Di antara dimensi kebaikan iman seorang hamba kepada Allah ta’ala ialah membenci kepada setiap larangan Rabb alam semesta dalam setiap inci kehidupan. Karena membenci kesyirikan, kekufuran, kemunafikan plus kemaksiatan berbanding lurus dengan kenikmatan iman.
Hati yang beriman ialah hati yang bergegas dalam kebaikan, mencintai ketaatan sekaligus pula membenci kemaksiatan terjadi di hadapanya. Tidaklah sempurna iman di dalam hati yang senantiasa dingin ketika aturan Allah ta’ala dilanggar, tumpul mati hatinya ketika aturan agama Allah dilecehkan, dan bisu ketika sunnah Rasul-Nya dilecehkan. Karena mendiamkan kemaksiatan tidak lebih menjadikan seseorang sebagaimana syaithan akhras (setan bisu). Karena apabila mendukung kemaksiatan maka ia disebut dengan syaithan naathiq (syaithan yang berkoar-koar).
Abu Ali Daqaq berkata, “Barang siapa yang berdiam diri dari menyampaikan kebenaran serta membiarkan kemaksiatan terjadi dihadapannya maka sungguh ia telah memiliki sifat sebagai syaithan akhras. “( Lihat kitab Syarh Shahih Muslim, Imam Nawawi).
Tak pelak, iman mengarahkan ketaatan dan kebencian terhadap dosa, sehingga kedudukan iman dengan menolak kemaksiatan adalah perkara yang menyatu sebagaimana gula dengan rasa manisnya. Maka apabila ada yang merasa memiliki iman tapi tidak membenci kemaksiatan maka ibarat gula tanpa rasa manisnya.
Maka apabila seseorang manusia tidak bergemuruh dadanya melihat kemaksiatan di atas bumi Allah, maka tak pelak imannya belumlah sempurna hingga ia mengerahkan apa yang bisa ia berikan untuk memadamkan api kemaksiatan tersebut.
Al Humaidi mengkabarkan dari Sufyan bin Uyainah, “Bahwa ada malaikat yang diperintahkan untuk membenamkan suatu daerah, malaikat itu berkata “Wahai Rabb-ku sesungguhnya di daerah tersebut terdapat fulan yang senantiasa beribadah,ia adalah ahli ibadah, maka Allah mewahyukan kepada malaikat, “Mulailah dengan membenamkan fulan ahli ibadah itu dalam adzab karena sesungguhnya raut wajahnya tidak pernah berubah marah karena Aku.” ( Lihat Kitab Adda’ wa Dawa’, Imam Ibnu Qayyim: 1/ 86)
Terkadang bisikan syaithan datang menghampiri hati yang lemah untuk meninggalkan amar makruf nahi munkar disebabkan untuk mementingkan dan lebih baik menyibukkan diri dalam ibadah.
Padahal pola fikir semacam itu hanyalah menciptakan fatamorgana seakan itu adalah jalan keselamatan, padahal itu akan sangat merusak apabila setiap orang meninggalkan amar makruf nahi munkar dengan dalih dan pembenaran untuk menshalehkan diri dan keluarga dahulu, maka yang terjadi adalah kerusakan merajalela. Allah berfirman:
لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَىٰ لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ (78) كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ (79)
“Orang-orang kafir dari Bani Israil telah dilaknat dengan lisan Dâwud dan Isa putera Maryam. Hal itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampauhi batas. Mereka satu sama lain senantiasa tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat, sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. (Al-Mâidah[5]:78-79)
Karena menshalehkan diri dengan ibadah harian adalah kewajiban setiap insan beriman, sebagaimana kewajiban amar makruf nahi adalah perintah agung. Keduanya tidak bisa dipisahkan selama dunia berputar.
Dan yang kita khawatirkan ialah ini bagian dari metode syaithan untuk menyesatkan manusia, karena salah satu diantara metode penyesatan iblis ialah menyibukkan manusia dengan ibadah yang ringan pahalanya supaya luput dari ibadah yang lebih besar pahalanya. ( Lihat kitab Badaiul Fawaid Ibnu Qoyyim hal 381 )
Apabila dalam Sunnah kenabian yang terpenting menshalehkan diri dan keluarga, maka Rasulullah tak perlu pergi menghadang kafilah Abu Sufyan pada perang Badar ketika beliau sudah berada di Madinah
Ya Allah jadikan iman menjadi penghias hati kami, iman yang menjadikan kami mencintai ketaatan dan membenci kekufuran dan kemaksiatan. Barakallah fikum.
Oleh ; Ustadz Oemar Mita, Lc