Taqdim
Generasi sahabat adalah generasi unik terbaik yang muncul di permukaan bumi. Merekalah manusia-manusia pilihan Allah yang ditakdirkan menemani manusia terbaik, Rasulullah saw. Allah pun memberi penghargaan khusus kepada mereka, yang termaktub dalam ayat ayat-Nya yang mulia, di antaranya adalah:
كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِۗ وَلَوۡ ءَامَنَ أَهۡلُ ٱلۡكِتَٰبِ لَكَانَ خَيۡرٗا لَّهُمۚ مِّنۡهُمُ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَأَكۡثَرُهُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ ١١٠
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma´ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Ali Imran: 110)
Pada masa merekalah Islam mulai tersebar ke penjuru alam, menebarkan kedamaian dan kasih sayang, menegakkan keadilan.
Merekalah generasi yang patut diikuti, karena ridho Allah telah bersama mereka. Seorang sahabat senior, Abdullah bin Mas’ud ra berkata:
مَنْ كَانَ مُسْتَنًّا فَلْيَسْتِنَّ بِمَنْ قَدْ مَاتَ فَإِنْ الْحَيَّ لَا تُؤْمَنُ عَلَيْهِ الْفِتْنَةُ أُوْلَئِكَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانُوْا خَيْرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ، وَأَبَرَّهَا قُلُوْبًا، وَأَعْمَقَهَا عِلْمًا، وَأَقَلَّهَا تَكَلُّفًا، قَوْمٌ اِخْتَارَهُمُ اللهُ لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِقَامَةِ دِيْنِهِ، فَاعْرِفُوا لَهُمْ فَضْلَهُمْ، وَاتْبَعُوْهُمْ فِيْ آثَارِهِمْ وَتَمَسَّكُوْا بِمَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ أَخْلَاقِهِمْ وَسِيَرِهِمْ ، فَإِنَّهُمْ كَانُوا عَلَى الْهُدَى الْمُسْتَقِيْمِ
Barang siapa diantara kalian yang hendak mengikuti maka ikutilah mereka yang telah wafat, karena yang masih hidup tidak terjamin aman dari fitnah. Merekalah para sahabat Muhammad saw. Generasi yang hatinya paling baik, ilmunya paling mendalam, paling sedikit membebani diri. Kaum yang telah Allah pilih untuk menegakkan agama-Nya, menemani Nabi-Nya, maka ketahuilah hak hak mereka, dan berpeganglah dengan petunjuk mereka, karena sesungguhnya mereka di atas jalan yang lurus (Tafsir Baghowi : I/284, dan I’lamul Muwaqi’in : II/202).
Maka mengikuti karakter mereka menjadi satu keharusan jika ingin mengembalikan kejayaan ummat dari keterpurukannya. Imam Malik rahimahullah berkata:
لَنْ تَصْلُحَ أَخِرُ هَذِهِ الْأُمَّةِ إِلَّا بِمَا صَلُحَ بِهِ أَوَّلُهَا
“Akhir ummat ini tidak akan bisa baik kecuali dengan mengikuti apa yang membuat baik generasi pertamanya.”
Untuk itulah kita harus meniti jejak generasi pertama Islam yaitu para sahabat jika ingin mengembalikan kejayaan ummat.
Karakter Utama
Di antara hal mendasar yang perlu kita teladani dari generasi pertama ummat ini adalah sifat zuhud dan yaqin yang melekat pada diri mereka. Rasulullah saw bersabda :
صَلَاحُ أَوَّلِ هَذِهِ الأُمَّةِ بِالزُّهدِ وَاليَقِينِ، وَيَهلَكُ آخِرُها بِالبُخلِ وَالأَمَلِ
“Baiknya keadaan generasi pertama dari ummat ini adalah dengan sifat zuhud dan yaqin dan hancurnya akhir ummat ini adalah dengan sifat bakhil dan panjang angan–angan.” (Sahihul Jami’ :3845).
Dari sabda beliau tersebut kita memahami bahwa di antara wasilah utama baiknya generasi awal adalah dengan kezuhudan. Kezuhudan yang berarti keadaan hati yang mementingkan kepentingan akherat dibanding kepentingan dunia. Atau juga bermakna meninggalkan hal-hal yang tidak ada manfaatnya untuk akherat.
Mental zuhud inilah yang kemudian mendorong para sahabat untuk giat berlomba meraih kemuliaan akherat. Bukan sibuk bersaing dalam urusan dunia. Membuat mereka tetap tenang dengan musibah dunia.
Sahabat Amru bin Jammuh adalah salah satu teladan pemburu akherat. Saat ada mobilisasi perang Uhud, beliau bergegas untuk mengikuti perang. Namun ke empat putranya yang sudah bergabung dengan pasukan Rasulullah menahan beliau, dengan alasan beliau udzur karena sudah tua dan pincang. Sedangkan ke empat putranya pun sudah henda berangkat berjihad.
Namun Amru bin Jamuh ra tidak menerima. Beliau menghadap Rasulullah minta diijinkan ikut berjihad. Ketika ditanya mengapa tidak mencukupkan dengan ke empat putranya, beliau menjawaab, “Saya ingin masuk jannah dengan kaki saya yang pincang ini.”
Melihat tekad yang begitu kuat maka Rasulullah saw pun mengijinkannya. Dan ketika perang berkecamuk, kemudian kaum musliminin terdesak, Amr bin Jamuh termasuk yang tegar berperang sampai akhirnya kesyahidan menjemputnya.
Inilah pelajaran besar dari sosok Amr bin jamuh yang tidak mau kalah berlomba dengan para putranya dalam memburu ridho Allah dan jannah.
Generasi yang telah tersibghoh dengan kezuhudan inilah kemudian menjadi generasi yang saling menguatkan ukhuwah, itsar (mengutamakan yang lain) dalam urusan dunia, tidak terjangkiti penyakit iri hati, dan tidak saling mengandalkan orang lain dalam melakukan amal sholih. Mereka dengan lapang hati rela berkorban baik harta, waktu, tenaga bahkan nyawa untuk kemuliaan agama. Karena mereka sadar, semua amal shalihnya akan mereka dapati buahnya kelak di akherat, tidak ada yang hilang, tidak ada yang terbuang sia-sia.
Demikian pula, saat menghadapi berbagai ujian dunia, generasi ini tetap berbaik sangka kepada Allah. Menerima ujian kehidupan dengan penuh keyakinan akan mendapat ampunan dan peningkatan derajat di akherat. Mereka lebih besar harapannya terhadap pahala Allah dibanding rasa sedihnya karena kehilangan dunia. Sebagaimana yang dicontohkan Khansa’ ra. Saat shahabiyah satu ini mendapat berita ke empat putranya syahid dalam satu waktu peperangan, maka beliau justru berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memuliakanku dengan kesyahidan mereka. Dan aku berharap akan disatukan dengan mereka di jannah.”
Menggapai Sifat Zuhud
Adapun generasi hari ini, kita rasakan justru sifat utama ini mulai redup dari ruang kehidupan. Yang nampak justru sebaliknya. Tanda-tanda cinta dunia melebihi cinta akherat banyak kasat mata dalam kehidupan kaum muslimin. Pembicaraan tidak lagi kepada perlombaan menggapai kemuliaan akherat, namun justru berlomba menikmati dunia. Bahkan sampai pada tingkat halal haram pun kurang dipedulikan. Cinta kedudukan, cinta ketenaran, lemah amal kecuali karena dorongan imbalan dunia menjadi wajah sebagian generasi muslim hari ini. Akhirnya ummat terbaik ini pun terjatuh dalam lembah kehinaan. Rasulullah saw telah mengingatkan tentang bahaya cinta dunia dalam sabdanya:
فَوَاللَّهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ ، وَلَكِنِّى أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ قَبْلَكُمْ ، فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا ، وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ . أخرجه البخاري ، ومسلم
“Demi Allah, bukan kefakiran yang lebih saya takutkan pada kalian, tetapi saya takut terbukanya dunia bagi kalian sebagaimana telah dibukakan bagi kaum sebelum kalian, lalu kalian berlomba lomba meraihnya sebagaimana mereka berlomba lomba lalu menghancurkan kalian sebagaimana mereka juga hancur karenanya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Di sinilah perlunya kita berusaha kembali menghidukan sifat zuhud ini pada diri kita. Sehingga kita merasakan kenikmatan bisa berkorban untuk Allah, berletih letih di jalan-Nya meskipun imbalan dunia tidak menyapa kita. Diantara yang harus kita lakukan untuk memunculkan atau menguatkan sifat zuhud adalah:
Pertama; sering mengingat betapa kecilnya nilai dunia dibanding nilai akherat.
Hendaklah seorang mukmin sering menyadari bahwa dunia itu hanyalah tempat persinggahan. Kenikmatan yang ada sangat sedikit nilainya dibanding kenikmatan akherat. Hendaknya ayat ayat Alloh dan hadits Nabi yang mengingatkan nilai dunia sering menjadi bahan perenungan kita. Diantaranya seperti yang Alloh firmankan:
وَمَا هَٰذِهِ ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا لَهۡوٞ وَلَعِبٞۚ وَإِنَّ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَ لَهِيَ ٱلۡحَيَوَانُۚ لَوۡ كَانُواْ يَعۡلَمُونَ ٦٤
“Tiadalah kehidupan dunia itu melainkan senda gurau dan permainan belaka, dan sesungguhnya negeri akherat itulah kehidupan yang sebenarnya sekiranya kalian mengetahui.” (Al Ankabut:64)
Rasulullah n pernah bersabda:
مَا الدُّنْيَا فِى الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ فِى الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَاذَا يَرْجِعُ (الترمذي وقال حسن صحيح)
“Tiadalah permisalan dunia dibanding akherat kecuali seperti salah seorang diantara kalian memasukkan jemarinya ke dalam air laut, maka lihatlah seberapa air yang melekat pada jemari tersebut.” (HR. Tirmidzi –hasan shahih).
Dalam keseharian, Rasulullah n sering mengingatkan para sahabat tentang hakekat dunia. Misalnya saat beliau sedang melewati pasar dengan para shahabat, maka beliau melihat seekor anak kambing cacat yang telah mati. Beliaupun mengangkat bangkai anak kambing itu lantas bersabda: “Siapa diantara kalian yang suka membeli anak kambing ini dengan uang satu dirham?” Mereka menjawab, “Kami tidak membelinya dengan sesuatupun, apa yang bisa kami perbuat dengan bangkai tersebut?” Beliau bersabda, “Kalian suka jika ini dihadiahkan kepada kalian?” Mereka menjawab, “Demi Allah, sekiranya ia hidup maka ia adalah binatang cacat, telinganya kecil, apalagi jika ia telah menjadi bangkai?” Beliau lantas bersabda, “Demi Alloh, sesungguhnya dunia ini lebih rendah di hadapan Alloh daripada bangkai ini di hadapan kalian.” (Muslim).
Kedua; sering mengingat kehidupan setelah mati
Merenungkan segera berakhirnya kehidupan, kemudian tanggung jawab dunia yang akan dipertanyakan, mengingat ngerinya siksa kubur dan siksa neraka, akan membuat seseorang semakin kuat tekadnya untuk menjadi manusia berorientasi akherat. Oleh karena itu ayat-ayat Al Qur’an atau taujih Rasulullah hampir tidak pernah lepas dari urusan mengingatkan akherat. Beliau n bersabda :
أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ يَعْنِي الْمَوْتَ (الترمذي حسن صحيح)
“Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan yaitu kematian.” (HR. Tirmidzi- hasan shahih).
Para salafush sholih telah memberi keteladanan yang baik dalam hal ini. Tidakkah kita ingat kisah Umar bin Abdul Aziz yang pernah menangis dengan tangisan yang begitu memilukan. Sehingga isterinya tak tahan untuk tidak ikut menangis. Mendengar tangisan mereka berdua, para kerabatnya pun tidak kuasa menahan tangisnya. Setelah suasana tenang Fathimah isteri Umar bertanya, “Ada apa sebenarnya sehingga Anda menangis dengan tangisan yang begitu memilukan?” Umar bin Abdul Aziz menjawab, “Wahai Fathimah, saya membayangkan manusia sedang digiring menuju tempat keabadiannya. Sebagian digiring menuju jannah dan sebagian digiring menuju neraka, dan saya tidak tahu akan masuk golongan yang manakah diriku.” Kemudian beliau pun pingsan.
Ketiga; memperbanyak majelis keimanan bersama orang-orang shalih
Lingkungan, sangat besar pengaruhnya bagi pembentukan kepribadian seseorang. Rata-rata manusia amat mudah terpengaruh dengan lingkungan pergaulannya. Oleh karenanya Rasulullah n mengingatkan kita untuk berkawan dengan orang-orang yang bertakwa. Sabda beliau:
لَا تُصَاحِبْ إِلَّا مُؤْمِنًا وَلَا يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلَّ اتَقِيٌّ (الترمذي وأبو داود)
“Janganlah berkawan kecuali dengan orang beriman dan jangan memakan makananmu kecuali orang yang bertakwa.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud)
Maka berkumpul untuk menambah keimanan menjadi menu harian para sahabat. Mereka sering berkata, “Mari kita duduk sebentar untuk menambah keimanan kita.” Dan dikabarkan bahwa jika orang-orang Bashroh telah tergoda dengan cinta dunia, mereka segera menuju majlis imam Hasan al Bashri, sehingga mereka kembali teringat dan mengutamakan akherat.
Semoga hari ini kita diberi karunia Allah berupa teman-teman pergaulan yang sholeh, yang hatinya terpaut untuk selalu bersiap menghadapi kehidupan setelah mati, sehingga kitapun bisa menjaga orientasi hidup kita. Aamiin.