Tak selamanya tangis air mata itu menandakan kelemahan. Juga tak selalunya melambangkan sifat cengeng. Bahkan ia tidak bisa dimonopoli hanya untuk mereka yang diciptakan dari tulang rusuk. Namun terkadang ia datang melambangkan keksatriaan, menggambarkan ketegaran, melukiskan rasa cinta, harap dan terkadang rasa takut. Maka tak selamanya air mata tak boleh tertumpah.
Seingatku, dua kali aku meneteskan air mata dalam perjalananku berburu warisan Nabi. Setidaknya itu yang menurutku paling berkesan dalam memori sejarah hidupku.
Pertama kali, air mataku menitik ketika aku duduk di kelas 1 MTs. Kala itu pelajaran sedang berlangsung. Entah karena faktor apa, teman-temanku begitu susah untuk serius mendengar penjelasan ustadz. Penjelasan ustadz pun tak berbanding dengan ramainya obrolan temanku. Karena merasa tak mendapat penghargaan dalam penjelasannya, diam menjadi pilihan ustadzku hingga pelajaran berakhir.
Kala itu semangatku dalam thalabul ilmi (menuntut ilmu) masih membara. Sontak aku tak tega membiarkan ustadz memendam kesedihan karena ulah teman-temanku. Kutemuinya di kantor, ku meminta maaf atas ulah teman-temanku. Diam tetap menjadi pilihannya. Hanya beberapa patah kata yang terucap dari bibirnya. “Ya, semoga kamu jadi santri yang baik.” ucapnya. Kuambil air wudhu dan memojokkan diri di sudut masjid. Ku menangis, marah, jengkel kepada mereka yang membuatku terputus dari ilmu. Aku berdoa, semoga mereka dapat mengambil hikmah dari pilihan ustadz mendiamkan mereka. Dan aku berharap semoga ini terakhir kalinya ustadzku terhalang menyampaikan ilmunya tersebab ulah santrinya.
Dulu aku memang begitu rakus terhadap ilmu. Selama KBM tak sekalipun kepalaku bersentuhan dengan meja untuk menuruti nafsu tidurku. Pelanggaran (aturan pondok –edt) pun bisa dihitung dengan jari karena aku benar-benar menghargai proses thalabul ilmi yang menjadi poros kehidupanku. Namun, seiring pergantian waktu, pergaulanku dengan berbagai model manusia yang tak semuanya memberi pengaruh positif menjadikan perhatianku pada thalabul ilmi memudar. Mulai berani kurebahkan kepalaku berbantal buku yang nyaman. Perlahan pelanggaran demi pelanggaran mulai bergantian mengisi hidupku. Semangatku berthalabul ilmi mulai meredup.
Hingga 4 tahun setelah bulir-bulir air mata pertama jatuh. Allah menyadarkanku dengan teguran yang sangat keras melalui hamba-Nya. Suatu hari, di saat pelajaran, entah kenapa aku tidak memiliki ghirah (semangat –edt) untuk khusyuk mendengar penjelasan ustadz. Mungkin karena tugas yang begitu menumpuk, masalah yang belum juga kelar teratasi, tuntutan yang belum juga terpenuhi atau karena memang aku tak membawa buku pegangan. Semua itu bercampur menjadikan penjelasan ustadz begitu membosankan. Di saat itu menyembullah dari laci seorang kawan sebuah majalah. Daripada suntuk, kupinjam majalah itu untuk mengisi kekosongan otakku.
Kubaca dengan pedenya meskipun aku berada di deret bangku pertama. Kubaca dari awal pelajaran hingga menjelang akhir. Karena merasa tak diacuhkan, ustadz mendatangiku dengan raut wajah yang sulit kugambarkan. Dengan suara bariton, ia menegurku begitu dalam “Baca apa Akhi..? Majalah..? Antum meremehkan pelajaran saya..? Kalau antum merasa pinter, keluar..! Saya nggak butuh santri model kayak antum, lebih baik yang tidur daripada antum yang meremehkan.. Lebih baik antum keluar tidak ikut pelajaran saya daripada antum di sini menambah dosa..”
Bisa kalian bayangkan sobat? Betapa perihnya mendapat teguran seperti itu, susah untuk kubahasakan. Kuterdiam hingga pelajaran usai. Dalam diam, hatiku bergemuruh, sulit untuk menggambarkan cuaca yang melingkupi hatiku saat itu. Yang jelas aku begitu malu, malu dipermalukan seakan halnya pesakitan diadili dihadapan hakim dan penonton. Dalam emosi sesaat aku mengumpat, (dalam hati tentunya) “Beginikah cara ustadz mengingatkan muridnya,,? Tak bisakah menggunakan cara yang lebih santun yang tak menyuntikkan rasa malu bagi yang menerimanya..? Aku bukan Umar yang siap menerima kritik nasehat dihadapan rakyatnya. Dan aku bukan koruptor yang tanpa malu mengacungkan jempolnya mendapat vonis penjara.”
Setelah ustadz pergi, aku memojokkan diri, kukumpulkan kesadaran untuk bisa bangkit. Aku pun tersadar, aku memang salah, akulah yang membuatnya berbuat seperti itu. Aku berusaha menghilangkan dendam yang telah bersumbu. Dan aku menangis untuk kedua kalinya, bukan karena cengeng, bukan karena sakit hati atau merasa terhina diperlakukan tidak pantas, namun kuteringat tangis pertamaku. Dulu kumenangis karena jengkel pada mereka yang tak menghargai ustadz. Namun kini justru akulah biangnya yang paling meremehkan ustadz. Sifat yang dulu sangat kubenci. Dua tangis yang berbeda makna, namun justru tangisan kedua yang membuatku begitu bersyukur, akal sehatku berfungsi. Mana mungkin seorang ulama meremehkan ilmu dan pemiliknya. Semangat itu kembali, rancangan Alloh memang begitu indah.
Kutata kembali hatiku yang telah hancur. Kurangkai kembali puzzle-puzzle hikmah yang terserak. Aku yakin ini adalah anugerah terindah dari Allah untuk membangkitkan kembali ghirahku dalam thalabul ilmi. Teguran yang menjadikanku sadar bahwa istiqamah itu sungguh berat. Terakhir, melalui tulisan ini aku meminta maaf, terutama kepada ustadz yang menegurku. Maaf, sampai saat ini aku belum bisa meminta maaf. Bukan karena sombong, bukan karena benci ataupun dendam. Namun begitu kaku lidah ini berbicara kepada orang yang pernah menorehkan luka yang begitu dalam. Kumeminta maaf dalam diam. Sekali lagi, aku meminta maaf.
Santri De Es
Aman Haro Kalyubi
semoga memberi pencerahan dan semoga bermanfaat