Nama : Yusferianti
Asal : Pacet, Mojokerto
Pertanyaan :
Assalamau’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Afwan ustadz, izin bertanya. Bagaimanakah hukum yang berlaku untuk bayi yang lahir dalam keadaan meninggal, apakah berlaku seperti bayi yang lahir normal pada umumnya? Sekian dan terimakasih atas jawabannya.
Jawaban :
Wassalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Pertama, perlu kita ketahui bahwa bersabar atas qadha’ termasuk kedudukan orang-orang sholeh, adapun ridho dengan qadar termasuk kedudukan orang-orang yang mendekatkan diri kepada Alloh, dan sebaik-baik penerimaan seorang hamba pada ujian hendaknya berkata: “Al hamdulillah, sungguh kami ini milik Alloh dan kepada-Nya lah kami kembali.
Maka sebaik-baik kabar gembira yang kami beritakan sebuah riwayat dari Abu Musa al Asy’ari –radhiyallahu ‘anhu- bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
إِذَا ماتَ ولدُ العَبْدِ ، قالَ اللهُ لمَلائِكَتِهِ : قَبَضْتُمْ وَلَدَ عَبْدِي ؟ فَيَقُولُونَ : نَعَمْ . فَيَقُولُ : قَبَضْتُم ثَمَرَةَ فُؤَادِهِ ؟ فَيَقُولُونَ : نَعَمْ . فَيَقُولُ : مَاْذَا قالَ عَبْدِيْ ؟ فَيَقُولُونَ : حَمِدَكَ وَاسْتَرْجَعَ . فَيَقُولُ اللّهُ : ابْنُوا لِعَبْدِيْ بَيْتًا فِيْ الجَنَّةِ , وَسَمُّوهُ بيتَ الحَمْدِ( رواه الترمذي (1021) وحسنه الألباني في صحيح الترمذي .
“Jika anak seorang hamba Allah meninggal dunia, maka Alloh berfirman kepada para malaikat-Nya: “Kalian telah mencabut (nyawa) anak hamba-Ku?, mereka menjawab: “Ya”. Dia berfirman: “Kalian telah mencabut buah hatinya ?”. Mereka menjawab: “Ya”. Dia berfirman: “Apa yang dikatakan oleh hamba-Ku ?”. Mereka berkata: “Memuji-Mu dan mengatakan innalillah…”. Maka Alloh berfirman: “Bangunkanlah untuk hambaku sebuah rumah di surga dan berilah nama: “Rumah Pujian”. (HR. Tirmidzi: 1021 dan dihasankan oleh Albani dalam Shahih Tirmidzi)
Imam An-Nawawi –rahimahullah– mengatakan :
“Meninggalnya salah satu dari anak-anak menjadi pembatas dari api neraka, demikian juga janin yang keguguran, wallahu a’lam”. (Al Majmu’: 5/287, baca juga: Hasyiyatu Ibni Abidin: 2/228)
Dan dari Mu’adz bin Jabal –radhiyallahu ‘anhu– dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda:
)وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ إِنَّ السِّقْطَ لَيَجُرُّ أُمَّهُ بِسَرَرِهِ إِلَىْ الجَنَّةِ إِذَا احْتَسَبَتْهُ ) رواه ابن ماجه (1609) وضعفه النووي في “الخلاصة” (2/1066) والبوصيري ، وصححه الألباني في صحيح ابن ماجه.
“Demi Dzat yang jiwaku ada di dalam genggaman-Nya, sungguh bayi yang keguguran akan menarik ibunya dengan tali pusarnya ke surga jika dia bersabar karena (kehilangannya)”. (HR. Ibnu Majah: 1609 dan dilemahkan oleh An Nawawi dalam al Kholashah: 2/1066 dan Al Bushiri dan dishahihkan oleh Albani dalam Shahih Ibnu Majah).
As-Sarar adalah tali pusar (antara bayi dan plasenta)”. (An-Nihayah: 3/99)
Kedua, para ulama telah melakukan ijma’ (konsensus) bahwa janin jika dinyatakan hidup dan lahir dengan menangis (lalu meninggal dunia), maka dimandikan, dikafani dan dishalatkan.
Ijma’ tersebut dinukil oleh Ibnu Mundzir dan Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni : 2/328 dan Al-Kasaani dalam Badai’ Shanai’ : 1/302.
An-Nawawi menambahkan dalam Al Majmu’ (5/210) dan berkata, “Kafan yang digunakan sama dengan kafannya orang baligh; yaitu dengan tiga helai kain”.
Adapun jika lahir dan tidak menangis (lalu meninggal dunia) maka telah dijelaskan bahwa yang dianggap dalam hal ini adalah masa awal peniupan ruh, yaitu pada saat usia kandungan 4 bulan, jika ruh sudah ditiupkan maka jenazah janin dimandikan, dikafani dan dishalati, jika ruh belum ditiupkan maka tidak perlu dimandikan dan dishalati. (Baca: Al-Mughni: 2/328 dan Al-Inshaf : 2/504).
Ketiga, adapun masalah aqiqah bagi bayi yang keguguran pada usia lebih dari 4 bulan di dalam kandungan, maka para ulama telah berbeda pendapat. Namun yang menjadi pilihan dari Ulama Lajnah Diamah lil Ifta’ dan Syiekh Utsaimin bahwa hal itu tetap disyari’atkan dan hukumnya sunnah, termasuk juga diberi nama. (disimpulkan dari Fatawa Lajnah Daimah : 8/406 dan As’ilah Bab Maftuh, sola nomor 653)
Keempat, yang diperintahkan untuk melaksanakan aqiqah adalah mereka yang diwajibkan untuk menafkahi bayi tersebut, yaitu; bapaknya jika masih ada, jika dia enggan maka tidak masalah jika dilaksanakan oleh ibunya.
Disebutkan di dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah (30/279) :
“Kalangan madzhab Syafi’i berpendapat bahwa aqiqah merupakan tanggung jawab dari bapak yang diwajibkan untuk memberikan nafkah kepada bayi tersebut, maka hendaknya menunaikannya dari uangnya sendiri tidak berasal dari harta bayi tersebut, dan tidak dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai kewajiban untuk menafkahinya.
Dengan jelas Hanabilah menyatakan bahwa selain bapaknya tidak bisa melaksanakan aqiqah, kecuali jika ada udzur karena meninggal dunia atau enggan melaksanakannya, maka jika dilakukan oleh orang lain maka bukan dianggap makruh hukumnya, akan tetapi bukan sebagai aqiqah, kalau Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– telah mengaqiqahi Hasan dan Husain itu karena Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri”.
Jika bapaknya masih hidup dan mampu, maka perlu diberi nasehat agar melaksanakan aqiqah untuk anaknya, jika tidak mau atau mengizinkan ibunya untuk mengaqiqahinya, maka baru ibunya boleh melaksanakannya. Wallahu A’lam . [Azzam,-ed]
Artikel ini merupakan versi bahasa Indonesia yang diambil dari situs : islamqa.