Tak selamanya hubungan suami-istri itu diwarnai dengan kemesraan. Satu hal yang seringkali terjadi adalah berkurangnya kemesraan setelah lama menikah. Awal-awal menikah dulu sangat romantis dan so sweet, namun selang beberapa waktu, keromantisan itu meredup bahkan sering lenyap seiring bertambahnya usia pernikahan, dan beratnya beban hidup.
Tak sedikit pasangan yang bisa mengatasinya dengan baik. Namun, tak sedikit pula yang bernasib sebaliknya. Jika ini yang terjadi, maka mahligai perkawinan pun berada di ujung tanduk. Lalu apa yang harus dilakukan? Jangan biarkan hati saling menjauh. Jika dua bilah kayu dapat disatukan dengan paku, dua batu bata dapat disatukan dengan semen, maka dua hati manusia dapat disatukan dengan iman. Ya, iman adalah perekat hati yang paling unggul di antara sekian banyak perekat. Ia dapat berfungsi sebagai mufti bagi jiwa. Selama iman bersemayam dalam jiwa, maka kita masih berada di zona aman.
Jika paku boleh berkarat, semen boleh retak, maka begitupun iman, ia juga akan naik dan menurun. Imam Ahmad bin Hambal berkata:
(الإِيمانُ يَزيدُ وَيَنْقُص ؛ فَزِيادَتُهُ بالعَمَلِ ، ونُقْصَانُهُ بِتَرْكِ العَمَل)
“Iman itu bisa bertambah dan berkurang. Bertambahnya dengan amal ketaatan, dan berkurangnya dengan meninggalkan ketaatan”. (Al Wajiz fie aqidati As Salaf Ash Shalih Ahlus Sunnah)
Iman itu ada “virusnya” dan virus iman itu adalah ego (takabur). Maka jangan ada takabur dalam hati, karena dengannya cinta pasti hancur. Orang takabur merasa dirinya lebih mulia dan pasangannya lebih hina. Jika demikian, manakah ada cinta? Cinta itu ibarat dua tangan yang saling bersentuhan. Tidak ada tangan yang lebih bersih. Dengan bersentuhan, keduanya saling membersihkan.
Kalimat yang sering meluncur di bibir suami berikut ini hanya menunjukkan ego yang tinggi, dan cenderung memicu timbulnya konflik; “Kau isteri, dan aku adalah suami”, “Aku imam, kau adalah makmumnya, maka aku yang berhak memutuskan, dan kau hanya ikut saja”, “Jangan coba-coba menentang!”, begitulah ego dan rasa takabur itu.
Memang laki-laki adalah qawwam atau pemimpin bagi istrinya. Sifat qawwam yang diberikan Allah Ta’ala kepada laki-laki, menjadikan kedudukannya satu tingkat di atas wanita. Namun demikian bukan berarti laki-laki boleh berbuat semena-mena kepada istrinya. Tetapi sebaliknya, suami berkewajiban mendidik, mengarahkan, membimbing, melindungi, menghargai dan menjaga kehormatan istrinya, serta berlaku baik kepadanya. Kepemimpinan suami atas istrinya, tidak seperti halnya atasan terhadap bawahannya. Atau penguasa terhadap rakyatnya, yang bisa bertindak otoriter. Sebab, suami-istri merupakan pasangan sahabat yang saling menentramkan, dan tiem yang solit dalam membentuk sebuah rumah tangga, sebagaimana firman Allah berikut ini:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Q.S Ar-Ruum: 21)
Akibat takabur, istri tak berkutik tanpa boleh bersuara. Sedikit bicara saja ia sudah dibentak. Senyap-senyap, isteri menyimpan rasa dendam. Suami ‘disabotase’ dalam diam. Tegur suami, dijawabnya dengan acuh tak acuh. Senyum yang semula merekah bak mawar akhirnya menjadi tawar dan hambar. Perlahan-lahan, jarak hati semakin jauh dan cinta semakin rapuh.
Ada pula isteri yang tak kalah egonya. Dengan egonya itu, ia sering meninggikan suara di hadapan suami. Kesalahan suami yang sedikit saja bisa menjadi urusan panjang. Anak-anak ditelantarkan dan dapur dibiarkan berserakan. “Rasakan akibatnya jika berani menentang aku,” bagitu gumamnya dalam hati. Sikap ini bukan solusi yang tepat, bahkan yang terjadi justru memperparah masalah. Mungkin karena merasa tidak sekuasa suami, atau tak memiliki keberanian, si isteri menunjukkan egonya dengan bermacam-macam ragam. Karena tak ada keberanian berkacak pinggang di depan suami, maka ia akan memalingkan badan dan mukanya ketika di tempat tidur.
Alhasil, suasana rumah tangga menjadi muram. Rumah hanya menjadi tempat untuk transit, bukan lagi kediaman yang menentramkan. Tidak ada keceriaan, kelembutan, dan keramah tamahan lagi. Tidak ada pula kasih sayang dan sikap saling menghormati. Tidak ada rindu yang menanti suami ketika pulang dari bekerja. Tidak ada kasih yang hendak dicurahkan oleh suami kepada isteri yang menanti di rumah. Karena ego, pasangan suami-istri sering silap di luar batas. Suara yang meninggi, pintu yang dihempaskan dengan kuat, atau hardikan di hadapan anak-anak dan di hadapan saudara, bahkan di hadapan tamunya yang baru datang.
Anak-anak pun tak lagi memiki kegairahan hidup. Mereka tidak mengerti mengapa semua ini bisa terjadi. Kini yang tersisa hanya amarah, kebencian, dan dendam. Semuanya bungkam seribu bahasa, kaku dan menjemukan. Dan inilah awal dari kehancuran sebuah rumah tangga.
Mengapa orang saling berteriak jika sedang marah, padahal lawan bicaranya cukup dekat keberadaannya? Bukankah pesan yang ingin disampaikan, bisa diucapkan dengan cara halus? Bila dua orang sedang marah, maka hati mereka saling menjauh. Untuk dapat menempuh jarak yang jauh itu, mereka harus berteriak agar perkataannya dapat terdengar. Semakin marah, maka akan semakin keras teriakannya. Karena jarak kedua hati semakin jauh. Namun, di saat kedua insan saling jatuh cinta mereka tidak saling berteriak antara yang satu dengan yang lain. Mereka berbicara lembut karena hati mereka berdekatan. Jarak antara kedua hati sangat dekat. Bila cinta semakin dalam, apa yang terjadi? Mereka tidak lagi bicara. Mereka hanya berbisik dan saling mendekat dalam kasih-sayang. Pada akhirnya, mereka bahkan tidak perlu lagi berbisik. Mereka cukup hanya dengan saling memandang. Itu saja, sudah lebih dari cukup. Sedekat itulah dua insan yang saling mengasihi. Maka, jika rumah tangga terjadi pertengkaran, jangan biarkan hati menjauh. Jangan ucapkan perkataan yang membuat hati kian menjauh. Karena jika kita biarkan, suatu hari jaraknya tidak akan lagi bisa ditempuh. Itu pertanda genderang peperangan telah ditabuh. Itu berarti pula, rumah tangga yang dibina berada di ambang kehancuran. Wallahul Musta’an
Penulis: Ustadzah Siswati Ummu Ahmad
Editor: Yazid Abu Fida’