BerandaRenunganSejarahDari Pesantren; Ulama-Santri Menyongsong dan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia

Dari Pesantren; Ulama-Santri Menyongsong dan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia

- Advertisement -spot_img

Pendahuluan

Peranan kaum ulama dan santri dari awal perjuangan merebut kemerdekaan hingga dapat menikmati suasana kemerdekaan saat ini tidak dapat diabaikan begitu saja. Merekalah yang memberikan keyakinan kepada rakyat Indonesia yang pada saat itu harga diri dan martabatnya sedang diinjak-injak penjajah dan dicap sebagai inlander atau bangsa rendahan. Dari gerakan perlawanan bersenjata hingga jalur diplomasi, keyakinan akan syahid-lah yang memberikan keberanian kepada mereka untuk melawan kaum kolonial Barat yang menggap dirinya sebagai ras kulit putih yang unggul.

Setelah perang Diponegoro, masih ada sekitar 130 pertempuran yang melibatkan kalangan pesantren demi bangsa Indonesia. Kemerdekaan merupakan hasil karya seluruh bangsa Indonesia, dan ulama-santri juga ikut andil. Hal ini menunjukkan bahwa pesantren memiliki andil dan kontribusi yang sangat besar bagi kemerdekaan Republik Indonesia.

Bagi pesantren, Indonesia adalah martabat dan harga diri, memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia adalah merebut harga diri, memperjuangkan cita-cita Proklamasi adalah memperjuangkan kemanusiaan. Bagi umat Islam khususnya para santri, Kemerdekaan RI adalah rahmat Allah seperti yang tertulis dalam prembule UUD ’45, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”

Beranjak Dari Tanah Suci, Pergerakan Dimulai Untuk Mengawal Kemerdekaan

Menguatnya pengaruh pesantren di Hindia-Belanda karena para ulama telah membangun suatu jaringan baik lokal maupun internasional. Dalam sepuluh tahun terakhir abad ke-19 dan memasuki abad ke-20, merupakan sebuah kurun waktu yang sangat penting. Jalur perhubungan yang menghubungkan asia-eropa semakin mudah dan cepat dengan dibukanya terusan suez yang membelah benua asia dan afrika pada kurun waktu ini, dan di Hindia-Belanda terjadi volume perjalanan haji.

Dengan meningkatnya jumlah jamaah haji, menunjukkan bahwa perkembangan dan kesadaran berbagai pemikiran mengenai Islam di timur tengah dapat secara paham baru mengenai ajaran Islam. Pengaruh dan pemikiran Islam dari arab tidak hanya dibawa oleh penduduk yang menunaikan ibadah haji, melainkan juga dibawa oleh kalangan muda Islam yang sedang dan pulang dari belajar Islam di jazirah arab dan sekitarnya.

Mereka ini kebanyakan ini kebanyakan kalangan muda yang memiliki latarbelakang santri atau berasal dari lingkungan pondok-pondok pesantren. Karena tingginya kehormatan dan peran yang dimiliki oleh para kyai di tengah masyarakat, maka dengan mudah mereka dapat membangkitkan gerakan-gerakan pemberontakan, dan bilamana para kyai ini bekerjasama dengan para pemimpin rakyat yang menentang Belanda, maka kerjasama tersebut sangat membahayakan penjajah Belanda.

Berbagai literatur tentang pemikiran Islam yang dibaca dan didapat dari guru-guru di timur tengah membuat mereka tumbuh menjadi sosok yang memiliki pemahaman dan wawasan yang terbuka tentang Islam. Beberapa nama yang bisa dicatat diantaranya; syeikh Nawawi Al-Bantani (Banten), syeikh Mahfudz At-Tarmisi (Termas, Pacitan), syeikh Ahmad Khatib Sambas (Kalimantan), kyai Abdul Ghani (Bima), kyai Arsyad (Banjar), kyai Abdul Shomad (Palembang), Kyai Kholil (Bangkalan), dan lain sebagainya.

Pulang ke Tanah Air, Menyusun Rencana Melawan Penjajah

Pada tahun 1912 KH. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah organisasi Islam modernis dan pembaharu yaitu persyerikatan Muhammadiyah. Setahun sebelum pendirian organisasi Muhammadiyah, pada tahun 1911 KH. Ahmad Dahlan telah mendirikan sebuah sekolah dasar di lingkungan kraton Yogyakarta.

Di susul pada tahun 1914 KH. Wahab Chasbullah bersama KH. Mas Mansyur mendirikan sebuah kelompok diksusi yang diberi nama Tashwiru Afkar atau potret pemikiran. Kemudian KH. Wahab Chasbullah juga membentuk Islam Study Club di Surabaya. Selain berhasil menarik kalangan pemikir Islam Tradisional, keberadaanya juga menarik minat para tokoh pergerakan lain termasuk para tokoh nasionalis-sekuler seperti pendiri dan pemimpin organisasi Budi Utomo, dr. Sutomo. Kemudian mendirikan kelompok kerja yang dinamakan Nahdlatul Wathan atau kebangkitan tanah air. Pergerakan ini melahirkan madrasah dengan corak nasionalis-moderat yang tersebar di daerah-daerah Jawa Timur dan dipimpin langsung oleh kedua kyai itu. Pada periode 1920-an, KH. Wahab terus bergerak bersama Abdullah Ubaid dan berinisiatif membentuk sebuah organisasi pemuda muslim dengan nama Syubbanul Wathan (pemuda tanah air) di Surabaya. Atas kesepakatan para ulama pesantren, akhirnya terbentuklah organisasi Nahdlatul Ulama’ (Kebangkitan Ulama) pada tahun 1926 di kota Surabaya, organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari sebai rais akbar.

Sudah menjadi komitmen kuat pada periode kolonial, bahwa para ulama-santri terus menjaga tradisi perlawanan melawan kolonial. Tradisi perlawanan ini tidaklah hanya didasarkan pada pembelaan terhadap salah satu pihak, tetapi karena tindakan kolonial Belanda yang menindas dan mengganggu tegaknya agama Islam. Banyak ulama-santri yang tidak pernah padam melakukan perlawanan terhadap kolonial sehingga meledakkan perang besar sepanjang sejarah, seperti Perang Jawa Diponegoro. Pasukan Pangeran Diponegoro selain terdapat para bangsawan juga dipenuhi para ulama-santri dari berbagai penjuru Jawa.

Para ulama-santri itulah yang di kemudian hari meneruskan perjuangan ketika Pangeran Diponegoro ditangkap. Tercatat dalam naskah Jawa dan Belanda bahwa ada 108 Kyai, 31 Haji, 15 Syeikh, 12 Penghulu Yogyakarta dan 4 Kyai guru yang turut perang bersama Diponegoro, setelah Pangeran Diponegoro ditangkap, mereka menyebar dan mendirikan basis-basis perlawanan dengan mendirikan masjid-masjid dan pesantren-pesantren jauh dari pusat-pusat tangsi Belanda. Beberapa pondok pesantren tua di Jawa, terutama Jawa Timur yang menyimpan kronik-kronik sejarah ini.

Kyai Abdullah Salam Jombang, Kyai Umar Semarang, Kyai Abdurrauf Magelang, Kyai Yusuf Purwakarta, Kyai Muta’ad Cirebon, Kyai Hasan Basyari Tegalsari Ponorogo dengan muridnya Kyai Abdul Manan Pacitan adalah nama-nama pionir terbentuknya kembali jaringan ulama nusantara baik di tingkat lokal maupun internasional. Di akhir abad 19 muncullah Syeikh Nawawi Banten yang meneruskan perjuangan Syeikh Yusuf Al-Makassari, Kyai Sholeh Darat yang meneruskan perjuangan ayahnya Kyai Umar Semarang, Syeikh Mahfuzh At-Tirmasi, cucu Kyai Abdul Manan, yang meneruskan perjuangan Kyai Hasan Basyari, Kyai Abdul Djamil dan Kyai Abbas Buntet Cirebon yang meneruskan perjuangan Kyai Muta’ad, dan Syeikh Hasyim Asy’ari serta Kyai Wahab Hasbullah keturunan Kyai Abdus Salam Jombang, dan masih banyak ulama lainnya. Ulama-ulama tersebut telah berhasil membangun jaringan ulama Nusantara yang menjahit keterkaitan hubungan antara guru-murid yang memiliki kontribusi penting bagi terbangunnya pergerakan nasional menegakkan negara dan bangsa Indonesia.

Upaya Ulama-Santri Serukan Resolusi Jihad Mempertahankan Kemerdekaan

Di saaat Perang Dunia II meletus dan Jepang menguasai Hindia-Belanda, para ulama terus berijtihad agar kemerdekaan RI segera terwujud. Memanfaatkan kelamehan Jepang yang terjepit oleh sekutu meski penindasan Jepan begitu kejam terhadap rakyat, para ulama mencoba membangun persiapan-persiapan menyongsong kemerdekaan.

Jepang memahami, kalangan Islam sangat penting dan memiliki posisi strategis, karenanya Jepang berupaya merangkul Islam, khususnya Islam-tradisional. Dalam konteks inilah laskar Hizbullah dibentuk untuk mempersiapkan kemerdekaan RI dan mempertahankannya.

Pada tanggal 22 Oktober 1945 ditetapkan seruan Resolusi Jihad yang dihasilkan oleh santri-santri pondok pesantren dari berbagai provinsi Indonesia yang berkumpul di Surabaya. Resolusi Jihad ini dikumandangkan sebagai jawaban para tokoh ulama pesantren yang didasarkan atas dalil agama Islam yang mewajibkan setiap muslim untuk membela tanah air dan mempertahankan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari serangan penjajah.

Resolusi jihad tersebut tidak semata-mata dimaksudkan sebagai perjuangan membela agama Islam saja, tetapi juga membela kedaulatan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan berbekal fatwa jihad yang diteguhkan dalam Resolusi Jihad tersebut, para pejuang pantang mundur menolak kedatangan kolonial. Resolusi Jihad tersebut menyeru seluruh elemen bangsa khususnya umat Islam untuk membela NKRI. Pertempuran 10 November 1945 meletus, laskar ulama santri dari berbagai daerah di garda depan pertempuran. Resolusi Jihad juga membahana di Semarang dan sekitarnya, bahkan telah mengiringi keberhasilan dalam Perang Sabil Palagan Ambarawa. Para laskar ulama santri juga terus melakukan pertempuran mempertahankan daerahnya masing-masing termasuk di tanah Pasundandan daerah-daerah lainnya.

Kirprah santri dalam membela negara tidak bisa dipandang sebelah mata. Pada tahun 1943-1945 hampir semua pondok pesantren membentuk laskar-laskar, dan yang paling populer adalah laskar hisbullah dan sabilillah. Pada kurun waktu tersebut kegiatan pondok pesantren adalah berlatih perang danolah fisik. Bahkan peristiwa-peristiwa pelawanan sosial politik terhadap penguasa kolonial, pada umumnya dipelopori oleh para kyai sebagai pemuka agama, para haji, dan guru-guru ngaji. Pada 21 oktober 1945, berkumpul para kiai se-jawa dan madura di kantor ANO (Ansor Nahdlatur Oelama).Setelah rapat darurat sehari semalam, maka pada 22 oktober 1945 dideklarasikan seruan jihad fi sabilillah yang belakangan dikenal dengan istilah “Resolusi Jihad”

Laskar hizbullah dan sabilillah didirikan menjelang akhir pemerintahan jepang, dan mendapat latihan kemiliteran di cibarusah, sebuah desa di kabupaten bekasi, jawa barat. Laskar hizbullah berada di bawah komando spiritual KH. Hasyim Asy’ari dan secara militer dipimpin oleh KH. Zaenul Arifin. Adapun laskar sabilillah dipimpin oleh KH. Masykur.

Nasionalisme Pesantren dan Jejaring Anti Kolonial yang Kokoh

Semangat nasionalisme memuat nilai-nilai yang compatible dengan ajaran Islam karena sebenarnya Rasullulah SAW sendiri telah memberikan contoh tentang bagaimana membingkai sebuah kehidupan dalam keberagaman di kota Madinah melalui kesepakatan yang terkenal dengan nama Piagam Madinah 1430 an abad yang lalu. Pada waktu itu Madinah merupakan sebuah kota yang dihuni oleh berbagai suku, baik itu yang berasal dari bangsa Arab maupun Yahudi dengan berbagai kepercayaan yang dianut. Sebelum kedatangan Rosulullah Muhammad SAW, kota yang dahulu bernama Yatsrib itu sering dilanda konflik horizontal antarsuku bangsa yang tinggal di sana.

Kehadiran Rasulullah SAW ke Madinah telah mengubah keadaan kota tersebut yang semula masih sering terjadi perselisihan yang berbau etnis maupun agama, menjadi kota dengan masyarakat plural yang saling hidup berdampingan dengan damai. Oleh karena itu Robert N. Bellah yang merupakan salah seorang sosiolog terkemuka, menyebutkan bahwa contoh pertama nasionalisme modern adalah sistem yang diterapkan pada kota Madinah pada masa Rosulullah dan para khalifah yang menggantikannya. Sehingga wajar jika banyak para sejarawan dunia menilai bahwa apa yang telah dilakukan Rasulullah SAW itu merupakan sebuah pencapaian yang luar biasa dalam sejarah peradaban manusia.

Dalam konteks Indonesia, nasionalisme secara sederhana dapat diartikan sebagai sikap yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, dan hukum konstitusional lainnya sebagai landasan kehidupan berbangsa, serta menyetujui NKRI sebagai final concept negara ini. Dengan begitu nasionalisme atau rasa cinta tanah air akan menjadi alat pengikat batin seluruh elemen bangsa yang sudah ditakdirkan, terfragmentasi ke dalam berbagai budaya, suku, agama, bahasa, dan lain sebagainya. Sehingga dengan kesadaran dari masyarakat untuk hidup berdampingan secara toleran dan saling menghargai satu sama lain.

Sebagai bagian dari bangsa ini, pesantren yang oleh Gus Dur disebut sebagai subkultur tersendiri dalam sejarahnya selalu konsisten dengan sikap nasionalismenya terhadap bangsa ini. Salah satu wujud rasa cinta tanah air itu terimplementasi melalui perjuangan yang gigih melawan kolonialisme Belanda dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan Indonesia (Wahid, 1974). Sehingga pada waktu itu, pesantren selain berperan sebagai basis edukasi bagi masyarakat, khususnya pedesaan, juga berperan sebagai pusat perlawanan terhadap bangsa kolonial. Dengan slogan jihad fi sabilillah para ulama’ pesantren menjadi motor penggerak perjuangan, bersama sama dengan rakyat berperang melawan belanda dan sekutunya. Oleh karena itu, muncul sederet nama pahlawan yang notabene berasal dari lingkungan pesantren, misalnya K.H. Hasyim Asy’ari dan lain sebagainya.

Ulama-ulama Nusantara di Mekkah telah meletakan dasar bagi terciptanya jejaring ulama di Nusantara uyang kemudian menjadi komonitas Ulama. Selain membangun pesantren , ulama memiliki hubungan kuat dalam bidang spritual maupun intelektual (Azumadri Azra, 1994). Ulama jawi yang kembali ketanah Nusantara membentuk sebuah kelommpok sosial yang berorientasi kepada pemahaman Islam dan pencapean kekuatan sipritual. Dan atas dasar itu pula, para ulama membangun otoritas ditengah komonitas muslim yang salah satu komponennya adalah sufisme yang menjadi unsur penting dalam pendidikan Pesantren.

Halaqoh yang terbangun di Mekkah telah meningkatkan otoritas ulama, dan pada akhirnya membentuk jejaring yang kokoh. Proses ini juga didukung tradisi pesantren yang sangat menekankan ketaatan santi kepada guru, yang diakui sebagai pembimbing spritual sepanjang hidup. Dengan berbekal ketaatan yang kokoh santri terhadap gurunya, pesantren juga mampu melahirkan out put santri yang memiliki multikompetensi, kompetensi keilmuan, keagamaan dan akhlakul karimah.

Kelestarian sebuah pesantren senantisa menjadi faktor penting untuk memperkuat jejaring yang sudah dibangun dalam mempertahankan eksistensinya. Solid dan luasnya hubungan tali kekerabatan antar kiai telah menghasilkan integrasi dan persatuan para Kyai. Sebagai contoh Syekh Hasyim Asyari yang bermuara kepada Kyai Abdus Salam, seorang kyai yang dulu bersama-sama ulama –ulama lainya menjadi penopong utama Perang Jawa Diponegoro.

Kesimpulan

Kiprah pesantren dan umat Islam cukup besar dalam membangun jiwa nasionalisme dalam merebut kemerdekaan, seperti yang telah disampaikan Douwes Dakker mengatakan “jika tidak karena pengaruh dan didikan agama Islam, maka patriotisme bangsa Indonesia tidak akan sehebat seperti yang diperlihatkan oleh sejaranya sehingga mencapai kemerdekaan” Penting ditegaskan disini bahwa kiprah pesantren dan umat Islam cukup besar karena para tokoh pergerakan nasional tidak dpat dilepaskan dari dunia pesantren dan spirit Islam. Pondok pesantren tidak hanya berperan sebagai lembaga pertahanan fisik terhadap intimidasi dan senjata penjajah, namun pondok pesantren juga menjadi kubu pertahanan yang bersifat mental ataupun moral. Pemikiran Snouck Hurgronje yang berupaya mengasimilasikan kebudayaan Indonesia dengan budaya Belanda tidak mencapai keberhasilan karena sistem pertahanan masyarakat Indonesia saat itu didominasi pengaruh pondok pesantren. Hal ini karena tradisi dan corak santri yang tidak mudah berasimilasi dengan budaya Barat, dalam hal ini budaya Belanda sang penjajah.

 

 

Referensi :

Jurnasl Islam Nusantara, Vol. 02, No. 01, edisi Januari-Juni 2018, dengan judul : “Pesantren Dalam Bingkai Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia”, oleh : Ahmad Royani.

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Stay Connected
16,985FansSuka
12,700PengikutMengikuti
2,458PengikutMengikuti
9,600PelangganBerlangganan
Must Read
- Advertisement -spot_img
Related News
- Advertisement -spot_img

Silakan tulis komentar Anda demi perbaikan artikel-artikel kami