Daftar Isi
Pada masa awal penyebaran Islam, masjid memiliki fungsi mulia yang bisa jadi sekarang mulai terlupakan. Pada zaman itu, masjid tidak hanya digunakan sebagai tempat ibadah saja.
Akan tetapi juga digunakan sebagai markas besar tentara dan pusat gerakan pembebasan umat dari penghambaan kepada manusia.
Masjid pun berfungsi sebagai pusat pendidikan yang mengajarkan kepada manusia tentang keutamaan, kecintaan kepada pengetahuan, sekaligus tempat pemberantasan kebodohan.
Kondisi seperti ini terus berlanjut hingga dalam perkembangannya sekarang ini mengalami pasang surut.
Kadang-kadang bahkan masjid hanya dijadikan sebagai ajang penonjolan kemewahan belaka.
Masih hangat dalam ingatan, sewaktu masih kecil sekitar tahun delapan puluhan masjid begitu ramai oleh jamaah.
Tidak hanya golongan tua, anak-anak muda pun menjadikan masjid sebagai tempat berkumpul.
Bahkan para pemuda waktu itu memiliki pantangan tidur di rumah setelah mulai baligh. Rumah hanya ditempati pada siang hari, setelah sekolah dan membantu orang tua.
Malam hari mereka habiskan di masjid-masjid untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, misalnya belajar membaca Al-Qur’an, tajwid, bela diri, dan lain sebagainya.
Tak ayal cerita-cerita mistik pun selalu menyertai, mulai dari dipindah jin ke atas loteng masjid saat tidur hingga dipindah ke kuburan.
Agaknya hari ini gambaran seperti itu sudah sangat sulit kita jumpai, masjid-masjid mulai sepi ditinggalkan para jamaahnya.
Kalaupun ada, sering kali masjid hanya diisi oleh barisan orang-orang tua yang sudah peot dan keriput.
Jangankan sebagai pusat pendidikan, untuk sekedar berzikir kepada Allah Ta’ala saja sepi.
Masjid Sebagai Sentral Pendidikan
Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, masjid dijadikan sebagai sentral pendidikan yang di dalamnya mengajarkan semua ilmu pengetahuan.
Di masjid itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin berkumpul untuk belajar hukum dan dasar-dasar agama Islam.
Memecahkan berbagai masalah keagamaan, mulai dari masalah keimanan, ibadah, syariah (sistem kehidupan Islam), akhlak, budaya, dan sebagainya.
Bahkan di masjidlah dilatih para dai untuk kemudian dikirim ke berbagai daerah mengajarkan Islam kepada penduduknya.
Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanfaatkan masjid sebagai sentral pendidikan.
Oleh karena itu, masjid dalam sejarah Islam sebenarnya adalah madrasah pertama bahkan universitas pertama setelah rumah Dar Al-Arqam bin Al-Arqam yang langsung diampu oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kebiasaan menjadikan masjid sebagai sentral pendidikan ini pun dilanjutkan oleh para Khalifah sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebab memang di dunia Islam masjid dan pendidikan menjadi satu kesatuan. Di mana pun ajaran Islam berkembang, di situlah bangunan masjid menjulang.
Sejarah peradaban Islam mencatat, aktivitas pendidikan berupa sekolah pertama kali hadir di masjid pada tahun 653 M di kota Madinah.
Pada era kekuasaan Dinasti Umayyah, sekolah di masjid pun mulai muncul di Damaskus pada tahun 744 M.
Sejak tahun 900 M, hampir setiap masjid memiliki sekolah dasar yang berfungsi untuk mendidik anak-anak muslim yang tersebar di dunia Islam.
Pada zaman keemasan Islam, anak-anak mulai disarankan untuk menimba ilmu sejak menginjak usia lima tahun.
Pada tahap awal, mereka diajarkan cara untuk menulis 99 nama Allah yang indah atau asmaul husna.
Selain itu, anak-anak muslim di masa kekhalifahan pun mulai diperkenalkan dengan tulisan ayat-ayat Al-Qur’an yang sederhana.
Setelah mahir membaca dan lincah menulis, anak-anak yang belajar di masjid diajarkan Al-Quran ditambah pelajaran berhitung atau aritmetika.
Para siswa juga bisa mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Masjid-masjid besar, biasanya juga menawarkan pendidikan ilmu yang lebih luas lagi.
Di masjid-masjid besar itu, para pelajar di zaman kekhalifahan bisa mempelajari beragam ilmu seperti tata bahasa Arab, logika, aljabar, biologi, sejarah, hukum, dan lain sebagainya.
Aktivitas keilmuan di masjid ini bahkan bisa melahirkan pendidikan tinggi atau universitas-universitas modern terkemuka.
Misalnya, Universitas Al-Qarawiyyin yang berada di kota Fez Maroko, Universitas Sankore di Timbuktu Mali, Universitas Nizhamiyah di Baghdad, dan Universitas Al-Azhar di Kairo Mesir.
Bahkan di indonesia ada juga universitas yang dulunya berawal dari masjid, misalnya UAI (Universitas Al-Azhar Indonesia) yang terlahir dari Masjid Al-Azhar.
Universitas Al-Azhar (Mesir) sendiri pada mulanya hanyalah majelis taklim kecil yang diadakan di dalam Masjid Al-Azhar yang dibangun pada masa dinasti Fatimiyah.
Barulah pada bulan Ramadhan atau tepatnya pada bulan Oktober 975 M untuk pertama kali diadakan kuliah resmi. Guru pertamanya adalah Qadhi Al-Qudhah Abu Hasan Ali Ibnu Nu’man Al-Kairawani.
Meskipun pada awal kuliah pelajaran yang diajarkan adalah berbasis mazhab Syi’ah, akan tetapi pada masa setelah Shalahuddin Al-Ayubi memerintah terjadilah perubahan orientasi besar-besaran dari mazhab Syi’ah ke mazhab Suni.
Masjid Tempat Persemaian para Ulama
Kita tentu masih ingat, pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat sebuah tempat yang istimewa di serambi masjid Nabawi yang disebut dengan Darus Shuffah.
Di tempat inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendirikan pusat pendidikan Islam pertama kali yang beliau sendiri terjun langsung menjadi gurunya.
Karena memang salah satu tugas pokoknya adalah mendidik dan menyebar luaskan ilmu pengetahuan.
Allah Ta’ala berfirman
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri,
yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al hikmah.
Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Ali-Imran: 164)
Darus Shuffah awalnya adalah sebuah bangunan tanpa atap.
Seiring dengan terjadinya perpindahan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah di Makkah, terjadilah perubahan geografis di masjid Nabawi.
Tembok masjid Nabawi yang semula menjadi petunjuk arah kiblat pertama menjadi bagian belakang.
Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar tembok itu diberi atap, yang kemudian hari dikenal dengan Darus Shuffah atau tempat berlindung.
Di tempat itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai mendidik para sahabat dengan berbagai ilmu pengetahuan, meliputi Al-Qur’an, tajwid, dan ilmu-ilmu keislaman lainya.
Dari sinilah kemudian lahir generasi terbaik yang tiada bandingannya.
Bahkan lahir pula ulama-ulama besar dan tokoh-tokoh penting sekaliber Abu Hurairah, Abu Dzar, Salman Al-Farisi, dan yang lainya.
Pada abad ke-12, masjid-masjid besar yang menyelenggarakan aktivitas pendidikan pun mampu melahirkan sederet tokoh Muslim terkemuka.
Seperti pendidikan Masjid Cordoba Spanyol yang mampu melahirkan seorang ilmuwan besar bernama Ibnu Rusydi dan Ibnu Bajja.
Sebuah masjid di Basrah, Irak juga mampu melahirkan seorang ahli tata bahasa Arab terkemuka sepanjang masa bernama Sibawaih.
Ia merupakan murid Al-Khalil Ibnu Ahmad yang mengajarnya di masjid.
Sekolah yang digelar di Masjid Al-Qarawiyyin Fez, Maroko pun mampu melahirkan ulama dan ilmuwan hebat seperti; Ibnu Khaldun, Ibnu Al- Khatib, Al-Bitruji, Ibnu Harazim, Ibnu Maimoun, serta Ibnu Wazzan (Leo Africanus).
Bahkan di Masjid Al-Qarawiyyin pula Paus Sylvester II menimba ilmu matematika dan lalu menyebarkannya di gereja-gereja Eropa.
Pamor Masjid Al-Azhar, Mesir pun mampu menarik perhatian ilmuwan seperti Ibnu Al-Haitham, Ibnu Khaldun, dan Al-Baghdadi.
Dengan demikian, sejarah telah membuktikan dari masjidlah lahir ulama-ulama besar yang genius dan tangguh.
Sayangnya, masjid yang dahulu merupakan tempat persemaian para ulama, kini tak ubahnya hanya sekedar bangunan mewah yang tak bermakna.
Masjid-masjid sepi dari jama’ah, bahkan ada yang kita jumpai ketika muadzin mengumandangkan adzan terpaksa harus di lakukan di pelataran masjid karena masjid masih dikunci.
Masjid Gudangnya Ilmu
Masjid dan perpustakaan pada zaman kejayaan Islam tak bisa dipisahkan. Sebab masjid juga memainkan peran penting dalam pendidikan umat.
Hal ini mendorong masyarakat di dunia Islam secara rela menyumbangkan dan mewakafkan koleksi buku yang dimilikinya untuk disimpan di perpustakaan masjid.
Koleksi buku-buku di masjid pun akhirnya sangat melimpah. Pada masa itu masyarakat muslim menyerahkan koleksi bukunya ke masjid untuk disimpan di Dar Al-Kutub (perpustakaan).
Masyarakat di hampir seluruh dunia Islam, mulai dari Atlantik hingga ke Teluk Persia menjadikan masjid sebagai tempat yang aman untuk menyimpan buku.
Buku-buku tersebut dihadiahkan dan banyak ilmuwan yang mewariskan perpustakaan pribadinya kepada masjid untuk menjamin buku mereka tetap terpelihara.
Demikian juga agar supaya buku mereka bisa lebih bermanfaat untuk para pelajar yang menimba ilmu di masjid.
Sehingga, ilmu yang terkandung dalam sebuah buku bisa menyebar luas, tak hanya disimpan di rak dan dipenuhi debu.
Tak heran jika koleksi buku yang dimiliki perpustakaan masjid begitu melimpah. Di Aleppo, Suriah misalnya, perpustakaan masjid tertua itu mampu mengoleksi berbagai macam buku, jumlahnya pun sangat fantastis.
Saking melimpahnya koleksi buku-buku yang ada di masjid tersebut menjadikan kita seakan-akan hidup di lautan buku.
Buku-buku itu merupakan pemberian dari penguasa Kota Aleppo yang termasyhur, Pangeran Sayf Al-Dawla.
Gerakan wakaf buku ke perpustakaan masjid yang dipelopori pemimpin itu juga diikuti oleh para ilmuwan dan intelektual.
Masjid Abu Hanifah di Irak pun memiliki koleksi buku yang melimpah. Buku-buku yang tersimpan di perpustakaan masjid itu merupakan hibah atau hadiah dari koleksi pribadi.
Salah seorang tokoh yang menyumbangkan koleksinya ke Masjid Abu Hanifah adalah seorang dokter bernama Yahya Ibnu Jazla (wafat 1099 M) dan penulis sejarah Az-Zamakhshari (wafat 1143 M).
Perpustakaan-perpustakaan di masjid lainnya pun juga banyak mengoleksi buku.
Dengan demikian jadilah perpustakaan masjid menjadi tempat penyimpanan buku-buku yang langka dan tak ternilai harganya.
Besar perhatian kaum muslimin ini merupakan implementasi dari perintah Allah Ta’ala dalam firman-Nya
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah: 122)
Demikian juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Perintah Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itulah yang dijadikan pegangan para penguasa muslim untuk mendukung dan menopang pendidikan.
Perpustakaan masjid di era keemasan telah menjadi lumbung ilmu yang melecut semangat para pelajar serta ulama dan ilmuwan untuk berlomba-lomba meraih ilmu.
Dengan menguasai beragam ilmu pengetahuan itulah, dunia Islam tampil sebagai penguasa dunia selama beberapa abad.
Sayangnya, kini aktivitas keilmuan yang berpusat di masjid menjadi semakin kering.
Masjid hanya dijadikan sebagai tempat ibadah atau shalat, maka tak heran masjid hanya dikunjungi pada waktu-waktu shalat saja, itu pun hanya sedikit orang.
Bahkan kadang-kadang hanya digunakan sebagai tempat pelepas lelah setelah bekerja.
Sehingga aktivitas yang terlihat di masjid hanya shalat, orang nongkrong, orang tidur atau peringatan-peringatan keagamaan tertentu.
Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa dari masjid lah lahir sederet ilmuwan, ulama dan cendekiawan muslim hebat yang mampu memberi kontribusi penting bagi peradaban manusia.
Maka dari itu jangan lupakan madrasahmu.
Penulis: Ustadz Ahsanul Huda
Editor: Ustadz Yazid Abu Fida’
[…] Sumber : www.darusyahadah.com […]