Daftar Isi
Upaya Orang Tua dalam Membentuk Kecerdasan Emosional Anak
Penulis: Dwi Suci Indah Nurpratiwi (Mahasantri Ma’had Aly li Ta’hil al-Mudarrisat)
Pendahuluan
Kecerdasan emosional atau yang sering disebut dengan EQ (emotional Intelligence) adalah sebuah istilah baru yang pertama kali digunakan oleh dua orang psikolog bernama Peter Salovey dan John Mayer dalam jurnal yang ditulis pada tahun 1990.
Kemudian istilah ini dipopulerkan oleh Daniel Goleman dalam karyanya pada tahun 1995 yang berjudul “Why it Can Matter More Than IQ”.[1]
Kecerdasan emosi dapat membentuk kepribadian seseorang untuk memiliki rasa cinta, kasih sayang, empati, kepekaan, kepedulian, kemampuan mengendalikan dan menggunakan emosi, serta kecakapan dalam bersosial.[2]
Para ahli menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah salah satu potensi terbesar yang dimiliki manusia apabila berhasil dikelola dengan baik dan dioptimalkan dengan sedemikian rupa.[3]
Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak menjelaskan bahwa anak mempunyai hak untuk tumbuh dan berkembang. Salah satu perkembangan yang perlu diperhatikan yaitu perkembangan emosi.
Kemampuan kecerdasan emosi tidak bisa dibentuk dengan sendirinya melainkan membutuhkan proses untuk mempelajarinya, dalam proses tersebut lingkungan sosial memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan emosi anak.[4]
Kasus kekerasan yang dilakukan anak muda terus saja terjadi, dilansir dari laman Kompas.tv seorang anak tega membunuh temannya sendiri hanya karena tidak bisa menahan emosi marahnya.[5]
Di tempat lain seorang siswa di SMA Negeri 1 sakti di Kabupaten Pidie, Aceh, menganiaya siswa yang lainnya.[6] Di Sumatra seorang anak SD membuli temannya dengan menginjak kepalanya.[7]
Pembulian, perudungan, pemukulan hingga pembunuhan yang sering terjadi di kalangan anak muda disebabkan karena beberapa faktor, salah satunya adalah faktor lingkungan sosialnya.
Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama bagi seorang anak yang dapat mempengaruhi pertumbuhan serta memberi dampak yang terus berlanjut hingga dewasa, tetapi sayangnya saat ini kebanyakan orang tua lalai dalam memberi perhatian terhadap kecerdasan emosional anak.
Hal ini dapat memicu kondisi kesehatan mental anak yang disebut childhood emotional neglect (CEN). CEN merupakan gangguan emosional yang sulit dikenali oleh orang tua maupun keluarga dekat.
CEN lebih mudah dikenali saat anak sudah beranjak dewasa yang ditandai dengan kesulitan memahami emosi, mengekspresikan perasaan, kesulitan untuk berkomunikasi dan menjalin hubungan sosial dengan orang lain.
Perilaku tersebut justru lebih dikenali oleh lingkungan sosial di luar keluarganya, karena adanya perbedaan dari cara berperilaku dan berkomunikasi.[8]
Peranan emosi sangat penting dalam perkembangan anak baik usia prasekolah maupun tahap perkembangan selanjutnya. Hal ini disebabkan karena kecerdasan emosional berpengaruh terhadap perilaku anak.[9]
Pribadi yang kompoten secara sosial cenderung memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Goleman menyatakan bahwa kunci keberhasilan seorang anak dalam menjalin hubungan sosialnya adalah kematangan emosi.
Kunci kecakapan sosial adalah seberapa baik dan buruknya seseorang dalam mengungkapkan perasaannya.[10]
Berdasarkan pemaparan kasus di atas serta pentingnya bagi kedua orang tua untuk memperhatikan perkembangan kecerdasan emosional anak.
Perkembangan Emosional Anak
Penting bagi orang tua untuk memahami perkembangan emosi anak dalam membentuk kecerdasan emosional anak.
Sebagai contoh anak usia 1-2 tahun lebih suka bermain sendiri, itu adalah hal yang wajar dan orang tua tidak perlu memaksa anak untuk bermain bersama teman sebayanya.
Pada usia tersebut anak masih mengeksplorasi dunianya sendiri dan belum memahami kegembiraan bermain bersama teman sebaya.
Berbeda ketika anak memasuki usia empat tahun, orangtua harus mencari tahu alasan mengapa anak memilih untuk bermain sendiri dibanding teman-teman sebayanya.
Bisa jadi anak memiliki pengalaman yang buruk atau kurang nyaman dengan lingkungannya, sehingga lebih memilih bermain sendiri untuk menghindari emosi marah, kecewa, atau sedih.[11]
Berikut pemaparan perkembangan emosi anak berdasarkan usianya yang dapat dijadikan rambu-rambu[12]:
- Usia 0-3 bulan: Mulai tersenyum, ekpresi wajah dan tubuh lebih berkembang serta mulai mengenali aktivitas bermain dan sedih ketika permainan berakhir.
- Usia 4-6 bulan: Menunjukkan minat interaksi dengan lingkungan sekitarnya dengan memberi reaksi dan menirukan beberapa gerakan dan ekspresi wajah.
- Usia 7-9 bulan: Mulai menunjukkan kecemasan saat bertemu orang asing dan rewel ketika ditinggal orang tua.
- Usia 10-12 bulan: Mulai menunjukkan kemandirian, seperti merangkak untuk mengeksplorasi serta mencoba mendapatkan perhatian melalui bunyi dan gerakan yang diulang.
- Usia 1-2 tahun: Mulai bermain dengan teman sebayanya akan tetapi belum berkenan untuk berbagi permainan.
- Usia 2-3 tahun: Mulai memperhatikan kebutuhan dirinya dan cenderung egois dan mulai bisa diajak kerja sama seperti membereskan permainan setelah bermain.
- Usia 3-4 tahun: Mulai berbagi mainan saat bermain, bisa mengatasi konflik dalam kelompok kecil seperti berbagi mainan.
- Usia 4-5 tahun: Lebih mudah menaati peraturan meski terkadang menunjukkan perilaku yang berubah-ubah, kadang menurut kadang tidak.
Upaya Membentuk Kecerdasan Emosional Anak
Berikut akan dipaparkan beberapa upaya yang bisa dilakukan orang tua dalam membentuk kecerdasan emosional anak, di antaranya:
Membantu Anak Mengenali Emosi
Perkembangan emosi pada anak berkembang berdasarkan tahap usia anak. Tidak ada manusia yang terlahir langsung dengan kemampuan menjelaskan emosinya kepada orang lain.
Orang tua perlu mengajarkan anak cara untuk mengungkapkan emosinya agar memudahkan anak dalam berkomunikasi dengan orang di sekitarnya.[13]
Namun, sebelum mengungkapkan emosinya anak harus mengerti terlebih dahulu perasaan apa yang sedang dirasakan. Sebagai orang tua sebaiknya membekali anak dengan banyak kosa kata emosi, mengajarkan anak istilah emosi dan memberi nama pada emosi yang dirasakannya.
Untuk anak usia pra sekolah orang tua dapat mengenalkan emosi-emosi dasar terlebih dahulu kepada anak seperti bahagia, marah, sedih dan takut.
Sedangkan anak yang lebih besar, bisa dikenalkan istilah-istilah emosi yang lebih kompleks seperti kecewa, gugup dan frustasi. Buku cerita atau video yang mengajarkan tentang emosi, bisa menjadi salah satu sarana untuk mengenalkan kosa kata emosi pada anak.[14]
Selain membaca cerita dan menonton video, mengenalkan emosi pada anak juga bisa dilakukan dengan permainan, seperti bermain tebak emosi. Orang tua bisa memberi contoh gerakan sesuai dengan emosi, kemudian minta anak untuk menebak emosi tersebut.[15]
Mengajarkan anak bahwa semua emosi itu baik, hindari melabeli sebagai emosi positif dan negatif.[16] Perasaan tidak nyaman juga merupakan emosi yang bisa diterima.[17]
Membiasakan Anak Mengungkap dan Mengelola Emosinya Secara Terbuka
Pada umumnya kata emosi lebih dikenal sebagai perasaan marah dan sedih. Sedangkan menurut ilmu psikolog, emosi didefinisikan sebagai suatu perasaan. Kata emosi yang mencakup semua perasaan manusia baik marah, sedih, kecewa, atau bahagia.[18]
Anak yang belum pandai dalam mengungkapkan emosi biasa akan menangis sebagai bentuk pengungkapan terhadap rasa marah.[19]
Membiasakan anak untuk terbuka terhadap emosi yang dirasakannya dimulai dengan orang tua yang selalu jujur dan terbuka dalam mengungkapkan emosinya didepan anak sehingga, anak juga akan merasa nyaman ketika mengungkapkan emosi apa yang dirasakan.[20]
Salah satu contohnya adalah mengekpresikan dan mengelola emosi marah. Marah adalah emosi normal dan sehat yang dialami setiap manusia sebagai bentuk pertahanan diri.[21]
Emosi marah juga perasaan normal yang bisa diterima dan diungkapkan sebagaimana emosi yang lain, akan tetapi ketika dalam emosi marah terkadang anak lebih agresif secara fisik maupun verbal.
Orang tua harus mengajarkan batasan bagi anak dalam mengekspresikan emosinya secara aman agar tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.[22]
Membangun Kepedulian Sosial, Simpati, dan Empati Anak
Kepedulian sosial, simpati dan empati sangatlah penting dalam kehidupan manusia untuk saling menghargai satu sama lain. Orang tua perlu menanamkan sifat-sifat tersebut sejak dini kepada anak agar tumbuh menjadi pribadi yang bisa menghargai sesama.[23]
Rasa simpati dan empati membantu anak untuk peduli terhadap orang lain serta membangun hubungan yang baik dengan lingkungannya.[24]
Orang tua sebagai contoh yang paling dekat dengan anak bisa mengajak anak untuk menjenguk tetangga yang sedang sakit upaya menumbuhkan rasa prihatin sehingga anak memiliki kepekaan terhadap orang yang sakit.
Contoh lain seperti mengajak anak untuk berpartisipasi dalam kegiatan peduli lingkungan. Kegiatan tersebut dapat membantu melatih rasa kepedulian terhadap lingkungan sekitarnya.
Membiasakan anak untuk menggunakan kata maaf, tolong, dan terimakasih dalam kesehariannya dapat membuat anak menjadi lebih memahami orang lain.
Mengajak anak untuk bermain bersama dengan anak-anak yang lain, melatih anak untuk saling berbagi mainan meskipun pada tahapan awal anak akan cenderung bertengkar dan enggan untuk diajak bermain.[25]
Mengajarkan Sikap Tanggung Jawab
Mengajarkan sikap tanggung jawab adalah hal yang sangat penting untuk diajarkan sedini mungkin karena, seorang anak akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan apa yang menjadi kebiasaanya.
Segala sesuatu yang menjadi kebiasaan anak saat ini adalah hasil dari kebiasaan yang dilakukannya selama ini.[26]
Orang tua hendaknya mengajarkan sikap tanggung jawab mulai dari hal-hal sederhana sesuai dengan usia anak.
Merapikan permainan setelah bermain, meletakkan pakaian kotor ke dalam ember cucian dan membuang sampah pada tempatnya bisa menjadi hal kecil yang dapat membangun rasa tanggung jawabnnya.
Orang tua menjadi contoh utama bagi anak dalam menanamkan sifat tanggung jawab sebab, orang tua tidak bisa mengajari anak untuk memiliki rasa tanggung jawab jika belum mampu menjadi panutan baginya.[27]
Membangun Keterampilan Mengelola Konflik dan Menyelesaikan Masalah
Tidak hanya dalam kehidupan manusia dewasa, konflik juga terjadi dalam kehidupan anak usia dini. Hal ini terjadi karena anak sedang dalam masa praoperasional dan operasional konkret yang memiliki karakteristik khas dalam pola pikirnya yaitu, karakter egosentris.
Pola pikir yang menyebabkan anak bersikap egois karena ingin mendapatkan apa yang dia inginkan. Kejadian inilah yang menjadi penyebab awal konflik terjadi seperti berebut mainan, posisi tempat, perbedaan pilihan atau pendapat.[28]
Orag tua terkadang merasa terganggu dengan hal ini. Namun, jika mau melihatnya dari sisi yang berbeda konflik justru mendidik orang tua dan anak menjadi sosok yang lebih manusiawi.[29]
Ketika konflik terjadi anak akan mengutarakan alasan versinya masing-masing untuk saling membela diri. Emosi marah yang mereka ekspresikan biasanya hanya sebuah ungkapan dari rasa frustasi yang mereka rasakan.
Biarkan terlebih dahulu anak mengungkapkan apa yang dirasakan, ketika emosi marahnya mulai mereda orang tua dapat mengklarifikasi masalah yang terjadi.
Dari hasil kesimpulan klarifikasi masalah, arahkan anak untuk menemukan solusi yang tepat agar tidak merugikan dirinya dan orang lain. Berikan anak kesempatan untuk mengemukakan solusinya sendiri, jika tidak bisa maka orang tua bisa membantu dengan memberi solusi. [30]
Membangun Rasa Percaya Diri
Masalah yang dihadapi oleh anak biasanya adalah kurangnya rasa percaya diri. Tidak percaya diri adalah ungkapan ketidak mampuan anak untuk mengerjakan atau melakukan sesuatu.
Anak yang tidak percaya diri akan selalu berpikir negatif terhadap dirinya sehingga dia merasa tidak nyaman dan cenderung untuk menghindari apa yang hendak dilakukannya.[31]
Terkadang anak merasa dirinya tidak berharga dan membutuhkan penghargaan orang lain terhadap dirinya. Perasaan percaya diri dan penghargaan yang diberikan kepadanya akan mempengaruhi motivasi, kecenderungan, dan perilaku.[32]
Menurut para piskolog, rasa percaya diri adalah kunci terbentuknya pribadi yang baik.[33] Hal mendasar yang harus orang tua tanamkan pada anak untuk menumbuhkan rasa percaya diri adalah pemahaman positif terhadap diri sendiri.[34]
Apa yang diucapkan orang tua serta metode berbicara orang tua terhadap anak akan sangat berpengaruh terhadap pemahaman positif anak terhadap dirinya. Oleh karenanya pentingnya bagi orang tua untuk memotivasi anak dengan mengucapkan hal-hal yang positif.[35]
Kesimpulan
Kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali emosi serta mengelolanya terhadap diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain.
Anak yang mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi akan lebih mudah menyesuaikan diri terhadap lingkungannya, pandai menempatkan diri, dan bijak dalam bersikap.
Oleh sebab itu, orang tua sebagai lingkungan pertama bagi anak mempunyai tugas yang penting untuk membentuk kecerdasan emosional anak.
Di antara upaya yang bisa dilakukan oleh kedua orang tua dalam membentuk kecerdasan emosional anak adalah, membantu anak mengenali emosi, membiasakan anak untuk mengungkapkan emosinya secara terbuka dan melatihnya dalam mengelola emosi, membangun kepedulian sosial, simpati dan empati anak, mengajarkan sikap tanggung jawab, membangun keterampilan anak dalam mengelola konflik serta menyelesaikan masalah dan membangun rasa percaya diri. Wallahu a’lam bi shawwab.
Referensi
[1] Antoni Dio Martin, “Ayo Kenali Tiga Model Kecerdasan Emosional (EQ) yang Jarang dipahami ini” dalam www id.linkedin.com, diakses pada Rabu 23 Agustus 2023, 21.47 WIB.
[2] Tri Vendy Leo, Briliiant @ Work Leader Menjadi Pemimpin Brilliant dalam Pekerjaan dan Kehidupan Anda, (Yogyakarta: Pohon Cahaya, 2010), hal. 122.
[3] Tri Vendy Leo, Briliiant @ Work Leader Menjadi Pemimpin Brilliant dalam Pekerjaan dan Kehidupan Anda, (Yogyakarta: Pohon Cahaya, 2010), hal. 111.
[4] Winda Tri Karisma, Dwi Prasetiawati DH, dan Mila Karmila, “Peran Orangtua Dalam Menstimulasi Pengeloaan Emosi Anak Usia Dini”, Jurnal PAUDIA, Vol. 9, No. 1, Juli 2020, hal. 95.
[5] Fransisca Natalia, “7 Kasus Kekerasan Anak Muda yang Sempat Viral di Media Sosial, Termasuk Pembunuhan Ade Sara”, dalam www.kompas.tv.com, diakses pada Ahad 6 Agustus 2023, 14.12WIB.
[6] Tim Detik Sumut, “Heboh Siswa Aniaya Siswa di Aceh Begini Kronologinya”, dalam www detik.com, diakses pada Selasa 22 Agustus 2023, 21.23 WIB.
[7] Rheina Sukmawati, “Viral Lagi Kasus Bullying dilakukan Anak SD di Sumatra Selatan, Korban diguyur Hingga Kepala Diinjak”, dalam www jabar.tribunnews.com, diakses pada selasa 22 Agustus 2023, 21.15 WIB.
[8] Dinas Pemberdayaan Perempuan Pemerintah Bantul, “Ini Akibatnya Jika Orang Tua Tidak Mementingkan Kecerdasan Emosional Anak”, dalam www dp3appkb.bantulkab.go.id, diakses pada Senin 04 September 2023, 11.26 WIB.
[9] Rahmawati Anzani dan Intan Khoirul Insan, “Perkembangan Sosial Emosi Pada Anak Usia Prasekolah”, Jurnal pandawa, Volume 2, Nomor 2, Mei 2020, hal. 185.
[10] Rahmawati Anzani dan Intan Khoirul Insan, “Perkembangan Sosial Emosi Pada Anak Usia Prasekolah”, Jurnal pandawa, Volume 2, Nomor 2, Mei 2020, hal. 190.
[11] Fransiska Kumala Sari dan Rininta Meyftanoria, Ada Apa dibalik Emosi Balita, (Yogyakarta: Rumah Baca, 2022), hal. 9.
[12] Fransiska Kumala Sari dan Rininta Meyftanoria, Ada Apa dibalik Emosi Balita, (Yogyakarta: Rumah Baca, 2022), hal. 9-12.
[13] Rimalia, Riawani Elyata dan Risa Mutia, How to Deal With Sibling Rivalry?, ( Yogyakarta: Laksana, 2022), hal. 173-175.
[14] Irene Phiter, Brain Sculptor, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2022), hal. 105-106.
[15] Fransiska Kumala Sari dan Rininta Meyftanoria, Ada Apa dibalik Emosi Balita, (Yogyakarta: Rumah Baca, 2022), hal.38-39.
[16] Irene Phiter, Brain Sculptor, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2022), hal.100.
[17] Irene Phiter, Brain Sculptor, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2022), hal.106.
[18] Al. Trionanto Baranda Agency, Melejitkan Kecerdasan Emosi (EQ) Buah Hati, (Elex Media Komputindo, 2013), hal. 2.
[19] Aisah Dahlan, Maukah Jadi Orang Tua Bahagia, (Jakarta: Pustaka elmadina, 2022), hal. 30.
[20] Irene Phiter, Brain Sculptor, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2022), hal.106.
[21] Astrid Savitri, Disiplin Positif Mendidik Anak, (Penerbit Briliant, 2021), hal. 211.
[22] Irene Phiter, Brain Sculptor, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2022), hal.97.
[23] Yunanto Muhadi, Sudah Benarkah Cara Kita Mendidik Anak?, (Yogyakarta: DIVA Press, 2016), hal.49.
[24] Clarasati Prameswari, Mendidik anak dengan hati,(Yogyakarta: Saufa, 2016), hal. 59.
[25] Yunanto Muhadi, Sudah Benarkah Cara Kita Mendidik Anak?, (Yogyakarta: DIVA Press, 2016), hal.50-53.
[26] Yunanto Muhadi, Sudah Benarkah Cara Kita Mendidik Anak?, (Yogyakarta: DIVA Press, 2016), hal.41.
[27] Yunanto Muhadi, Sudah Benarkah Cara Kita Mendidik Anak?, (Yogyakarta: DIVA Press, 2016), hal. 42.
[28] Rosyi Damayanti, Eny Nur Aisyah dan Tumardi, “Strategi Guru dalam Mengembangkan Resolusi Konflik Pada Anak Usia Dini dalam Rangka Menyongsong Masyarakat 5.0”, Jurnal Pendidikan Anak AWLADY, vol.7, no. 1, Maret 2021, hal. 2.
[29] Rimalia, Riawani Elyata dan Risa Mutia, How to Deal With Sibling Rivalry?, ( Yogyakarta: Laksana, 2022), hal. 179.
[30] Rimalia, Riawani Elyata dan Risa Mutia, How to Deal With Sibling Rivalry?, ( Yogyakarta: Laksana, 2022), hal. 181-182.
[31] Hendra Surya, Percaya Diri Itu Penting, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo,2007), hal. 3.
[32] Musthafa Abu Saad, 30 Strategi Mendidik Anak, terj. Fatkhurozi dan Nashirul Haq, (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2007), hal. 229.
[33] Musthafa Abu Saad, 30 Strategi Mendidik Anak, terj. Fatkhurozi dan Nashirul Haq, (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2007), hal. 254.
[34] Musthafa Abu Saad, 30 Strategi Mendidik Anak, terj. Fatkhurozi dan Nashirul Haq, (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2007), hal. 255.
[35] Musthafa Abu Saad, 30 Strategi Mendidik Anak, terj. Fatkhurozi dan Nashirul Haq, (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2007), hal. 267-268.