Banyak muslim yang mengetahui bahwa ayat yang menjadi awal mula diturunkannya ribuan ayat yang lain adalah ayat yang diawali kalimat Iqra’, bacalah! Banyak muslim yang tidak hanya tahu ayat tersebut tapi juga menghapalnya. Bahkan mungkin juga membacanya dalam shalat mereka. Iqra’, bacalah! Tapi mungkin tidak banyak muslim yang merenungi, bertadabbur dan bertanya kepada diri sendiri, mengapa kepada seorang Nabi yang ummi Allah menurunkan wahyu dan perintahnya yang pertama Iqra’, bacalah!
Mengapa di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas buta huruf dan dalam kondisi minimnya beragam fasilitas membaca, Allah turunkan wahyu pertama kepada umat ini, Iqra’ bacalah !
Allah yang Maha ‘Alim pastinya mengetahui dengan pasti, bahwa pada perkembangan zaman berabad-abad berikutnya, dunia literasi (hal-hal yang berkaitan dengan baca tulis) akan berkembang sedemikian pesat. Buku-buku akan dicetak melimpah ruah, penerbit-penerbit akan menjamur, toko-toko buku akan tersebar di mana-mana dan buta huruf menjadi suatu hal jarang ditemukan. Kemajuan teknologi akan semakin memudahkan kegiatan baca tulis, dari yang semula baca tulis diawali dengan media terbatas (daun, tulang & kulit hewan dsb), kemudian berkembang menjadi buku, majalah, tabloid kemudian berlanjut ke era digital dan kita tidak tahu perkembangan apalagi yang menanti di masa depan.
Sayangnya kemudahan ini tidak diikuti semangat kaum muslimin untuk mengamalkan perintah Allah iqra’ ini. Terutama dalam lingkup Indonesia, kemampuan literasi anak-anak Indonesia sangat jauh dari harapan. Penelitian yang dilakukan PISA (Programme for International Student) melaporkan bahwa dari 65 negara, kemampuan anak Indonesia dalam membaca dan menganilisis bacaan menempati peringkat ke-57. Jika dirata-rata, anak-anak Indonesia hanya membaca 27 halaman buku selama setahun yang berarti satu halaman dibaca selama 14 hari, sangat jauh dibawah anak-anak Finlandia yang membaca 300 halaman dalam waktu 5 hari. Bahkan yang amat menyedihkan, anak indonesia disebut mengalami tragedi nol buku, dimana tidak ada buku yang habis dibaca selain teks pelajaran dalam kurun waktu setahun.
Membaca adalah wujud kecintaan seorang muslim terhadap ilmu, sedangkan ilmu akan mengantarkan pada amal. Dalam perintah iqra’ Allah menghasung setiap muslim untuk menggunakan nikmat akalnya dengan semaksimal mungkin sehingga dapat meraih manfaat yang sebesar-besarnya.
Membaca adalah salah satu cara mencari ilmu selain banyak cara yang lain. Bahkan membaca adalah cara untuk bisa menguasai ilmu dengan mendalam dan luas dalam waktu yang relatif singkat.
Membaca adalah wujud ikhtiar dari seorang muslim untuk meningkatkan kemampuan dirinya baik secara ruhiyah, ilmiah maupun amaliah. Karena membaca akan memberi bekal dasar tentang suatu hal kemudian memotivasi seseorang untuk sampai pada pengamalan. Berapa banyak buku yang sanggup menggetarkan pembacanya, menginspirasi dan menggerakkan untuk berbuat sesuatu sehingga terkadang harus dibredel atau diawasi penerbitannya.
Dalam konteks keluarga muslim, seorang ayah yang membaca tentunya akan menjadi ayah yang mengerti tugas dan kewajibannya, dapat merumuskan visi dan misi keluarga kecilnya, akan dibawa kemana dan dibentuk seperti apa? Lidahnya tidak akan kelu saat ingin menyuruh anak-anaknya belajar karena ia sendiri sudah mencontohkannya.
Demikian pula seorang ibu yang membaca, akan mempunyai wawasan dan pengetahuan yang cukup untuk menjalankan tugas dan perannya sebagai ibu. Dapat menjadi partner yang hebat bagi suaminya dalam mendidik anak-anak mereka. Ia akan punya banyak cara dan solusi, tidak hanya meniru dari lingkungan atau yang paling mengkhawatirkan mendidik tanpa berdasar pada ilmu. Ia bisa mengambil dan berbagi pengalaman dengan ibu-ibu yang lain dalam tugas kerumahtanggaan. Ia juga akan punya jawaban atas pertanyaan anak-anaknya tentang nama-nama awan misalnya, apa arti penista? Kenapa Raja Salman datang ke Indonesia? Dan lain sebagainya ketimbang menghindar atau menyuruh mereka bertanya pada orang lain.
Seorang anak yang membaca tentunya tidak akan sulit saat diminta belajar. Orangtua tidak perlu susah payah menyuruhnya belajar karena setiap hari ia sudah belajar tanpa disuruh dengan membaca, minat belajarnya tinggi, prestasi akademik mereka biasanya bagus dan kecakapan intelektual mereka cukup baik.
Mereka cenderung lebih populer di antara teman-temannya dan dijadikan rujukan. Punya banyak topik pembicaraan dan ide baru. Tidak mudah ikut-ikutan dan punya alternatif solusi dalam menghadapi masalah.
Mengharapkan keluarga kita menjadi keluarga yang mengamalkan satu perintah Allah ini tentu bukan tanpa kendala. Dari sisi finansial tentu harus ada prioritas untuk mengalokasikan sebagian anggaran belanja untuk pengadaan buku. Walaupun ketersediaan buku bisa juga disiasati dengan meminjam, mencari buku murah/diskon atau memanfaatkan perpustakaan sekolah. Jika untuk anggaran pakaian baru atau anggaran yang lain saja bisa pasti untuk buku jika dipentingkan juga bisa.
Tak kalah pentingnya adalah faktor teladan dari orang tua, sehingga anak bisa menyaksikan langsung bahwa membaca adalah kegiatan yang tidak hanya bermanfaat tapi juga menyenangkan. Dimulai dari mengenalkan buku semenjak kecil, mengenalkan gambar, membacakan kata-kata sederhana, membacakan cerita sebelum tidur, mendiskusikan bacaan dan seterusnya sampai anak benar-benar memiliki keterikatan dengan buku dan menjadikan membaca menjadi bagian hidupnya.
Sulit? Sendirinya tidak suka membaca? Yakinlah, salah satu pemberian terbaik orang tua sebagai bekal hidup anak- anak mereka adalah skill/kemampuan dan kecintaan membaca. Wallahu a’lam.
Oleh : Ustadzah Suryani Arfa