Salah satu adab pencari ilmu syar’I adalah menyebarkan dan mengajarkan ilmu yang telah dimilikinya. Jangan sampai ia menjadi orang bakhil dan menyembunyikan ilmu. Namun perlu diperhatikan bagi penuntut ilmu adalah bijak saat mengajarkan ilmu. Maksudnya menyampaikan ilmu sesuai dengan tingkat pemahaman orang yang diajar. Karena mengajarkan ilmu yang tidak mereka pahami, hanya akan menjadikan mereka bingung dan menolak kebenaran.
Allah pun mengutus para Rasul dengan bahasa dan kadar pemahaman kaumnya. Allah berfirman:
وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوۡمِهِۦ لِيُبَيِّنَ لَهُمۡۖ فَيُضِلُّ ٱللَّهُ مَن يَشَآءُ وَيَهۡدِي مَن يَشَآءُۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ ٤
“Kami tidak mengutus seorang Rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” (Ibrahim: 4)
Syaikh Al Alusiy menjelaskan, “Yaitu sesuai keadaan mereka, kesiapan mereka, sesuai akal mereka. Karena pembicaraan yang tidak mereka pahami tidak akan menghasilkan keterangan yang jelas.” (Ruhul Ma’ani, IX/382).
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda:
إِنَّا مَعَاشِرَ الْأَنْبِيَاءِ كَذَلِكَ أُمِرْنَا أَنْ نُكَلِّمَ النَّاسَ بِقَدْرِ عُقُوْلِهِمْ
“Kami para Nabi diperintahkan untuk berbicara kepada manusia sesuai dengan pemahaman akal mereka.” (Diriwayatkan oleh Ad Dailami dengan sanad yang dha’if)
Menyampaikan ilmu yang tidak dipahami oleh pendengar akan menjadikan mereka menolak kebenaran. Ada beberapa orang yang layak menerima suatu ilmu. Namun ada juga orang yang belum pantas menerimanya. Di antara pertimbangan ketika menyampaikan ilmu adalah kadar pemahaman akal pendengarnya. Imam Al Bukhari dalam kitab Shahihnya membuat Bab “Mengkhususkan satu kaum dengan ilmu tidak kepada kaum lainnya karena khawatir mereka tidak bisa memahami.” Kemudian beliau menyebutkan riwayat dari Ali bin Abi Thalib, berkata:
حَدِّثُوا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُونَ ، أَتُحِبُّونَ أَنْ يُكَذَّبَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ
“Berbicaralah dengan manusia sesuai dengan apa yang mereka ketahui. Apakah kalian suka jika Allah dan Rasul-Nya didustakan?” (Riwayat Al Bukhari)
Umar bin Al Khaththab juga berkata:
كَلِّمُوْا النَّاسَ بِمَا يَفْهَمُوْنَ أَتُرِيْدُوْنَ أَنْ يُكَذَّبَ اللهُ تَعَالَى وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan pemahaman mereka. Apakah kalian mau Allah dan Rasul-Nya SAW didustakan?” (Ruhul Ma’ani, IX/382)
Maksud berbicaralah sesuai yang mereka ketahui atau mereka pahami adalah berbicaralah sesuai dengan kadar (pemahaman) akal mereka. (Umdatul Qariy Syarh Shahihil Bukhari, III/417)
Dalam riwayat lain terdapat tambahan lafadz:
وَدَعُوْا مَا يُنْكِرُوْنَ
“Tinggalkan sesuatu (ilmu) yang (menyebabkan) mereka mengingkari.”
Maksudnya (ilmu) yang mutasyabih (sulit) bagi mereka memahaminya. Sehingga ungkapan ini terdapat dalil bahwa ilmu yang mutasyabih (sulit dipahami) tidak selayaknya disampaikan kepada orang-orang awam. Hal ini senada dengan perkataan Ibnu Mas’ud yang disebutkan oleh Imam Muslim dalam Muqadimah kitab shahihnya dengan sanad yang shahih, yaitu:
مَا أَنْتَ بِمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيثًا لاَ تَبْلُغُهُ عُقُولُهُمْ إِلاَّ كَانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةً.
“Tidaklah kamu menyampaikan hadits kepada suatu kaum yang tidak dipahami oleh akal mereka kecuali akan menjadi fitnah bagi sebagian mereka.” (Riwayat Muslim)
Yang demikian dikarenakan seseorang yang mendengar suatu ilmu yang tidak ia pahami dan tidak ia ketahui maka ia akan mengingkarinya disebabkan kebodohannya. Ia juga tidak akan mempercayai keberadaanya. Sehingga apabila ilmu yang disampaikan tentang Allah dan Rasul-Nya, maka akan menjadikannya mendustakan keduanya. (Umdatul Qariy Syarh Shahihil Bukhari, III/417)
Ilmu bukanlah barang murahan. Hendaknya seorang penuntut ilmu bisa mengukur kadar akal orang ketika berbicara dengannya. Boleh jadi ada tipe manusia yang belum layak mendapatkan ilmu yang detail. Sehingga bila dipaksakan bisa jadi menjadi fitnah baginya.
Imam Abu Bakar Al Ajuri berkata, “Menjadi kewajiban seorang alim dan pencari ilmu agar berlaku bijak dalam menyampaikan ilmu, menyimpannya terhadap orang yang memang belum saatnya menerima. Permisalannya adalah bagaikan seorang dokter yang memberi obat kepada pasien dengan pertimbangan obat itu berguna baginya.” (Akhlaqul Ulama’, hal. 38)
Demikianlah di antara yang perlu diperhatikan bagi ahli ilmu dan pencari ilmu, yaitu bijak saat menyampaikan ilmu kepada orang lain. Hendaknya setiap pencari ilmu menyampaikan ilmu sesuai dengan kadar pemahaman orang yang diajar. Karena ilmu yang tidak sesuai dengan kadar pemahaman akal pendengarnya akan menyebabkan ditolaknya kebenaran. Wallahu a’lam bish shawwab.