Berkurban adalah amalan ibadah mulia yang diimpikan setiap muslim lantaran pahala yang dijanjikan begitu agung di sisi Allah ﷻ. Bagi siapapun yang memiliki kelonggaran harta dan kelapangan rezeki seharusnya pasti tidak akan menyianyiakan kesempatan tersebut.
Namun, bagaimana jadinya jika seorang tidak cukup harta yang disisihkan namun tetap termotivasi dan terdorong hatinya untuk berkurban sehingga seseorang berinisiatif patungan dengan istrinya untuk membeli hewan kurban.
Apakah yang demikian itu sah? Dan bagaimanakah hukumnya? Simak artikel berikut ini.
Dalam literasi fikih Islam, patungan atau berserikatnya beberapa orang untuk membeli hewan untuk dijadikan kurban dibatasi maksimal tujuh orang untuk satu ekor sapi maupun unta.
Sedangkan pada untuk satu ekor kambing tidak sah dijadikan kurban bila kepemilikannya berserikat dua orang atau lebih. Hal di atas sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahulllah dalam risalah Ahkam al-Udhiyah sebagai berikut :
“Kambing itu sah untuk satu orang, sedangkan untuk sapi dan unta boleh patungan tujuh orang. Jika dalam satu kambing berserikat dua orang atau lebih dalam kepemilikannya untuk dijadikan kurban, maka tidaklah sah.
Tidak sah berserikat kecuali pada unta dan sapi untuk patungan tujuh orang saja. Karena ingatlah bahwa udhiyah (baca : kurban) merupakan suatu bentuk ibadah dan qurbah (pendekatan diri) kepada Allah.
Karena kurban adalah ibadah, maka hendaknya dijalani dengan cara yang disyari’atkan yaitu mengikuti waktu, jumlah, dan cara yang ditetapkan syari’at.” (Diringkas dari Rasail Fiqhiyyah, hlm. 58-59)
Adapun berserikat dalam hal meraih pahalanya maka itu diperbolehkan. Gambarannya ada seorang laki-laki yang berkurban dan keluarganya ikut serta pada pahala di dalamnya, atau seorang wanita yang berkurban dan suaminya ikut serta dalam pahalanya.
Ibnu Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Termasuk petunjuk Nabi ﷺ satu kambing diperbolehkan untuk seorang laki-laki dan keluarganya, meskipun mereka berjumlah banyak orang, sebagaimana perkataan ‘Atha’ bin Yasar, ‘Aku telah bertanya kepada Abu Ayyub al Anshari; “Bagaimana kurban pada masa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- ?”,
Beliau menjawab; “Jika seorang laki-laki ia berkurban satu kambing atas nama dia dan keluarganya, mereka memakan dan membagikannya”.” Tirmidzi berkata ini adalah hadits hasan shahih. (Ibnu Qayyim, Zaad al-Ma’ad, vol. 2, hlm. 295)
Ibnu Rusyd dalam kitabnya mengatakan,
“Mereka (para ulama) telah berijma’ (konsensus) bahwa satu kambing tidak sah kecuali untuk satu orang, kecuali apa yang diriwayatkan oleh Imam Malik bahwa tetap sah jika seorang laki-laki menyembelih untuk dirinya dan keluarganya, tidak dengan cara berserikat (berpatungan), akan tetapi ia membelinya sendirian.
Hal ini sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh ‘Aisyah bahwa beliau berkata:
كُنَّا بِمِنَى فَدَخَلَ عَلَيْنَا بِلَحْمِ بَقَرٍ، فَقُلْنَا مَا هُوَ؟ فَقَالُوا : ضَحَّى رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنْ أَزْوَاجِهِ
“Pada saat kami berada di Mina, seseorang masuk dengan membawa daging sapi, maka kami bertanya, ‘(Daging) apa ini?’ Mereka menjawab, ‘Rasulullah ﷺ telah berkurban untuk para istrinya’.” (Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, vol. 2, hlm. 196)
Telah disebutkan di dalam Tuhfah al-Muhtaj (vol. 9, hlm. 349), “Dan tetap sah satu kambing untuk satu saja, sesuai dengan kesepakatan semua, bukan kata mayoritas”.
Bahkan kalau keduanya menyembelih dua kambing dibagi berdua, maka tidak boleh; karena keduanya tidak menyembelih kambing utuh.
Riwayat yang mengatakan:
اَللَّهُمَّ هَذَا عَنْ مُحَمَّدٍ وَأُمَّةِ مُحَمَّدٍ
“Ya Allah, kurban ini untuk Muhammad dan umat Muhammad.”
Maka dimaksudkan ikut serta dalam hal pahala, dan itu boleh, selanjutnya mereka berkata: “Maka ia hendaknya mengikutsertakan orang lain dalam hal pahala kurbannya”.
Untuk menindaklanjuti kasus di atas, bagi seorang istri hendaknya ia memberikan sebagian uangnya kepada suaminya yang cukup untuk membeli hewan kurban, dan suaminya yang menyembelih dan mengikutsertakan pahala untuk keluarganya.
Atau kebalikannya, seorang suami yang memberikan sebagian uangnya dan sembelihan kurbannya menjadi milik istrinya dan mengikutsertakan suaminya dalam hal pahala, pahala yang asli menjadi milik orang berqurban, adapun yang lainnya dimasukkan sebagai pengikutnya.
Jika seorang suami istri berpatungan pada harga sembelihannya, dengan tujuan untuk membantu pembeliannya, karena ia tidak mempunyai uang cukup, maka tidak ada masalah.
Syeikh Abdul Karim Al-Khudhair –hafidzahullah– pernah ditanya:
“Bagaimanakah hukumnya keikutsertaan saya pada kurbannya istri? Apa saja hukum-hukum yang menjadi konsekuensi dari hal tersebut?”
Beliau menjawab,
“Jika shahibul bait berkurban, maka kurbannya tersebut sudah cukup untuk dirinya dan keluarganya. Jika seorang suami telah berkurban untuk diri dan keluarganya, maka kurbannya tersebut sudah cukup.
Seorang wanita tidak wajib berkurban khusus untuk dirinya sendiri, kecuali jika yang dimaksud adalah seorang suami membayar separuh harga hewan kurban dan istrinya membayar separuhnya lagi dan keduanya berpatungan dengan dasar tersebut, hukum asalnya bahwa kurban itu bagi shahibul bait –suami- dan termasuk di dalamnya istri dan anak-anaknya.
Akan tetapi jika dilihat dari sisi saling membantu, dan ia tidak mampu untuk membayar harga hewan kurban, dan istrinya ingin membantu pembayarannya, maka tidak ada masalah.” Wallahu a’lam.