Daftar Isi
Saat nabi hijrah ke Madinah, maka ada dua mega proyek yang dibangun nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; masjid dan pasar.
Masjid menjadi simbol vertikal hubungan hamba dengan Sang Pencipta dan pasar sebagai simbol horizontal.
Keduanya merupakan pilar kebesaran Islam. Terkhusus masjid, maka perannya sejak awal telah menjadi basis pembentukan masyarakat Islam kota Madinah yang religius.
Kita bisa melihat bagaimana peran masjid di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Masjid nabawi yang amat sederhana bangunannya itu menjadi pusat kegiatan kaum muslimin.
Di situ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beribadah shalat lima waktu. Dari masjid itu pula beliau mengatur Negara Madinah dan semua sahabat yang menjadi rakyatnya, sekaligus menjadi jama’ah dalam shalat lima waktunya.
Di masjid juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pengajaran tentang Islam. Bukan sekedar hukum-hukum fikih ibadah, melainkan juga persoalan sosial, ekonomi, politik, dan tata negara.
Bahkan di Masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima tamu-tamu dan utusan yang datang dari negeri luar.
Bisa diibaratkan masjid itu seperti jantung bagi tubuh, ia menjadi tempat pemompa kualitas kaum muslimin.
Masjid ibarat mata air yang terus memancarkan air jernih yang dibutuhkan kehidupan semua makhluk.
Karenanya, dari sanalah kaum muslimin merancang dan mendesain masa depan, baik dari lini agama, ekonomi, politik, sosial dan seluruh sendi kehidupan sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat memfungsikan masjid secara maksimal.
Tapi sayang, hari ini peran masjid mulai bergeser. Ia mengalami mutilasi fungsi dan distorsi wilayah kerja. Masjid hanya identik dengan tempat shalat, tidak lebih dari itu.
Kalau pun lebih, maksimal hanya even-even seremonial tahunan.
Pada beberapa masjid, ada yang sudah tidak menyelenggarakan shalat jamaah lagi khususnya shalat Dzhuhur dan Ashar. Kalau menengok jamaah shubuhnya, lebih tragis dan menyedihkan.
Berlomba Membangun, Enggan Memakmurkan
Adalah sebuah kebahagiaan ketika kita menyaksikan begitu mudah mendapati masjid di negeri-negeri muslim.
Setiap desa memiliki masjid, dan bahkan hampir di setiap tempat juga disediakan masjid. Perumahan, pertokoan, perkantoran dan tempat-tempat umum lainnya hampir seluruhnya dilengkapi dengan fasilitas yang bernama masjid (mushalla).
Keadaan yang demikian di satu sisi membuat kita begitu senang karena orang-orang mulai sadar akan pentingnya shalat. Mereka membuat masjid di berbagai tempat dengan harapan agar mempermudah proses ibadah yang hendak mereka kerjakan.
Kehadiran masjid-masjid di sekitar mereka sedikit banyak akan membantu karena tak perlu waktu lama untuk mendatangi masjid dan shalat berjamaah di dalamnya.
Satu sisi lainnya, fenomena pertumbuhan masjid yang semakin banyak ternyata tidak diimbangi dengan upaya memakmurkannya. Alhasil, banyak masjid yang telah dibangun tetapi sepi dari jamaah.
Adzan jarang terdengar, shalat jamaah tidak digelar kecuali shalat Maghrib dan Isya, serta Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) terpaksa harus libur karena tidak ada tenaga pengajar.
Mega Proyek Darusy Syahadah; Masjid Multifungsi
Masjid Baitul Makmur yang saat ini berada di komplek Pesantren Darusy Syahadah telah menjadi pusat kegiatan kaum muslimin, khususnya para ustadz dan santri untuk berbagai aktivitas keislaman sehari-hari.
Kesadaran untuk mencontoh dan memfungsikan masjid sebagai mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat telah mendorong para jamaah untuk memaksimalkan peran masjid.
Bisa dibilang masjid Baitul Makmur menjadi rumah kedua bagi para jamaahnya di luar aktivitas mereka di asrama, kelas, dan kegiatan outdoor.
Di masjid inilah santri dan ustadz berkumpul untuk berbagai aktivitas.
Kegiatan shalat berjama’ah, sholat-sholat sunnah, halaqah tahfidz, apel pekanan, kegiatan beladiri, muhadharah, diskusi dan kajian umum, seminar, bedah buku, dan itikaf tahunan, semuanya merupakan kegiatan yang membuat masjid ini tidak pernah sepi.
Jika bukan karena aturan yang disepakati, mungkin para santri ingin agar kamar istirahat mereka pun di masjid seperti Ahlus Suffah di zaman nabi.
Dengan jumlah jamaah lebih dari 650 orang, masjid ukuran 23 x 23 ini sudah overcapacity.
Terlebih ketika ada kunjungan tamu dan kegiatan keislaman dan mengundang jamaah kaum muslimin di luar mahad, maka shalat berjamaah harus dibuat 2 shift.
Saat ini, dalam kondisi normal saja sebagian jamaah yang masbuk harus rela mendapat shaf di luar yang seandainya musim hujan sudah pasti akan kehujanan.
Melihat perkembangan dan pertumbuhan santri yang terus bertambah dari tahun ke tahun, maka keberadaan masjid Baitul Makmur saat ini sudah tidak memungkinkan untuk bisa menampung jamaahnya.
Atas kondisi yang demikian, pengurus pesantren dan seluruh jajarannya telah bermusyawarah untuk mendirikan masjid yang lebih besar yang diperkirakan bisa menampung lebih dari 2000 jamaah.
Masjid ini juga dilengkapi dengan perpustakaan yang insya Allah mampu menampung lebih dari 100.000 jilid buku.
Bukan hanya itu, masjid ini kelak juga difasilitasi dengan berbagai ruang serbaguna yang memungkinkan untuk terpenuhinya semua aktivitas keislaman yang diselenggarakan oleh pihak pesantren.
Kehadiran perpustakaan yang lengkap, termasuk media digital serta ruangan serbaguna yang multifungsi, diharapkan bisa menjadikan masjid ini sebagai mercusuar peradaban yang melahirkan kader-kader dan juru dakwah yang handal.
Seperti kegemilangan umat Islam di era kejayaan Andalusia dan Turki Utsmani, dunia pendidikan yang dikawal dengan peran masjid dan perpustakaan yang standar telah mampu membawa umat Islam pada puncak kejayaan keilmuan dan keimanan.
Semoga Allah memberikan kemudahan untuk terwujudnya mega proyek ini dengan tergeraknya hati kaum muslimin, terkhusus para muhsinin, untuk ikut ambil bagian bangunan surga ini.
Siapa yang membangun masjid di dunia karena Allah semata, maka kelak Allah akan membangunkan baginya masjid di surga.