Ikhlas merupakan suatu keharusan bagi para penuntut ilmu. Penuntut ilmu tidak boleh mengotori niat saat belajar dengan riya’, sum’ah, mencari dunia, kedudukan dan kehormatan. Namun bagaimana jika di awal menuntut ilmu niatnya ikhlas karena Allah kemudian di tengah perjalanan muncul benih-benih riya seperti ingin dipuji atau disebut sebagai seorang alim?
Apabila para penuntut ilmu mengalamai hal demikian, maka hendaknya ia segera menyibukkan diri dengan meluruskan niatnya dan berjuang mengusir was-was setan sampai niatnya kembali bersih. Tentunya hal ini membutuhkan perjuangan. Karena mengikhlaskan niat memang bukan perkara yang mudah. Sufyan Ats Tsauri pun mengakauinya. Beliau pernah berkata:
مَا عَالَجْتُ شَيْئاً أَشَدُّ عَلَيَّ مِنْ نِيَّتِيْ ، إِنَّهَا تَقَلَّبَ عَلَيَّ
“Tidak ada sesuatu yang terasa lebih berat bagiku kecuali membenahi niatku, sesungguhnya ia (niat) berbolak-balik pada diriku.” (Khatib Al Baghdadi, Al Jami’ li Akhlaqir Rawi wa Adabus Sami’, I/317)
Ayyub juga berkata, “Bagi orang yang beramal, mengikhlaskan niat jauh lebih sulit dari melakukan seluruh amal itu sendiri.” (Tazkiyatun Nafs)
Maka ketika riya’ muncul hendaknya segara dicabut sampai ke akarnya. Perlu diketahui bahwa pokok riya’ ada tiga, yaitu suka dipuji atau disebut kebaikannya, takut celaan dari manusia, dan tamak dan rakus terhadap apa yang dimiliki oleh manusia. Hal ini dapat disaksikan dalam sebuah hadits shahih dari hadits Abi Musa radhiyallahu ‘anhu, berkata: “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah ` kemudian berkata: “Wahai Rasulullah! Bagaimana pendapatmu terhadap orang laki-laki yang berperang karena keberanian, berperang karena kebangsaan, berperang karena riya’, maka di antara ini manakah yang di jalan Allah? Kemudian Rasulullah ` bersabda:
مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِىَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Barangsiapa yang berperang dalam rangka menegakkan kalimat Allah, maka dia ada di jalan Allah azza wajalla.” ( HR. Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu hendaknya para penuntut ilmu berusaha dengan sekuat tenaga untuk menghilangkan perasaan suka dipuji, takut celaan dan tamak terhadap apa yang dimiliki orang lain. Karena sesungguhnya itu semua akan menyebabkan hadirnya riya’ dalam hati para penuntut ilmu.
Riya’ bukan Penghalang
Riya’ saat menuntut ilmu memang sangat dilarang. Bahkan Allah mengancamnya dengan adzab yang pedih bagi mereka yang riya’ ketika menuntut ilmu. Namun bukan berarti kemudian meninggalkan thalabul ilmi karena takut riya’. Ia tetap harus menuntut ilmu dan giat belajar dengan diiringi usaha untuk menghilangkan riya’ dan meluruskan niatnya. Karena meninggalkan amal karena takut riya termasuk riya’. Fudhail bin Iyyadh berkata:
تَرْكُ الْعَمَلِ لِأَجْلِ النَّاسِ رِيَاءٌ وَالْعَمَلُ لِأَجْلِ النَّاسِ شِرْكٌ وَالْإِخْلَاصُ أَنْ يَعَافِيَكَ اللهُ مِنْهُمَا
“Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’ sedang beramal karena manusia adalah syirik. Adapun ikhlas, ketika Allah menyelamatkanmu dari keduanya.” (Bustanul Arifin, I/7)
Bahkan kadang rasa takut terjerumus dalam riya’ ini dijadikan setan untuk menghalangi manusia untuk menuntut ilmu, menghalangi orang alim dari mengajarkan ilmunya. Sehingga mereka menghentikan aktivitasnya karena takut riya’ jika manusia memujinya.
Padahal para ulama’ telah membedakan antara amal yang memang sejak awal diniatkan karena riya’ dengan amal yang dikerjakan dengan ikhlas kemudian dipuji manusia, lalu ia merasa senang dengan pujian itu. Karena untuk yang kedua, insya Allah tidak termasuk riya’. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Dzar, ditanyakan kepada Rasulullah:
أَرَأَيْتَ الرَّجُلَ يَعْمَلُ الْعَمَلَ مِنَ الْخَيْرِ وَيَحْمَدُهُ النَّاسُ عَلَيْهِ قَالَ « تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ »
“Bagaimana pendapat Anda, jika ada seseorang yang mengerjakan suatu amal kebajikan lalu manusia memujinya? Maka beliau bersabda, “Itu adalah kabar gembira bagi seorang mukmin yang disegerakan.” (HR. Muslim)
Imam An Nawawi berkata, “Seharusnya seseorang tidak terhalang dari mengajarkan ilmu karena niatnya belum benar. Karena sebenarnya ia tetap diharapkan bisa memperbaiki niatnya. Boleh jadi pembersihan niat ini terasa sulit bagi para pemula karena jiwa mereka yang masih lemah dan belum biasa melakukan hal-hal yang bisa menumbuhkan keikhlasan. Sedangkan tidak mau mengajari manusia menyebabkan hilangnya banyak ilmu. Padahal ia diharapkan dengan berkah ilmu bisa membenahi niatnya jika telah terbiasa dengan dunia ilmu. Ada yang mengatakan:
طَلَبْنَا الْعِلْمَ لِغَيْرِ اللهِ فَأَبَى أَنْ يَكُوْنَ إِلَّا للهِ
“Kami mencari ilmu bukan karena Allah tetapi kemudian ilmu itu tidak mau dicari kecuali jika karena Allah semata.” Artinya akhir dari semua itu akan menjadi karena Allah semata.
Demikianlah seharusnya yang dilakukan seorang penuntut ilmu ketika riya’ datang tak diundang. Hendaknya ia segera menyibukkan diri dengan meluruskan niat dan berjuang mengusir was-was setan sampai niatnya kembali bersih. Demikian pula takutnya penuntut ilmu dari riya’ tidak menghalangi untuk selalu belajar. Karena di kemudian hari bisa diharapkan dengan berkah ilmu bisa membenahi niatnya jika telah terbiasa dengan dunia ilmu. Wallahu a’lam bish shawwab.
Oleh : Qolam El-Fikr