Tugas utama dari orang tua adalah mendidik dan mengarahkan anak-anak agar menjadi shalih dan shalihah. Suatu karakter yang sejalan dengan tujuan penciptaan manusia, yaitu beribadah dan mengabdi hanya kepada Allah saja. Juga karena anak shalih adalah investasi dunia dan akhirat bagi kedua orang tuanya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ (رواه مسلم)
Artinya: “Jika manusia meninggal dunia, maka terputus semua amalnya kecuali tiga, yaitu shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang mendo’akannya” (HR. Muslim).
Maka menjadi sebuah kewajaran bagi setiap orang tua yang mengimani hadits ini akan berusaha semaksimal mungkin untuk mendidik anak-anaknya agar menjadi shalih. Sebagai bagian dari menanam investasi .
Hanya saja, mendidik anak faktanya tidak mudah. Karena ada banyak faktor yang membersamai tumbuh kembang anak-anak kita. Dari teman pergaulan, bacaan, tontonan yang tidak edukatif, semua menjadi pesaing bagi orang tua dalam hal pendidikan anak.
Kalau Imam Al Ghazali mengatakan dalam kitabnya Al Ihya’, bahwa mendidik itu ibarat seorang petani yang mencabut rumput dari tanaman yang mengganggu, berarti memang dalam proses pendidikan anak, kita akan mendapati banyak hal yang bisa merusak fitrah mereka.
Kesadaran orang tua akan pentingnya penjagaan terhadap fitrah anak, juga kemampuan diri yang terbatas untuk mendidik anak dengan maksimal, seperti keterbatasan dalam menguasai beragam ilmu, waktu dan energy, memaksa mereka harus berpikir cerdas dan bekerja keras untuk mewujudkan keinginan memiliki anak-anak shalih dan shalihah. Salah satunya adalah menentukan pilihan sekolah bagi anak-anak mereka.
Banyak sekolah ditawarkan kepada para orang tua, dengan berbagai konsep dan janji-janji prestasi baik duniawi maupun ukhrawi. Semua merasa konsep merekalah yang paling baik. Maka memilih sekolah menjadi salah satu tantangan bagi orang tua.
Salah satu lembaga pendidikan yang ditawarkan adalah pesantren. Pesantren menawarkan konsep pendidikan dengan tujuan, atau visi dan misi yang berorientasi pada agama. Ternyata minat masyarakatpun cukup besar terhadap pendidikan versi pesantren, terbukti dengan banyaknya pesantren-pesantern baru yang didirikan dan banyaknya murid yang mendaftar.
Dan jika akhirnya pesantren menjadi pilihan para orang tua, ada banyak hal yang harus diperhatikan agar tujuan menjadikan anak kita shalih terwujud. Pertama tentu adalah meluruskan niat, bahwa memasukkan anak ke pesantren bukan karena kita ingin berlepas dari tanggung jawab mendidik. Tetapi justru karena didorong oleh rasa tanggung jawab. Sehingga meskipun kita mengamanahkan pendidikan anak kepada pengasuh dan guru di pesantren bukan berarti kita bebas tugas untuk mengawasi dan mengarahkan mereka. Hasil yang ideal akan terwujud jika ada kerjasama yang baik antara orang tua dan pihak pesantren. Karena permasalahan anak tidak melulu bersumber dari pesantren. Boleh jadi justru dari rumah mereka sudah bermasalah.
Berikutnya memahamkan anak, kenapa mereka harus bersekolah di pesantren. Motivasi yang benar dari orang tua bisa merubah sudut pandang anak-anak terhadap dunia pesantren, yang bagi sebagian anak , pesantren mirip penjara yang tidak memberikan kebebasan dalam berperilaku sebagaimana layaknya remaja di luar pesantren. Juga menyadarkan mereka bahwa tujuan bersekolah adalah semata-mata menuntut ilmu karena Allah, bukan karena tujuan duniawi.
Anak juga harus disadarkan bahwa pilihan pesantren bukan karena orang tua menolak kehadiran mereka di rumah, atau karena mereka tidak disukai oleh anggota keluarga yang lain, sehingga mereka tidak merasa terbuang. Oleh karenanya orang tua tetap harus membuktikan dengan memberi perhatian yang cukup, berkomunikasi, dan membantu menyelasaikan kesulitan dan masalah yang mungkin mereka hadapi.
Termasuk bentuk tanggung jawab orang tua adalah membiayai anak, dengan memberi uang saku seperlunya, tidak perlu berlebihan karena kesahajaan adalah merupakan bagian dari proses pendidikan di pesantren. Kemudian juga membayar biaya pendidikan sesuai kesepakatan. Meskipun jika menunggak SPP sekalipun anak-anak tetap akan mendapatkan haknya di pesantren. Tidak adil rasanya jika pesantren dituntut memberi perhatian penuh kepada santri sementara wali murid justru mengabaikan tanggung jawabnya untuk memfasilitasi pendidikan anak.
Tanpa bermaksud menggurui atau menghakimi siapapun, marilah bagi kita yang sudah memutuskan untuk mengamanahkan pendidikan anak kepada pesantren, kita bangun kerjasama dengan pihak pengasuh dan guru. Hingga ibarat seekor burung , guru dan orang tua adalah dua sayap yang mengepak bersama agar bisa terbang setinggi mungkin. Wallahu a’lam bishshawab.
Oleh : Ustadzah Sayyidah