Pertanyaan :
Assalamu’alaikum, ustadz… apakah seorang yang sudah baligh dan dewasa boleh melangsungkan aqiqah untuk dirinya dikarenakan di-aqiqahi sewaktu kecilnya? Atas jawabannya, kami ucapkan jazakumullah khairan.
Jawaban :
Wa’alaikumsalam, di kalangan ahlul ilmi ada perbedaan pendapat menjadi dua pendapat dalam masalah ini di antaranya :
Pendapat pertama, seorang yang belum di-aqiqahi sewaktu kecilnya, dianjurkan untuk melangsungkan aqiqah untuk dirinya meskipun sudah usia dewasa sebagaimana pendapat yang dipegang oleh Atha’, Al-Hasan dan Muhammad bin Sirin.
Al-Hafizh Al-‘Iraqi menyebutkan bahwa dalam hal ini Imam Syafi’i berpendapat ada pilihan untuk menyelenggarakan aqiqah untuk dirinya. Oleh karena itu Al-Qaffal Asy-Syasyi salah seorang ulama madzhab Syafi’i beranggapan bahwa seseorang yang ber-aqiqah untuk dirinya di usia yang sudah dewasa itu lebih baik. (al-Mufashal fi Ahkam al-‘Aqiqah, hlm. 151)
Mereka berhujjah dengan hadits riwayat Anas bin Malik yang dikuatkan dengan adanya hadits yang lain. Hadits tersebut berbunyi :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ النُّبُوَّةِ
“Bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melangsungkan aqiqah setelah diutus menjadi nabi.” (Mushanaf Abdurrazaq, 4/229)
Pendapat kedua, adalah pendapat yang tidak mewajibkan adanya aqiqah untuk seseorang ketika kecilnya belum di-aqiqahi. Mereka berpendapat demikian karena aqiqah di usia yang sudah dewasa itu sama sekali tidak di kenal di kalangan penduduk Madinah sebagaimana yang tertera dalam salah satu riwayat Ahmad dan menisbatkannya kepada Asy-Syafi’i. Hanya saja penisbatan ini dianggap lemah oleh imam An-Nawawi dan Al-Hafizh Ibnu Hajar dan yang lainnya. Karena pendapat yang benar dari Asy-Syafi’i adalah sebagaimana pendapat yang pertama. (al-Majmu’, vol. 8/431)
Pendapat kelompok ini berdalih karena pensyari’atan aqiqah adalah wewenang seorang ayah, maka seorang anak tidak wajib untuk melakukannya ketika usianya sudah dewasa. Karena yang demikian itu akan menjadikan sunnah tersebut bisa berpindah kewewenangannya kepada selain orang tua. Alasan lainnya adalah karena hadits yang digunakan kelompok pertama sebagai hujjah masih diperselisihkan keshahihannya, kalaupun seandainya shahih, maka masih mungkin dibawa ke makna lain bahwa hal itu hanya dikhususkan untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saja. (Tuhfah al-Mulud, hlm. 69)
Dari perbedaan pendapat di atas, telah mencapai kepada sebuah kajian diskusi yang telah dirangkum oleh Syeikh Hisamuddin yang berkesimpulan bahwa meskipun status hadits yang digunakan pendapat pertama itu diragukan keshahihannya, namun yang demikian itu masih bisa ditolerir dan diperbolehkan. Alasan lainnya karena pengakuan bahwa hadits yang digunakan kelompok pertama hanya khusus untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun juga masih membutuhkan bukti atau dalil yang menunjukkan kekhususan tersebut, karena selama ini tidak didapati adanya dalil yang menyebutkan demikian.
Jadi, dalam perkara ini tidak ada larangan seseorang yang belum di-aqiqahi di masa kecilnya kemudian ia ber-aqiqah untuk dirinya meskipun sudah berusia dewasa. Pendapat ini disimpulkan karena adanya atsar dari sebagian salaf yang membolehkan demikian. Di antaranya adalah pendapat Imam Ahmad, Ibnu Sirin dan Hasan al-Bashri (Hisamuddin Ifanah, Ahkam al-Aqiqah, hlm. 143-144)
Wallahu A’lam
Oleh : Qolam El-Fikr