Daftar Isi
Memiliki keturunan adalah dambaan setiap orang tua. Karena keturunan inilah yang akan menyambung generasi kita.
Menyambung perjuangan serta ibadah kita kepada Allah. Keturunan inilah yang akan menjadi investasi luar biasa dan sangat berharga.
Oleh karenanya, Islam mensyariatkan untuk menikah dan kemudian memiliki keturunan.
Bahkan, disebutkan dalam salah satu hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau senang dan berbangga dengan umatnya yang banyak.
Itulah sebabnya mengapa Nabi Zakariya ‘alaihissalam senantiasa berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala di masa yang sudah senja.
Tak kunjung juga diberi keturunan oleh Allah dan akhirnya dengan kesabaran beliaulah Allah memberikannya keturunan.
Akan tetapi bukan hanya sekedar memiliki keturunan saja. Ada yang harus kita fikirkan, renungkan dan persiapkan sejak dini.
Keturunan yang seperti apa yang kita idam-idamkan di masa mendatang. Tentunya semua itu butuh perencanaan yang matang.
Keturunan atau generasi yang berkualitaslah yang menjadi impian dan harapan kita. Generasi yang berkualitas menurut Allah dan Rasul-Nya.
Bukan menurut hawa nafsu dan idealisme kita masing-masing. Karena sumber kebenaran dan pertimbangan yang paling haq adalah Al-Qur’an dan Sunah.
Bagaimana Generasi yang Berkualitas?
Di dalam QS. Maryam ayat 59 Allah berfirman
فَخَلَفَ مِنۢ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَٱتَّبَعُوا۟ ٱلشَّهَوَٰتِ ۖ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan”
Ayat tersebut menjelaskan secara tersurat bahwa generasi yang jelek yang tidak berkualitas memiliki dua karakter utama.
Pertama, menyia-nyiakan shalat.
Kedua, mengikuti hawa nafsu.
Tentunya, ketika sebuah generasi terdapat dua hal tersebut mereka akan tersesat di dunia maupun di akhirat.
Maka sebaliknya ayat tersebut menjelaskan secara tersirat bahwa ciri generasi yang berkualitas selalu bercirikan dua.
Pertama, menjaga shalatnya.
Kedua, mampu menundukkan hawa nafsunya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menjelaskan faedah menjaga shalat
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.“ (QS. Al-Ankabut: 45)
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa menjaga shalat mengandung dua hal yaitu mencegah perbuatan keji (zina) dan mungkar hal ini karena disiplin menjaga shalat akan mampu membawa seseorang untuk meninggalkan keduanya. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/401)
Mengapa demikian? Sebab orang yang betul-betul menjaga shalat hatinya akan terbentengi dan akan bertambah iman dan takwanya serta akan mencintai segala kebaikan. Kesenangannya terhadap hal-hal yang buruk berkurang atau bahkan mungkin hilang. (At-Tafsir Al-Muyassar, 401)
Shalat juga merupakan sumber ketenangan jiwa.
Shalat menjadi sarana untuk membersihkan jiwa dan fisik kita dari najis dan kotoran-kotoran sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits Rasulullah.
Begitu pentingya shalat hingga bapak para Nabi, khalilullah, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam senantiasa berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar beliau dan keturunannya tergolong orang yang menjaga shalat.
Allah mengabadikan hal ini dalam firman-Nya
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ
“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan salat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.” (QS. Ibrahim: 40)
Bahkan shalat itu menjadi wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebelum wafatnya. Beliau sampai mengulang wasiat itu tiga kali ash-shalah, ash-shalah, ash-shalah.
Generasi yang Menyia-nyiakan Shalat
Nah, bagaimana dengan fenomena dan kenyataan yang ada di hadapan kita?
Generasi yang saat ini kita berada di dalamnya, termasuk generasi yang berkualitas atau tidak berkualitas?
Sayangnya, kenyataan tak seindah seindah impian karena ternyata masih banyak kita dapatkan generasi muda maupun tua hari ini yang masih menyia-nyiakan shalat.
Mereka sibuk dengan kesenangan hawa nafsu mereka. Manusia tersebar di permukaan bumi mengejar kesenangan nafsu mereka dalam hidup ini dengan beraneka ragam.
Nas’alullahal ‘afiyah.
Hanya sedikit saja yang selamat yang betul-betul menjaga shalatnya. Semua itu dikarenakan cinta dunia yang berlebihan.
Shalat tidak diindahkan. Mereka merasa tidak butuh dengan shalat. Bagi mereka shalat hanya membuang-buang waktu saja.
Toh, banyak orang shalat tapi ia tidak kaya dan tidak bahagia. Banyak yang tidak shalat tapi ia bahagia dan kaya, begitu kilah mereka.
Akhirnya begitu banyak Masjid yang dibangun dengan megah dihiasi dengan indah tapi kosong dari jamaah. Na’udzubillah.
Nampaknya kekhawatiran Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu bahwa banyak masjid yang dibangun dengan mewah namun kosong dari hidayah telah menjadi kenyataan.
Makna Menyia-nyiakan Shalat
Menyia-nyiakan shalat dan menuruti hawa nafsu ibarat dua sisi mata uang yang saling terkait. Siapa yang menjaga shalat dengan baik pasti mampu mengekag hawa nafsunya.
Sebaliknya orang yang menyia-nyiakan shalat pasti akan tersandera oleh hawa nafsunya. Mengumbar hawa nafsu merupakan tanda bahwa ada masalah dalam shalatnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
مَنْ لَمْ تَنْهِهِ صَلَاتُهُ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ لَمْ تزده مِنَ اللهِ إِلَّا بُعْدًا
Siapa yang shalatnya tak mampu menccegah perbuata keji dan mungkar shalatnya tidak memberikan tambahan apa-apa baginya selain semakin jauh dari Allah.” (HR. Musnad Asy-Syihab)
Ternyata makna menyia-nyiakan shalat sangatlah luas dan antara satu makna dengan makna yang lain saling menguatkan.
Inilah di antara makna menyia-nyiakan shalat sebagaimana disebutkan dalam kitab Al Bahru Al-Muhit, VII/44 untuk kita renungkan agar kita tidak terjerumus di dalamnya.
1. Mengakhirkan Waktunya
Menurut Abdullah bin Mas’ud, An Nakha’i, dan Mujahid adalah mengakhirkan waktunya.
Mengakhirkan waktu shalat maksudnya adalah menunda-nunda pelaksanannya hingga batas waktu yang ditentukan habis.
Sudah kita ketahui bersama, bahwa shalat adalah ibadah yang waktunya telah ditentukan. Sebagaimana Allah berfirman
فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah salat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (An-Nisa’: 103)
Shalat tidak sah bila dikerjakan di luar waktu yang telah ditentukan, kecuali ada udzur.
Sedang yang menyia-nyiakan shalat adalah melaksanakan shalat bukan berarti memeninggalkan shalat secara total.
Akan tetapi tetap melaksanakan shalat namun setelah waktunya habis.
Kita berharapkan kita dan generasi kita bukan termasuk generasi yang suka mengakhirkan pelaksanaan shalat.
2. Tidak Memenuhi Syarat-Syarat Shalat
Menurut Al-Qadhi yang dimaksud menyia-nyiakan shalat adalah melaksanakan shalat dengan tidak memenuhi syarat-syaratnya.
Adapun di antara syarat-syarat (sah) shalat adalah suci dari hadats kecil maupun hadats besar, menutup aurat dan menghadap kiblat.
Sehingga walaupun melaksanakan shalat, jika memenuhi atau menyempurnakan syarat-syarat tersebut maka termasuk menyia-nyiakan shalat.
Seperti tidak bersuci atau tidak menutup aurat secara sempurna.
3. Tidak Shalat Berjamaah
Pendapat lain menyebutkan bahwa menyia-nyiakan shalat adalah melaksanakan shalat dengan tidak berjamaah di masjid.
Memang para ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat jamaah.
Namun paling tidak, hukum shalat berjamaah adalah sunah muakkadah, sunah yang sangat ditekankan.
Tidak selayaknya seorang muslim meninggalkan tanpa udzur. Bahkan ada juga yang berpendapat shalat berjamaah hukumnya wajib bagi laki-laki.
Berkenaan shalat jamaah Rasulullah bersabda, “Shalat berjamah jamaah lebih utama dua puluh tujuh derajat dari pada shalat sendiri.”
Bahkan orang yang sering meninggalkan shalat jamaah tanpa udzur merupakan di antara ciri orang munafik.
Ibnu Mas’ud berkata, “Sungguh saya melihat kami (para shahabat) tidak ada yang pernah meninggalkan shalat jamaah kecuali orang munafik yang jelas kemunafikannya.
Sungguh, ada seorang laki-laki dari kami yang harus dibawa dengan dipapah dua orang hingga ia berdiri di shaf.” (Diriwayatkan oleh Muslim)
4. Tidak Meyakini Wajib Shalat
Shalat merupakan kewajiban dari Allah kepada setiap mukmin. Allah telah memerintahkan para hamba-Nya untuk mengerjakan shalat di beberapa ayat dalam Al-Qur’an.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
“Peliharalah segala salat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 238)
Diriwayatkan dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
“Islam itu dibangun di atas lima perkara, yaitu: Bersaksi tiada sesembahan yang haq kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji ke Baitullah, dan berpuasa pada bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Berkaitan menyia-nyiakan shalat, ada yang berpendapat bahwa menyia-nyiakan shalat adalah tidak meyakini hukum wajibnya shalat.
Sekali pun ia mengerjakan shalat namun tidak meyakini kewajiban shalat maka ia termasuk menyia-nyiakan shalat.
Karena tidak meyakini kewajiban shalat akan menyebabkan peremehan terhadap pelaksanaan shalat.
Sedang orang yang meremehkan dan menggampangkan pelaksaan shalat dihukumi fasik.
5. Meliburkan Masjid dan Sibuk dengan Pekerjaan
Ada juga yang berpendapat bahwa menyia-nyiakan shalat adalah meliburkan masjid dan sibuk dengan bisnis dan pekerjaan.
Betapa banyak saat ini kita saksikan, masjid megah dan indah namun kosong dari aktivitas shalat jamaah maupun kegiatan keislaman lainnya.
Kebanyakan kaum muslimin lebih enjoy dengan pekerjaan mereka dari pada memakmurkan masjid.
Padahal di antara tanda orang yang selalu menegakkan shalat adalah memakmurkan masjid. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلا اللَّهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
“Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At-Taubah: 18)
Jadi menyia-nyiakan shalat bukan berarti tidak melaksanakan shalat sama sekali.
Tetap melaksanakan shalat namun dikerjakan dengan mengakhirkan waktunya, atau tidak memenuhi syarat-syaratnya dan dikerjakan dengan tidak berjamaah masjid.
Maka, mari kita jaga generasi kita jangan sampai menjadi generasi yang suka menyia-nyiakan shalat.
Kita didik mereka agar selalu mengerjakan shalat tepat waktu dan berjamaah di masjid.
Karena shalat merupakan kunci dari kebaikan seluruh amalan.
Orang yang baik shalatnya maka untuk urusan lain juga baik dan orang yang suka menyia-nyiakan shalat, maka untuk urusan yang lain ia akan lebih menyia-nyiakannya.
Oleh: Ibnu Abdillah