Fiqih Seputar Laron
Penulis: Ustadz Khairu Da’i, Lc.
Salah satu fenomena yang lazim kita lihat bersamaan dengan mulainya musim hujan adalah kemunculan laron. Pada dasarnya, laron merupakan rayap jantan dan betina yang memiliki sayap.
Di beberapa wilayah, laron kerap kali diolah menjadi hidangan untuk disantap, baik sebagai rempeyek ataupun botok. Namun, bagaimana tinjauan fikih terhadap hal ini?
Rayap dalam bahasa Arab disebut أَرَضَةُ. Dalam kitab Hayatu Al-Hayawanat Al-Kubra, Ad-Damiry menyebutkan:
الأَرَضَةُ بِفَتْحِ الهَمْزَةِ وَالرَّاءِ وَالضَّادِ المُعَجَّمَةِ: دُوْبِيَّةٌ صَغِيْرَةٌ كَنَصْفِ عَدَسَةٍ تَأْكُلُ الْخَشَبَ … . قَالَ الْقَزْوَيْنِي: إِذَا أَتَى عَلَى الْأَرْضِ سَنَةٌ نَبَتَ لَهَا جَنَاحَانِ طَوِيْلَانِ تَطِيْرُ بِهِمَا
“Aradhah (rayap) adalah serangga kecil berukuran setengah biji adas yang memakan kayu… . Al-Qozwainy menyatakan bahwa ketika aradhah berumur setahun maka akan tumbuh sepasang sayap panjang yang digunakannya untuk terbang.'” (Hayatu Al-Hayawanat Al-Kubra, Kamaluddin Muhammad bin Musa Ad-Damiry, jilid 1, hlm. 93)
Terkait hukum mengonsumsinya, Ad-Damiry menyebutkan di dalam kitab yang sama, bahwa dalam Mazhab Syafi’i memakan laron diharamkan karena dianggap menjijikkan.
وَيُحَرَّمُ أَكْلُهَا لِاسْتِقْذَارِهَا
“Diharamkan (dalam Mazhab Syafi’iyah) memakan laron karena menjijikkan.” (Hayatu Al-Hayawanat Al-Kubra, Kamaluddin Muhammad bin Musa ad-Damiry, jilid 1, hlm. 94)
Sementara dalam Mazhab Malikiyah, boleh memakannya selama tidak membahayakan tubuh. Demikian karena laron diqiyaskan dengan belalang, diizinkan dimakan karena keduanya tidak memiliki darah yang mengalir.
Ini disebutkan oleh Imam Abu Al-Barakat Ad-Dardir dalam kitabnya Asy-Syarhu Ash-Shagir:
وَخَشَاشِ الْأَرْضِ… فَالذّكَاةُ فِيهِ تَعْمَلُ فِيهِ بِمَا يُمِيتُ بِهِ قِيَاسًا عَلَى الْجَرَادِ بِجَامِعِ عَدَمِ النّفَسِ السَّائِلَةِ فِي كُلِّ فَيَكُونُ مُبَاحًا الْأَصْلُ…
“Dan juga (mubah memakan) serangga. Adapun penyembelihannya adalah dengan cara apapun yang bisa mematikannya diqiyaskan dengan belalang karena sama-sama tidak memiliki darah yang mengalir, sehingga boleh dimakan.” (Asy-Syarhu Ash-Shagir ‘Ala Aqrabil Masalik Ila Madzhabi Al-Imam Malik, Imam Abu Al-Barakat Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Ad-Dardir, jilid 2, hlm. 181)
Bagi yang memilih Mazhab Maliki, penting untuk menyadari bahwa saat hendak membunuh laron maka seyogianya ia berniat lillah dan membaca basmalah sebelum mengonsumsi laron. Sebagaimana keterangan yang disebutkan dalam Asy-Syarhu Ash-Shagir:
وَلا بُدَّ مِنْ نِيَّةٍ وَتَسْمِيَةٍ
“Harus berniat dan membaca basmalah terlebih dahulu.” (Asy-Syarhu Ash-Shagir ‘Ala Aqrabil Masalik Ila Madzhabi Al-Imam Malik, Imam Abu Al-Barakat Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Ad-Dardir, jilid 2, hlm. 181)
Permasalahan berikutnya dalam Mazhab Syafi’i adalah terkait bangkai. Semua bangkai binatang, termasuk bangkai serangga (kecuali belalang) adalah najis. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Busyra Al-Karim:
وَالمَيْتَةُ بِجَمِيعِ أَجْزَائِهَا وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهَا نَفْسٌ سَائِلَةٌ
“Dan seluruh bangkai adalah najis termasuk bangkai binatang yang darahnya tidak mengalir.” (Busyra al-Karim bi Syarhi Masa-il al-Ta’lim, Syeikh Sa’id bin Muhammad Ba ‘Ali al-Hadhrami, hlm. 102)
Jika demikian, lalu bagaimana status air yang terkontaminasi dengan bangkai laron? Dan apa hukum shalat seseorang yang menginjak atau mengantongi bangkai laron saat shalat?
Jawaban pertanyaan pertama, hukumnya adalah dimaafkan sehingga air tidak menjadi najis, sebagaimana disebutkan dalam Nadzam Zubad:
واستُثْنِىَ مَيْتًا دَمُهُ لَمْ يَسِلْ
“Dan kecualikanlah bangkai binatang yang tidak mengalir darahnya.” (Az-Zubad fi Al-Fiqhi Asy-Syafi’i, Ibnu Ruslan, hlm. 27)
Namun, hal tersebut tidak berlaku ketika bangkai serangga yang terjatuh dalam air sampai mengubah sifat air. Dalam kasus seperti ini maka hukumnya menjadi mutanajis dan tidak lagi suci. (Tausyih ala Fath Al-Qarib, hlm. 83)
Adapun jawaban atas pertanyaan kedua, di dalam kitab Fathul Muin dijelaskan bahwa jika seseorang terkena bangkai lalat ketika shalat karena sulit untuk menghindarinya, maka shalatnya tetap sah.
وَ أَفْتَى الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ الْعَسْقَلَانِيُّ بِصِحَّةِ الصَّلَاةِ إِذَا حَمَلَ الْمُصَلِّيُ مَيْتَةَ ذُبَابٍ إِنْ كَانَ فِيْ مَحَلٍ يَشُقُّ الْاِحْتِرَازُ عَنْهُ
“Ibnu Hajar memfatwakan bahwa sah shalat orang yang terkena bangkai lalat jika dia berada di tempat yang susah untuk menghindarinya.” (Fath Al-Mu’in bi Syarhi Qurrati Al-‘Aini bi Muhimmati Ad-Din, Zainuddin Al-Malibary, hlm. 75)
Dalam Hasyiah I’anatu Thalibin dijelaskan bahwa yang dimaksud susah untuk dihindari adalah ketika ada banyak sekali lalat di tempat dia shalat.
بأن كَثُرَ جِدًا فِي ذَلِكَ الْمَحَلِ الَّذِي صَلَّى فِيهِ
“Yaitu jumlahnya sangat banyak di tempat dia melakukan shalat.” (I’anatu Ath-Thalibin, Abu Bakr Utsman bin Muhammad Syattha Ad-Dimyati Al-Bakriy, jilid 1 hlm. 108)
Hal ini berlaku pula untuk bangkai laron sebab tidak ada bedanya dengan bangkai lalat sehingga dianggap serupa dalam hal hukum.
Dari keterangan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hukum memakan laron dalam Mazhab Syafi’i, adalah diharamkan karena dianggap menjijikkan. Sementara dalam Mazhab Maliki, hukum memakan laron adalah halal selama tidak membahayakan tubuh, diqiyaskan dengan belalang yang boleh dimakan.
Selain itu, di dalam Madzhab Syafi’i, bangkai serangga dihukumi sebagai najis. Akan tetapi air yang terkontaminasi bangkai laron dimaafkan kecuali jika sifat air tersebut berubah. Dalam shalat pun, terkena bangkai laron tidak membatalkan shalat jika hal itu sulit dihindari. Wallahu a’lam.