Pada masa awal penyebaran Islam, masjid memiliki fungsi mulia yang bisa jadi sekarang mulai terlupakan. Pada zaman itu, masjid tidak hanya di gunakan sebagai tempat ibadah saja. Akan tetapi masjid digunakan sebagai markas besar tentara dan pusat gerakan pembebasan umat dari penghambaan kepada manusia. Masjid pun digunakan sebagai pusat pendidikan yang mengajarkan kepada manusia tentang keutamaan, kecintaan kepada pengetahuan dan sekaligus tempat pemberantasan kebodohan. Kondisi seperti ini terus berlanjut hingga dalam perkembangannya sekarang ini mengalami pasang surut yang kadang-kadang masjid hanya dijadikan sebagai ajang penonjolan kemewahan belaka.
Masih hangat dalam ingatan kita, sewaktu masih kecil sekitar tahun delapan puluhan masjid-masjid ramai. Tidak hanya diramaikan oleh golongan tua, tetapi merupakan tempat berkumpul anak-anak muda. Bahkan para pemuda waktu itu memiliki pantangan tidur di rumah setelah mulai baligh. Rumah hanya ditempati pada siang hari, setelah sekolah dan membantu orang tua. Malam hari mereka habiskan di masjid-masjid untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, misalnya belajar membaca Al-Qur’an, tajwid, silat dan lain sebagainya. Tak ayal cerita-cerita mistik pun selalu menyertai, mulai dari dipindah jin ke atas loteng masjid saat tidur hingga dipindah di kuburan.
Agaknya hari ini gambaran seperti itu sudah sangat sulit kita jumpai, masjid-masjid mulai sepi ditinggalkan para jama’ahnya. Kalaupun ada, seringkali masjid hanya diisi oleh barisan orang-orang tua yang sudah peot dan keriput. Jangankan sebagai pusat pendidikan, untuk sekedar berdzikir kepada Allah swt saja sepi.
Masjid sebagai Sentral Pendidikan
Pada masa Rasulullah saw, masjid dijadikan sebagai sentral pendidikan yang di dalamnya mengajarkan semua ilmu pengetahuan. Di masjid itulah Rasulullah saw dan kaum muslimin berkumpul untuk belajar hukum-hukum dan dasar-dasar agama Islam. Memecahkan berbagai masalah keagaaman, mulai dari masalah keimanan, ibadah, syari’ah (sistem kehidupan Islam), akhlaq, budaya dan sebagainya. Bahkan di masjidlah dilatih para da’i untuk kemudian dikirim keberbagai daerah mengajarkan Islam kepada penduduknya. Begitulah Rasulullah saw memanfaatkan masjid sebagai sentral pendidikan. Oleh karena itu, masjid dalam sejarah Islam sebenarnya adalah madrasah pertama bahkan universitas pertama setelah rumah Dar Al-Arqam bin Al-Arqam yang langsung diampu oleh Rasulullah saw.
Kebiasaan menjadikan masjid sebagai sentral pendidikan ini pun di lanjutkan oleh para Khalifah sepeninggal Rasulullah saw. Karena memang di dunia Islam, masjid dan pendidikan menjadi satu kesatuan. Di manapun ajaran Islam berkembang, di situlah bangunan masjid menjulang.
Sejarah peradaban Islam mencatat, aktivitas pendidikan berupa sekolah pertama kali hadir di masjid pada tahun 653 M di kota Madinah. Pada era kekuasaan Dinasti Umayyah, sekolah di masjid pun mulai muncul di Damaskus pada tahun 744 M. Sejak tahun 900 M, hampir setiap masjid memiliki sekolah dasar yang berfungsi untuk mendidik anak-anak muslim yang tersebar di dunia Islam.
Pada zaman keemasan Islam, anak-anak mulai disarankan untuk menimba ilmu sejak menginjak usia lima tahun. Pada tahap awal, mereka diajarkan cara untuk menulis 99 nama Allah yang indah atau asmaul husna. Selain itu, anak-anak muslim di masa kekhalifahan pun mulai diperkenalkan dengan tulisan ayat-ayat Al-Quran yang sederhana.
Setelah mahir membaca dan lincah menulis, anak-anak yang belajar di masjid diajarkan Al-Quran ditambah pelajaran berhitung atau aritmatika. Para siswa juga bisa mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Masjid-masjid besar, biasanya juga menawarkan pendidikan ilmu yang lebih luas lagi. Di masjid-masjid besar itu, para pelajar di zaman kekhalifahan pun bisa mempelajari beragam ilmu seperti tata bahasa Arab, logika, aljabar, biologi, sejarah, hukum, dan lain sebagainya.
Aktivitas keilmuan di masjid ini bahkan bisa melahirkan pendidikan tinggi atau universitas-universitas modern terkemuka. Misalnya, Universitas Al-Qarawiyyin yang berada di kota Fez Maroko, Universitas Sankore di Timbuktu Mali, Universitas Nizzamiya di Persia dan Universitas Al-Azhar di Kairo Mesir. Bahkan di indonesia ada juga universitas yang dulunya berawal dari masjid, misalnya UAI (Universitas Al-Azhar Indonesia) yang terlahir dari masjid Al-Azhar.
Universitas Al-Azhar sendiri pada mulanya hanyalah halaqah kecil yang diadakan di dalam masjid Al-Azhar yang dibangun pada masa dinasti Fatimiyah. Barulah pada bulan Ramadhan atau tepatnya pada bulan oktober 975 M untuk pertama kali diadakan kuliah resmi dengan guru pertamanya Qadhi Al-Qudhah Abu Hasan Ali Ibnu Nu’man Al-Kairawani. Meskipun di awal kuliah di ajarkan madzhab Syi’ah akan tetapi pada akhirnya setelah Shalahuddin Al-Ayubi memerintah terjadilah perubahan orientasi besar-besaran dari madzab Syi’ah ke madzab Sunni.
Masjid Tempat Persemaian para Ulama
Kita tentu masih ingat, pada zaman Rasulullah saw terdapat sebuah tempat yang istimewa di serambi masjid Nabawi yang disebut dengan Darus Shuffah. Ditempat inilah Rasulullah saw mendirikan pusat pendidikan Islam pertama kali yang beliau sendiri terjun langsung menjadi gurunya. Karena memang salah satu tugas pokoknya adalah mendidik dan menyebar luaskan ilmu pengetahuan.
Allah swt berfirman;
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
“Sungguh Allah Telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (QS. Ali-Imran: 164)
Darus Shuffah awalnya adalah sebuah bangunan tanpa atap. Seiring dengan terjadinya perpindahan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah di Makkah, terjadilah perubahan geografis di masjid Nabawi.Tembok masjid Nabawi yang semula menjadi petunjuk arah kiblat pertama menjadi bagian belakang. Akhirnya Rasulullah saw memerintahkan agar tembok itu diberi atap, yang kemudian hari dikenal dengan Darus Shuffah atau tempat berlindung.
Di tempat itulah Rasulullah saw mulai mendidik para sahabat dengan berbagai ilmu pengetahuan, meliputi Al-Qur’an, tajwid, dan ilmu-ilmu keislaman lainya. Dari sinilah kemudian lahir generasi terbaik yang tiada bandinganya. Bahkan lahir pulaulama-ulama besar dan tokoh-tokoh penting sekaliber Abu Hurairah, Abu Dzar, Salman Al-Farisi dan yang lainya.
Pada abad ke -12 Masjid-masjid besar yang menyelenggarakan aktivitas pendidikan pun mampu melahirkan sederet tokoh Muslim terkemuka. Seperti, pendidikan Masjid Cordoba Spanyol mampu melahirkan seorang ilmuwa besar bernama Ibnu Rushdi dan Ibnu Bajja. Sebuah masjid di Basrah, Irak juga mampu melahirkan seorang ahli tata bahasa Arab terkemuka sepanjang masa bernama Sibawaih.Ia merupakan murid Al-Khalil Ibnu Ahmad yang mengajarnya di masjid.
Sekolah yang digelar di Masjid Al-Qarawiyyin Fez, Maroko pun mampu melahirkan ulama dan ilmuwan hebat seperti; Ibnu Khaldun, Ibnu Al- Khatib, Al-Bitruji, Ibnu Harazim, Ibnu Maimoun, serta Ibnu Wazzan (Leo Africanus) . Bahkan di Masjid Al-Qarawiyyin pula Paus Sylvester II menimba ilmu matematika dan lalu menyebarkannya di gereja-gereja Eropa. Pamor Masjid Al-Azhar, Mesir pun mampu menarik perhatian ilmuwan seperti Ibnu Al-Haitham, Ibnu Khaldun, dan Al-Baghdadi.
Dengan demikian sejarah telah membuktikan dari masjidlah lahir ulama-ulama besar yang genius dan tangguh. Sayangnya, masjid yang dulunya tempat persemaian para ulama, kini tak ubahnya hanya sekedar bangunan mewah yang tak bermakna.Masjid-masjid sepi dari jama’ah, bahkan tak jarang kita jumpai ketika muazdin mengumandangkan adzan dengan terpaksa harus di lakukan dipelataran masjid karena masjid masih dikunci.
Masjid Gudangnya Ilmu
Masjid dan perpustakaan pada zaman kejayaan Islam tak bisa dipisahkan. Sebab masjid juga memainkan peran penting dalam pendidikan umat. Hal ini mendorong masyarakat di dunia Islam secara rela menyumbangkan dan mewakafkan koleksi buku yang dimilikinya untuk disimpan di perpustakaan masjid. Koleksi buku-buku di masjidpun akhirnya sangat melimpah.
Pada masa itu masyarakat muslim menyerahkan koleksi bukunya ke masjid untuk disimpan di Dar Al-Kutub (perpustakaan). Masyarakat di hampir seluruh dunia Islam, mulai dari Atlantik hingga ke Teluk Persia, menjadikan masjid sebagai tempat yang aman untuk menyimpan buku. Buku-buku itu dihadiahkan dan banyak ilmuwan yang mewariskan perpustkaan pribadinya kepada masjid untuk menjamin buku mereka tetap terpelihara. Demikian juga agar supaya buku mereka bisa lebih bermanfaat untuk para pelajar yang menimba ilmu di masjid. Sehingga, ilmu yang terkandung dalam sebuah buku bisa menyebar luas, tak hanya disimpan di rak dan dipenuhi debu.
Tak heran, jika koleksi buku yang dimiliki perpustakaan masjid begitu melipah. Di Allepo, Suriah, misalnya, perpustakaan masjid tertua itu mampu mengoleksi berbagai macam buku, jumlahnya pun sangat fantastis. Saking melimpahnya koleksi buku-buku yang ada di masjid tersebut menjadikan kita seakan-akan hidup di lautan buku. Buku-buku itu merupakan pemberian dari penguasa Kota Aleppo yang termasyhur, Pangeran Sayf Al-Dawla. Gerakan wakaf buku ke perpustakaan masjid yang dipelopori pemimpin itu juga diikuti oleh para ilmuwan dan intelektual.
Masjid Abu Hanifah di Irak pun memiliki koleksi buku yang melimpah. Buku-buku yang tersimpan di perpustakaan masjid itu merupakan hibah atau hadiah dari koleksi pribadi. Salah seorang tokoh yang menyumbangkan koleksinya ke Masjid Abu Hanifah adalah seorang dokter bernama Yahia Ibnu Jazla (wafat 1099 M) dan penulis sejarah Al-Zamakhshari (wafat 1143 M). Perpustakaan-perpustakaan di masjid lainnya pun juga banyak mengoleksi buku. Dengan demikian jadilah perpustakaan masjid menjadi tempat penyimpanan buku-buku yang langka dan tak ternilai harganya.
Besarnya perhatian kaum muslimin ini merupakan implementasi dari perintah Allah swt. Allah swt berfirman;
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”(QS. At-Taubah: 122)
Demikian juga sabda Rasulullah saw;
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Perintah Allah swt dan Rasulullah saw itulah yang dijadikan pegangan para penguasa muslim untuk mendukung dan menopang pendidikan. Perpustakaan masjid di era keemasan telah menjadi lumbung ilmu yang melecut semangat para pelajar serta ulama dan ilmuwan untuk berlomba-lomba meraih ilmu. Dengan menguasai beragam ilmu pengetahuan itulah, dunia Islam tampil sebagai penguasa dunia selama beberapa abad.
Sayangnya, kini aktivitas keilmuan yang berpusat di masjid menjadi semakin kering. Masjid hanya dijadikan sebagai tempat ibadah atau shalat, maka tak heran masjid hanya dikunjungi pada waktu-waktu shalat saja, itupun hanya sedikit orang. Bahkan kadang-kadang hanya digunakan sebagi tempat pelepas lelah setelah bekerja. Sehingga aktivitas yang terlihat di masjid hanya shalat, orang nongkrong, orang tidur atau peringatan-peringatan keagamaan tertentu. Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa dari masjidlah lahir sederet ilmuwan, ulama dan cendekiawan Muslim hebat yang mampu memberi kontribusi penting bagi peradaban manusia. Maka dari itu jangan lupakan universitasmu.