Berangkat dari sebuah pertanyaan, “Ada yang bilang Ibnu Sina penganut Syi’ah.” Benarkah? Tulisan kali ini adalah penjelasan tentang bagaimana kita bersikap ketika banyak ulama yang memvonis beliau seorang pengikut Syi’ah, pencela sahabat-sahabat Nabi, dan bahkan dengan tegas ada yang menjatuhkan takfir mu’ayyan (vonis kafir atas individu) kepada Ibnu Sina.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Naqhdul Manthiq dan Ar-Radd ‘Alal Manthiqiyyin, menjelaskan bahwa Ibnu Sina membahas tentang masalah ketuhanan, kenabian, hari akhir dan masalah-masalah aqidah lainnya dengan mengambil sumber dari orang-orang filsafat dan atheis. Beliau juga menyebutkan bahwa Ibnu Sina mewarisi kesyi’ahan ayahnya yang menganut aliran Qaramithah; salah satu sekte Syi’ah yang pernah mencuri Hajar Aswad.
Adz-Dzahabi dalam Siyar-nya, menambah keterangan tentang kekafiran Ibnu Sina sebagaimana dita’yin oleh Imam Al-Ghazali dalam kitabnya “Al-Munqidzh min Adh-Dhalaal”.
Sedangkan Ibnu Qayyim dalam Ighaatsatul Lahfan, menerangkan bahwa Ibnu Sina lebih dekat dengan ‘madzhab’ Aristoteles dari pada agama Islam. Dalam Mizan Al-‘Itidalnya, Adz-Dzahabi juga berpendapat bahwa Ibnu Sina seorang filosuf yang sesat. Dan masih banyak lagi statment senada tentang kesesatan, kekafiran atau kesyi’ahan Ibnu Sina. Seperti Al-Kasymiri dalam Faydhul Baari, Ibnu Hajar dalam Fathul Baari yang berdoa agar Ibnu Sina tidak diridhoi Allah, dan Ibnu Sholah yang menyebut Ibnu Sina adalah salah satu syetan dari golongan manusia di dalam kitab fatwanya.
Tanpa menafikan pendapat-pendapat di atas, mari kita melihat dari sisi lain agar bersikap adil dalam persoalan ini. Dari sudut pandang teologi, atau dalam disiplin ilmu aqidah, beberapa statement di atas sangat perlu untuk diangkat agar tidak terlalu mengagung-agungkan seseorang yang ternyata memusuhi Islam dari dalam.
Tetapi dari sudut pandang ‘At-Taarikh wal Hadhaarah’ , sejarah dan peradaban, Ibnu Sina hidup di bawah pemerintahan Islam yang sangat memperdulikan ilmu pengetahuan. Sehingga masanya dikenal sebagai ‘Golden Age’ , masa keemasan Islam yang melahirkan banyak ilmuwan, yaitu; pemerintahan Daulah Abbasiyah. Di sinilah titik tekannya.
“Al-Qanun fii Ath-Thib” atau juga dikenal The Canon of Medicine, adalah karya ilmiyah genre medis yang hingga hari ini dianggap sebagai masterpiece dan bacaan wajib dalam dunia kedokteran. Buku tersebut, tidak semata-mata lahir karena kecerdasan Ibnu Sina. Tetapi juga sokongan pemerintah dan atmosfir keilmuan di masanya sangat mendarah daging. Point inilah yang perlu diangkat. Toh, meskipun Ibnu Sina memang seperti itu adanya, bukan berarti karya-karya beliau harus kita kutuk. Satu hal yang harus diingat, bersikap objektif adalah salah satu indikasi ketakwaan. Allah Ta’ala berfirman;
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian penegak keadilan karena Allah. dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah. Karena adil itu lebih dekat kepada ketakwaan…” (Al-Maidah: 8).
Wallahu A’lam bis Showab. In uriidu illa al-ishlaaha ma istahtho’tu. Wa maa taufiiqi illa billah. ‘alaihi Tawakkaltu. Wa ilayhi uniibu.
Penulis: M. Faishal Fadhli
Editor : Yazid Abu FIda’