Seorang imam selain menjadi pemimpin yang diikuti dalam shalat, ia juga bukan orang sembarangan. Ada kriteria-kriteria tertentu yang musti dimiliki seseorang yang pemilihannya melalui seleksi kelayakan personal di antara kaum muslimin. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ وَأَقْدَمُهُمْ قِرَاءَةً فَإِنْ كَانَتْ قِرَاءَتُهُمْ سَوَاءً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَكْبَرُهُمْ سِنًّا وَلَا تَؤُمَّنَّ الرَّجُلَ فِي أَهْلِهِ وَلَا فِي سُلْطَانِهِ وَلَا تَجْلِسْ عَلَى تَكْرِمَتِهِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا أَنْ يَأْذَنَ لَكَ أَوْ بِإِذْنِهِ
“Hendaknya yang berhak menjadi imam suatu kaum adalah yang paling banyak dan paling baik bacaan kitabullah (alquran), jika dalam bacaan sama, maka yang paling dahulu hijrah, jika mereka dalam hijrah sama, maka yang lebih dewasa, dan jangan sampai seseorang menjadi imam dalam keluarga orang lain dan jangan pula dalam wilayah kekuasaan (wewenang) nya dan jangan duduk di tempat duduk di rumah orang lain selain telah mendapat izin, atau seizinnya.” (HR. Muslim, no. 1079)
Namun yang terjadi di masyarakat kita pada umumnya tidak sebagaimana menerapkan kriteria seperti hadits di atas. Ada yang memilih seseorang untuk dijadikan imam karena sesepuh, tokoh masyarakat ataupun yang sosok yang paling berpengaruh di lingkungan tersebut tanpa melihat sisi diniyyah (baca : keagamaan) orang tersebut.
Bahkan yang paling nyaris terjadi di kalangan masyarakat adalah bahwa imam yang dipilih masih bermasalah dalam keislamannya, seperti masih melakukan kebid’ahan-kebid’ahan tertentu maupun yang sudah umum terjadi.
Oleh karena itu, pada pembahasan kali ini alangkah baiknya jika kita kembali merujuk kepada penjelasan para ulama’ mengenai hukum shalat yang bermakmum kepada pelaku ahlul bid’ah berikut penjelasannya.
Kasus seperti ini juga pernah terjadi dan dialami dalam sejarah sebagaimana yang diceritakan dalam Shahiihul Bukhari [Shahiihul Bukhari (no. 1660, 1662, 1663)] disebutkan, bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma pernah sholat dengan bermakmum kepada al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi. Padahal al-Hajjaj adalah orang yang fasik dan bengis [Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi seorang Amir yang dzhalim. Dia menjadi Amir di Irak selama 20 tahun, dan dialah yang membunuh ‘Abdullah bin Zubair bin ‘Awam di Makkah. Hajjaj mati tahun 95 H. Lihat Taqriibut Tahdziib (I/190, no. 1144) dan Tahdziibut Tahdziib (II/184-186), oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani].
‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma adalah seorang Sahabat yang sangat hati-hati dalam menjaga dan mengikuti Sunnah Nabi ﷺ, sedangkan al-Hajjaj bin Yusuf adalah orang yang terkenal paling fasik. Demikian juga yang pernah dilakukan Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu yang bermakmum kepada al-Hajjaj bin Yusuf. Begitu juga yang pernah dilakukan oleh beberapa Sahabat Radhiyallahu anhum, yaitu sholat di belakang al-Walid bin Abi Mu’aith [Lihat Shahiih Muslim (no. 1707)].
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
يُصَلُّوْنَ لَكُمْ، فَإِنْ أَصَابُوْا فَلَكُمْ وَلَهُمْ، وَإِنْ أَخْطَأُوْا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ.
“Mereka sholat mengimami kalian. Apabila mereka benar, kalian dan mereka mendapatkan pahala. Apabila mereka keliru, kalian mendapat pahala, sedangkan mereka mendapat dosa.” [HR. Al-Bukhari (no. 694) dan Ahmad (II/355, 537), dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu].
Imam Hasan al-Bashri (wafat th. 110 H) rahimahullah pernah ditanya tentang boleh atau tidaknya sholat di belakang Ahlul Bid’ah, beliau menjawab: “Sholatlah di belakangnya dan ia yang menanggung dosa bid’ahnya.” Imam al-Bukhari memberikan bab tentang perkataan Hasan al-Bashri dalam Shahiihnya (Lihat kitab ‘Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhari, hal. 230).
Untuk memperjelas status hukum shalat di belakang pelaku bid’ah, maka ada langkang-langkah yang perlu untuk kita cermati bersama agar tidak salah paham sebagaimana berikut ini:
Apabila seseorang bermakmum kepada imam yang masih melakukan kebid’ahan, hendaknya dia memastikan terlebih dahulu apakah bid’ah yang dilakukan merupakan bid’ah mukaffirah yang menyebabkan pelakunya menjadi kafir, keluar dari Islam. Semisal kebiasaan imam tersebut adalah mengagungkan kuburan, ber-tawasul kepada penghuni kubur dan ber-istighatsah kepada selain Allah. Maka jika hal tersebut ada padanya, hendaknya dia menghindari dan jangan sampai shalat di belakangnya. Karena shalat ia telah kafir dan tidak boleh dijadikan imam.
Jika kebid’ahan yang dilakukan masih tergolong bid’ah ghairu mukaffirah yang tidak menyebabkan pelakunya menjadi kafir, akan tetapi terhitung berdosa, atau dalam istilah lain bid’ah mufassiqah yang pelakunya hanya sampai dihukumi melakukan kefasikan meskipun ia tetap menanggung dosa atas perbuatannya tersebut. Maka tidak mengapa shalat di belakangnya, dan shalatnya sah hanya saja menurut para ulama shalat di belakangnya hukumnya makruh.
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Bahwa shalat di belakang orang yang fasik dan pemimpin yang zhalim, sah shalatnya. Sahabat-sahabat kami telah berkata: ‘Shalat di belakang orang fasik itu sah tidak haram akan tetapi makruh, demikian juga dimakruhkan shalat di belakang ahli bid’ah yang bid’ahnya tidak sampai kepada tingkat kufur (bid’ahnya tidak menjadikan ia keluar dari Islam). Tetapi bila bid’ahnya adalah bid’ah yang menyebabkan ia keluar dari Islam, maka shalat di belakangnya tidak sah, sebagaimana shalat di belakang orang kafir.’
Dan Imam asy-Syafi’i rahimahullah menyebutkan dalam al-Mukhtashar bahwa makruh hukumnya shalat di belakang orang fasiq dan ahlu bid’ah, kalau dikerjakan juga, maka shalatnya tetap sah, dan inilah pendapat jumhur ulama.” (Diringkas dari kitab al-Majmuu’ Syarhul Muhadzdzab, vol. 4, hal. 253)
Kesimpulan :
- Hukum shalat di belakang imam yang diketahui melakukan bid’ah mukaffirah adalah tidak sah.
- Jika kebid’ahan yang dilakukan imam hanya sebatas bid’ah ghairu mukaffirah, maka shalat di belakangnya adalah sah hanya saja hukumnya makruh.
- Hendaknya seseorang berusaha untuk tidak shalat di belakang ahlul bid’ah, apapun bentuk kebid’ahannya.
Wallahu A’lam bish Shawab.
Artikel ini dikutip dari santridarsya.blogspot.com