Hajar atau Anaknya Batu. Adapun nama asli beliau adalah Ahmad bin Ali.
Demikian cerita ini dinukil dari buku Biografi 60 Ulama Ahlus Sunnah, Syaikh Ahmad Farid, hlm. 937.
Istiqamah Sebagai Kunci
Ketekunan dan kontinuitas ternyata menjadi kunci bagi air yang lembut untuk mampu melubangi permukaan batu yang super keras.
Tidak hanya berlaku pada air dan batu saja, ternyata kehidupan kita pun juga sangat butuh dengan sikap tekun dan istiqamah.
Demikian sebagaimana sabda baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Diriwayatkan dari Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu meskipun sedikit.”
Ibnu Rajab Al-Hambali menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hadits tersebut adalah agar kita senantiasa pertengahan dalam beramal dan berusaha mengerjakan sesuai kemampuan.
Beliau juga menerangkan bahwa amalan yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah amalan yang terus menerus dilakukan (kontinu).
Beliau pun melarang kita untuk memutuskan amalan yang telah rutin dan meninggalkan begitu saja tanpa sebab.
Hal tersebut sebagaimana nasehat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau sampaikan kepada Abdullah Bin Umar.
Diriwayatkan dari Abdullah Bin Amr bin Al-Ash radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Abdullah, janganlah engkau seperti si Fulan.
Dahulu dia biasa mengerjakan shalat malam, namun sekarang dia tidak mengerjakannya lagi.” (HR. Bukhari no. 1152)
Adapun istiqamah dalam beramal memiliki beberapa keutamaan. Berikut diantaranya.
Pertama, amalan yang sedikit namun terus menerus dikerjakan secara rutin akan membuatnya langgeng dan tetap ada.
Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ingatlah bahwa amalan sedikit yang rutin dilakukan akan melanggengkan amalan ketaatan, dzikir, pendekatan diri pada Allah, niat, dan keikhlasan dalam beramal.
Juga akan membuat amalan tersebut diterima oleh Sang Khaliq Subhanahu wa Ta’ala.
Amalan kecil yang rutin dilakukan akan memberikan ganjaran yang besar dan berlipat dibandingkan dengan amalan yang besar namun sesekali saja dilakukan.” (Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, 3/133)
Kedua, amalan yang dilakukan secara istiqamah akan terus mendapat pahala.
Berbeda dengan amalan yang dilakukan sesekali saja –meskipun jumlahnya banyak-, maka ganjarannya akan terhenti pada waktu dia beramal.
Apabila seseorang meninggalkan amalan shalih yang biasa dia rutinkan karena alasan sakit, sudah tidak mampu lagi melakukannya, dalam keadaan bersafar atau udzur syar’i lainnya, maka dia akan tetap memperoleh ganjarannya.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika seseorang sakit atau melakukan safar, maka dia akan dicatat melakukan amalan sebagaimana amalan rutin yang dia lakukan ketika mukim (tidak bepergian) dan dalam keadaan sehat.” (HR. Bukhari no. 2996) Wallahu a’lam bishawab.