Marilah sejenak kita renungi lembaran sejarah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam yang begitu antusias menanti kedatangan bulan Ramadhan.
Bagi mereka saat-saat menanti Ramadhan tak ubahnya calon pengantin yang merindukan hari pernikahannya.
Jantung mereka berdebar-debar menunggu datangnya bulan suci tersebut. Menanti dengan cemas, akankah mereka diberi kesempatan, diberi panjang umur, untuk mereguk nikmatnya ibadah di bulan yang penuh barakah?
Sehingga jauh-jauh hari sebelum datangnya bulan tersebut, dua bulan sebelum Ramadhan, yaitu ketika bulan Rajab telah menghampiri, para sahabat selalu berdoa:
اللّهم بارك لنا في رَجَب وشَعْبَان وبَلِّغْنَا رَمَضَان
“Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban, serta pertemukanlah kami dengan bulan Ramadhan”. (HR. Imam Ahmad, Thabrani dan Al-Bazzar)[1]
Para sahabat menyadari betul, bahwa setiap detik di bulan Ramadhan adalah sangat bernilai dan berharga.
Mereka gunakan waktu-waktu yang ada dengan amal ibadah, bertaqarrub kepada Allah Yang Maha Kuasa.
Lisan mereka senantiasa basah dengan tilawatil qur’an, anggota badan mereka tak pernah kosong dari berbuat kebajikan.
Ramadhan adalah bulan mulia.
Allah akan mengampuni dosa yang telah lampau bagi orang yang shaum, begitu pula bagi orang yang menunaikan shalat malam dengan dasar iman dan mengharap pahala Allah.
Di sisi Allah, bau mulut orang yang shaum lebih wangi dari misk. Orang yang menyediakan berbuka akan mendapatkan pahala orang yang shaum tanpa mengurangi pahala orang yang shaum tersebut.
Dan ada satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, Lailatul Qadar.
Sungguh, bulan Ramadhan merupakan peluang emas untuk menutup kekurangan pada bulan-bulan selainnya.
Kesempatan untuk menambah bekal menuju perjalanan akhirat dan membebaskan diri dari azab neraka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam sangat menyayangkan orang yang menjumpai Ramadhan namun dosa-dosanya belum terampuni, ia tidak berusaha meraih pahala dan ampunan Allah Ta’ala di dalamnya.
Padahal Allah telah menebar maghfirah-Nya di bulan Ramadhan, Allah telah membuka lebar pintu ampunan.
Dalam sebuah hadits diceritakan;
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما صعد المنبر قال: “آمين آمين آمين”: فقالوا: يا رسول الله، علام أمنت ؟ قال: “أتاني جبريل فقال: يا محمد رغم أنف امرئ ذكرت عنده فلم يصل عليك، فقل: آمين. فقلت: آمين. ثم قال: رغم أنف امرئ دخل عليه شهر رمضان ثم خرج ولم يغفر له، قل: آمين. فقلت آمين. ثم قال: رغم أنف امرئ أدرك أبويه أو أحدهما فلم يدخلاه الجنة، قل: آمين. فقلت: آمين
“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam naik mimbar, tiba-tiba beliau mengucapkan amin tiga kali.
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau mengucapkan amin?”
Beliau bersabda: “Jibril datang menemuiku dan berkata: ‘Hai Muhammad, terhinalah orang yang tidak mengucapkan shalawat ketika namamu disebut. Ucapkanlah amin!’
“Maka aku mengucapkan amin.”
Kemudian Jibril berkata: ‘Terhinalah orang yang menjumpai Ramadhan, kemudian Ramadhan berlalu sementara dosa-dosanya belum mendapat ampunan. Ucapkanlah amin!’
“Maka akupun mengucapkan amin.”
Jibril melanjutkan: ‘Terhinalah orang yang masih memiliki ibu-bapak atau salah satu dari keduanya, namun orang tuanya tidak bisa menjadi perantara baginya untuk masuk surga. Ucapkan amin!’
“Lalu akupun mengucapkan amin.” (HR. Al-Bazzar, dan dishahihkan dalam kitab Al Jami’ Ash Shagir, no.75.)
Dari sini kita bisa mengambil pelajaran untuk senantiasa berusaha semaksimal mungkin menghiasi Ramadhan dengan amal shalih. Bukan sebaliknya, membiarkan Ramadhan berlalu begitu saja tanpa makna dan arti.
Padahal pintu-pintu kebajikan telah Allah buka lebar-lebar, pahala amal Allah lipatgandakan, dosa-dosa diampuni dan setan-setan telah dibelenggu.
Saat ini banyak kita jumpai kaum muslimin telah berbalik seratus delapan puluh derajat. Sebagian kaum muslimin justru merasa sesak dengan hadirnya bulan Ramadhan.
Mereka menganggap bahwa Ramadhan adalah belenggu bagi kebebasan mereka. Mereka tidak pernah tahu dan tidak bisa mengambil manfaat dari bulan yang berharga ini.
Sekedar renungan, menjelang shalat lebih banyak mana antara orang-orang yang shalat dengan orang yang berpuasa?
Jawabanya pasti banyak orang yang puasa dibandingkan dengan orang yang shalat.
Mereka tetep berpuasa meskipun tidak shalat. Mereka berpuasa seraya diiringi dengan kemaksiatan kepada Allah Ta’ala.
Seakan-akan mereka menjalankan puasa bukan semata-mata karena Allah, tetapi karena malu. Malu pada anak-anak, malu pada istri, malu pada teman-teman, dan sebagainya.
Inilah realita kuam muslimin hari ini dalam bulan Ramadhan.
Realita seperti ini sesungguhnya telah disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam sebagaimana dalam sabdanya;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ
“Dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda; Berapa banyak orang yang berpuasa hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja, dan berapa banyak orang yang mendirikan shalat malam hanya mendapatkan begadang saja.” (HR. An-Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Huzaimah dan Ibnu Hibban)
Hakekat puasa tidaklah hanya menahan dari lapar dan dahaga, akan tetapi menahan segala bentuk kemaksiatan kepada Allah Ta’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda; “Sesungguhnya puasa itu bukan menahan dari makan dan minum saja, hanyalah puasa yang sebenarnya adalah menahan dari laghwun (ucapan sia-sia) dan rafats (ucapan kotor).
Maka bila seseorang mencacimu atau berbuat tindakan kebodohan kepadamu katakanlah:‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa.” (HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim, dan dishahihkan dalam kitab Shahih Targhib)
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menerangkan: “Seorang yang berpuasa adalah orang yang anggota badanya berpuasa dari perbuatan-perbuatan dosa.
Lisannya berpuasa dari kata dusta, kata keji, dan ucapan palsu, perutnya berpuasa dari makanan dan minuman, kemaluannya berpuasa dari bersetubuh.
Bila dia berbicara, tidak berbicara dengan sesuatu yang merusak puasanya, bila berbuat, tidak berbuat dengan suatu perbuatan yang merusak puasanya, sehingga seluruh ucapannya keluar dalam keadaan baik dan manfaat”.
Terakhir mari kita tanyakan kepada diri kita sendiri.
Apakah pada hari-hari menjelang datangnya Ramadhan, hati kita berdebar-debar menanti dengan penuh harap akan kedatangan bulan suci tersebut?
Ataukah sebaliknya, kita sedih karena di bulan tersebut kita diwajibkan untuk menahan haus dahaga serta berkumpul dengan istri tercinta?
Jika demikian itu halnya, maka kita terancam menjadi orang yang terhinakan sebagaimana doanya malaikat yang langsung diamini oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Na’udzubillah! (Ust. Ahsanul Huda)
Footnote:
[1] Hadits ini dhaif karena ada dua perowi yang lemah yaitu Zaidah bin Abu Ruqad dan Ziyad bin Abdullah
Baca juga : Adakah Puasa Sunnah Sebulan Penuh di Bulan Sya’ban?