Pertanyaan:
Ustadz, bagaimana hukumnya menggugurkan janin dalam kandungan yang diketahui mengalami kelainan atau cacat. Secara medis apabila janin itu tetap dibiarkan hingga lahir justru akan menyiksa si bayi dan seandainya pun hidup tidak akan lama.
Jawaban:
Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah saw beserta keluarga dan sluruh sahabatnya.
Syari’at Islam, diturunkan oleh Allah Azza wa Jalla untuk mewujudkan kemaslahatan bagi seluruh manusia, untuk menjaga agama, jiwa, harta, kehormatan dan keturunan. Lima hal pokok ini kemudian disebut dengan ad-dharûriyatul khams. Segala tindakan yang mengarahkan kepada pengerusakan terhadap lima perkara pokok yang dilindungi syari’at ini, dianggap sebagai tindakan kriminal dan dihukumi haram. Pelakunya diancam dengan berbagai macam hukuman.
Tindakan menggugurkan kandungan tanpa alasan yang dibenarkan syariat termasuk tindakan kriminal yang berakibat dosa dan terancam hukuman. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata
أَنَّ امْرَأَتَيْنِ مِنْ هُذَيْلٍ رَمَتْ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى ، فَطَرَحَتْ جَنِينَهَا ، فَقَضَى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِيهَا بِغُرَّةٍ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ
“Sesungguhnya ada dua wanita dari Bani Hudzail, salah satu dari keduanya melempar lainnya sehingga gugur kandungannya. Maka Rasulullah memutuskan harus membayar diyat sebesar seorang budak laki-laki atau budak wanita.” (HR. Bukhari 12/247 dan Muslim 11/175).
Dari Umar bin Khatthab, bahwasannya beliau meminta pendapat para sahabat tentang wanita yang menggugurkan kandungannya. Maka Mughirah bin Syu’bah berkata:
قَضَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِالْغُرَّةِ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ
“Rasulullah menghukumi dengan membayar seorang budak laki-laki atau wanita.” (HR. Bukhari 12/247 dan Muslim 11/179).
Bagaimanakah jika kasusnya seperti diatas janin terbukti secara medis mengalami cacat?
Kecacatan pada janin, menurut kami, tak dapat dijadikan alasan untuk keluar dari hukum haram ini, baik cacat ringan seperti bibir sumbing, jumlah jari kaki atau tangan yang tak normal (kurang/berlebih). Demikian pula cacat berat seperti janin yang dipastikan akan segera mati setelah dilahirkan akibat cacat jantung, paru-paru, atau ginjal. Kecacatan ini, menurut kami, tak dapat dijadikan alasan yang membolehkan pengguguran janin cacat, sebab tidak terdapat dalil syar’i yang mendasarinya, baik dalil Al Qur’an ataupun hadits. Apalagi jika alasan pengguguran janin itu hanya karena alasan untuk menutup aib keluarga yang malu jika nanti memiliki anak yang cacat fisiknya.
Memang sebagian ulama membolehkan menggugurkan janin yang cacat berat jika belum berusia 120 hari, dengan alasan bahwa peniupan ruh, itu terjadi setelah janin berusia 120 hari dalam kandungan. Sebagaimana dinyatakan dalam hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِى بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا ثُمَّ يَكُونُ فِى ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ فِى ذَلِكَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِىٌّ أَوْ سَعِيدٌ ….
“Sesungguhnya penciptaan kalian terjadi di perut ibunya, selama 40 hari dalam bentuk air mani, kemudian menjadi segumpal darah selama 40 hari juga, kemudian menjadi segumpal daging selama itu (40 hari) juga – total 120 hari atau 4 bulan – kemudian diutuslan malaikat kepadanya, dia meniupkan ruh ke janin itu, dan diperintahkan untuk mencatat 4 hal: rizqinya, ajalnya, amalnya, dan apakah dia kelak bahagia atau celaka….” (HR. Bukhari & Muslim).
Sebab janin yang berusia kurang dari 120 hari belum memiliki nyawa sehingga bukan termasuk membunuh nyawa. Namun menurut kebanyakan fuqaha’ (ahi fikih) menggugurkan janin sebelum 120 hari juga haram. Mereka berasalan bahwa awal penciptaan manusia ketiak nuthfah (air mani) berada di dalam rahim.
Namun jika dokter terpercaya telah menetapkan bahwa seandainya jika janin dibiarkan malah akan mengancam keselamatan ibunya, bahkan menyebabkan kematian, maka dalam kondisi ini janin yang cacat tadi boleh digugurkan demi menghindari bahaya yang lebih besar, dan mengambil yang lebih maslahat. Karena dalam kasus ini kita dihadapkan dua hal yang mengancam: kematian ibu dan kematian janin. Sementara kematian ibu lebih besar bahayanya dibandingkan kematian janin. Karena kemungkinan untuk bisa hidup bagi ibu, lebih meyakinkan. Sementara peluang untuk hidup bagi sang janin setelah dia lahir, masih diragukan. Sehingga kematian ibunya lebih besar kerugiannya. Sebagaimana dalam kaidah fiqih :
إِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَيْنِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفُّهُمَا
Jika terdapat dua bahaya yang bertentangan, maka dicari yang lebih besar bahayanya dengan mengambil bahaya yang lebih ringan di antara keduanya.
Wallahu a’lam bishshawab.
oleh: Ust. Arif Manggala, Lc.