Daftar Isi
Sudah menjadi kelaziman dan fitrah seorang wanita mengalami masa-masa haid di mana dia terhalangi untuk tidak melaksanakan puasa dan ibadah-ibadah tertentu lainnya.
Sehingga hal ini juga bersinggungan dengan niat puasa di malam hari, sementara dia sudah memperkirakan bahwa hari esoknya adalah tanggal perkiraan dia sudah masuk waktu haid.
Gambarannya yaitu apabila seorang wanita muslimah tersebut sudah niat puasa Ramadhan di malam hari sembari mengatakan, “Jika keluar darah haidh, maka aku akan berbuka (membatalkan/tidak berpuasa).”
Apakah perbuatan menggantungkan niat berpuasa seperti ini dapat membatalkan puasa, dan jika dia sudah berpuasa apakah puasanya sah?
Maka dalam edisi artikel kali ini akan membahas permasalahan yang berkaitan dengan masalah tersebut, berikut penjelasannya.
Kewajiban Niat Puasa di Malam Hari
Niat puasa harus dilakukan sejak malam dengan tegas berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ، فَلَا صِيَامَ لَهُ (رواه أبو داود، رقم 2454، والترمذي، رقم 730، والنسائي، رقم 2331، وفي لفظ للنسائي: مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ، فَلَا صِيَامَ لَهُ ‘ والحديث صححه الألباني في صحيح أبي داود)
“Barangsiapa belum niat untuk melakukan puasa sebelum fajar, maka dia tidak mendapatkan puasa.” (HR. Abu Daud, no. 2454 dan Tirmizi, no. 730, Nasa’i, no. 2331.
Adapun dalam redaksi riwayat Nasa’i disebutkan “Siapa yang tidak niat puasa sejak malam sebelum fajar, maka tidak mendapatkan puasa.” Hadits ini dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud)
Penjelasan Para Ulama
Kalau seorang wanita yang bersih dia niat puasa untuk besok, seraya berkata, “Kalau darah haidku keluar, maka aku akan berbuka.”
Hal ini tidak mengapa dan bukan termasuk menggantungkan niat, bahkan termasuk niat untuk puasanya dengan tegas.
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Kalau orang yang berpuasa itu ragu-ragu membatalkan puasanya atau menggantungkan dengan masuknya seseorang atau semisalnya, hal itu tidak membatalkan puasa menurut mazhab yang telah ditegaskan oleh mayoritas ulama.” (Raudhatut Thalibin, 1/333)
Imam Abul Qasim Ar-Rofi’i rahimahullah menyebutkan bahwa pembeda antara ragu-ragu dalam memutuskan shalat atau menggantungkan terhadap urusan masa depan sehingga membuatnya batal, berbeda dengan ragu-ragu dalam membatalkan puasa, karena hal itu tidak membatalkannya.
Dia berkata, “Kalau orang yang berpuasa itu ragu-ragu apakah dia akan keluar dari puasanya atau tidak?”
Atau menggantungkan niat keluar puasanya dengan masuknya seseorang.
Telah disebutkan oleh Al-Muazam bahwa puasanya tidak batal.
Beliau isyaratkan dalam perkataannya tidak ada perbedaan di dalamnya.
Ibnu Sobagh menyebutkan dalam ‘Kitabus Shaum’ bahwa Abu Hamid menerangkan bahwa masalah ini ada dua pandangan.
Maka perbedaan antara puasa dan shalat, bahwa shalat mengawali dan mengakhirinya dengan niat dan pilihan orang tersebut.
Berbeda dengan puasa, orang yang niat malam harinya, otomatis dia akan memulai puasanya ketika terbit fajar dan keluar dari puasa dengan terbenamnya matahari, meskipun dia tidak merasakan keduanya.
Kalau seperti itu, maka sahnya shalat dapat terpengaruh karena lemahnya niat melebihi terpengaruhnya puasa.
Oleh karena itu dibolehkan memajukan niat di awal puasa dan mengakhirkan secara global dari yang pertama dan hal itu tidak dibolehkan dalam shalat.
Artinya, bahwa shalat itu adalah perbuatan dan ucapan, sedangkan puasa adalah meninggalkan dan menahan.
Maka perbuatan lebih membutuhkan niat daripada meninggalkan perbuatan.” (Al-Aziz Syarkhul Wajiz, 1/466).
Baik dia mengatakan ini atau tidak mengatakannya, maka ketika darah haid keluar dia harus berbuka.
Sehingga ucapannya itu hanya sekedar pemberitahuan saja dari apa yang seharusnya dia lakukan.
Wallahu A’lam bishshawab.
Artikel ini merupakan alih bahasa dari website islamqa.info
Editor : Akhukum Fillah