Islam sebagai agama tauhid sangat mengerti keinginan dan kebutuhan dari pemeluknya. Mulai dari hal-hal yang dibutuhan sehari-hari, seperti sandang, pangan dan papan, sampai kebutuhan akan pasangan hidup. Setiap manusia pasti ingin hidup bahagia, tentram dan tenang jiwanya. Kebahagiaan itu bisa terwujud melalui jalan perkawinan. Itulah sebabnya Allah Ta’ala mensyariatkannya. Allah Ta’ala berfirman:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q.S Ar Ruum [30]:21)
Perkawinan merupakan sebuah media, yang dapat menyatukan dua kepribadian yang pasti memiliki perbedaan. Dengan perbedaan yang ada, maka kehidupan justru terasa lebih semarak dan bergairah. Ibarat sebuah taman, dengan aneka warna bunga yang ada, ditambah lagi kupu-kupu yang warna-warni beterbangan kian kemari, menjadikan taman semakin indah dan sedap dipandang mata. Tapi yang terjadi bisa sebaliknya, jika taman itu tidak terawat dengan baik.
Keluarga sakinah dapat dibangun jika masing-masing anggotanya memiliki kesadaran penuh untuk menjaga dan merawatnya. Berikut ini beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan dalam membangun keluarga sakinah:
1. Sadari Perkawinan Sebagai Ikatan yang Suci
Ingatlah bahwa perkawinan merupakan “mitsaqan ghalidhan”, yang berarti ikatan yang kuat nan suci. Ia merupakan salah satu syariah yang ditetapkan Allah Ta’ala, yang tentu memiliki nilai sakral dan suci. Perkawinan bukan sarana untuk bermain-main. Perkawinan bukan pula sekedar untuk bersenang-senang, sehingga jika kesenangan tidak didapat maka kita boleh mengahirinya kapanpun kita mau. Dalam perkawinan, ada ikrar untuk saling mengasihi, memperhatikan, dan berlaku dengan baik. Maka lazim bagi kita untuk mematuhinya, untuk menggapai kebahagiaan hidup bersama
2. Suami adalah Al Qawwan di Tengah Keluarganya
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Karena itu, wanita yang salih ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kalian khawatirkan nusyuz-nya, maka nasihatilah mereka, pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaati kalian maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS An- Nisa [4] : 34). Kata Al-Qawwaam merupakan bentuk mubalaghah (penyangatan) dari kata Al-Qa’im: yang berarti orang yang melakukan urusan. Jika dinyatakan bahwa laki-laki adalah qawwam atas wanita, berarti laki-laki mengerjakan urusan wanita, menjaga, memerintah dengan benar, mendidik, dan berhak melarangnya. Dengan kata lain, Al-Qawamah merupakan kepemimpinan (ar-ri’aasah) dan pengaturan urusan keluarga dan rumah. (Tafsir Al-Muniir, Az-Zuhaily) Dengan demikian, selama laki-laki menjadi qawwam atas wanita, maka laki-laki harus mengatur, mendidik, dan memperbaikinya. (Aisaru Tafasir, Aj-Jazaairi). Menurut Ibnu al-’Arabi, kepemimpinan inilah yang disebut Allah Ta’ala sebagai kelebihan yang di berikan kepada laki-laki atas perempuan dalam firman-Nya tersebut. (Ahkamul Qur’an, Ibnu Al-‘Araby) Sifat qawwam yang diberikan Allah Ta’ala kepada laki-laki, menjadikan kedudukannya satu tingkat di atas wanita. Namun demikian bukan berarti laki-laki boleh berbuat semena-mena kepada istrinya. Tetapi sebaliknya, suami berkewajiban mendidik, mengarahkan, membimbing, melindungi, menghargai dan menjaga kehormatan istrinya, serta berlaku baik kepadanya.
3. Istri adalah Pendukung Perjuangan Suami
Peran istri dalam kehidupan keluarga tidak kalah pentingnya dengan tugas yang harus diperankan suami. Keberadaannya di sisi suami sesungguhnya sebagai patnership dalam membangun khidupan keluarga sakinah. Masing-masing memiliki keunggulan untuk saling melengkapi. Perasaan yang tajam, kelemah-lembutan, kesabaran, keluwesan, keindahan, kecantikan, keramah-tamahan, juga kemanjaannya, turut menyempurnakan peran dan tanggung jawab suami dalam kehidupan ini.
Suami dan istri hendaknya tidak menganggap patnernya sebagai saingan berat sehingga merasa harus lebih unggul. Sebaliknya, bagaimana bisa saling mendukung dan melengkapi satu sama lainnya dalam berbagi peran. Jika suami sang pembuat keputusan, maka istri berperan mendukung suaminya dalam menjalankan keputusan itu. Istri perlu mempertunjukkan respek yang patut kepada suami dan mengasihi anak-anaknya. Istri dapat memperhatikan keperluan keluarganya dan malakukan hal-hal yang akan membuat nyaman keluarganya. Dari sinilah sakinah dapat dirasakan
4. Bersikap lebih Realistis
Dalam perkawinan, sangat mungkin timbul kesulitan-kesulitan yang seringkali menjadi alasan perceraian. Berbagai kesulitan tersebut misalnya, problem ekonomi, masalah kesehatan, kesulitan dalam mengasuh anak, sikap yang kasar dan acuh tak acuh, atau bahkan penghianatan. Semua itu didapat memicu timbulnya keinginan untuk segera mengahiri perkawinan itu.
Namun dengan bersikap realistis, pasangan suami istri akan berupaya mengatasinya, karena mereka telah menyadari bahwa kehidupan perkawinan tidak selalu mulus, tidak selalu berisi hal-hal yang indah, melainkan mereka juga harus dapat melewati kesulitan-kesulitannya. Meskipun sulit, tetapi dengan pengetahuan yang benar, cinta, dan komitmen, maka rumah tangga dapat diselamatkan
5. Saling Mengerti
Islam menempatkan wanita satu tingkat di bawah laki-laki bukan berarti mendudukkan istri sebagai budak ataupun pelayan bagi suami. Istri adalah pendamping hidup, bahkan orang menyebutnya dengan istilah “belahan jiwa”, itu berarti laki-laki tidak bisa hidup tanpa wanita, demikian pula sebaliknya.
Sikap saling bergantung ini memberikan indikasi adanya hak dan kewajiban pada masing-masing pihak, yang harus dijalankan keduanya secara seimbang. Apabila ada penyimpangan yang dilakukan salah seorang di antara keduanya, berarti telah terjadi kedzaliman dalam kehidupan rumah tangga tersebut. Dengan begitu berarti keseimbangan yang semestinya dijaga telah rapuh bahkan bisa hancur hingga berkeping-keping.
Sebuah rumah tangga bagaikan sebuah bangunan yang kokoh. Dinding, genteng, kusen, pintu, dan lain sebagainya, memiliki fungsi yang tak tergantikan. Begitu juga rumah tangga, baik suami, istri maupun anak-anak harus memahami fungsi masing-masing, dan menempatkan diri pada fungsinya. Jika tidak, maka keluarga itu bisa hancur atau berantakan. Wa’iyadzubillah. (Siswati Ummu Ahmad)