Daftar Isi
Ilmu Tanpa Adab
Salah satu problem terbesar dewasa ini adalah dekadensi moral dan akhlak yang cukup mengkhawatirkan di tengah masyarakat. Fenomena tersebut bisa kita lihat dari berbagai penyakit masyarakat yang kian hari kian meningkat kuantitas dan intensitasnya seperti pembunuhan, seks bebas, korupsi, dan lain sebagainya. Hal ini tak hanya terjadi dalam satu lapisan masyarakat, namun hal ini sudah merata di hampir semua lapisan masyarakat.
Lebih memprihatinkan lagi, fenomena di atas justru paling banyak terjadi pada kalangan berpendidikan. Walau menyandang gelar terpelajar banyak para siswa dan mahasiswa yang belum mampu menampilkan diri sebagai orang yang berakhlak mulia. Mereka yang secara usia berstatus remaja atau dewasa awal, mayoritasnya justru lekat dengan kebobrokan moral.
Fenomena pergaulan bebas, tawuran, narkoba, dan berbagai kerusakan moral lainya adalah sekian banyak bukti yang bisa kita saksikan dengan kasat mata dalam keseharian kita. Apalagi bila ditilik dengan kacamata Islam, akumulasi kebobrokannya akan semakin besar. Banyak di antara mereka yang buta terhadap aturan-aturan syariat. Akibatnya banyak perintah-perintah syari’at yang mereka abaikan. Sebaliknya larangan-larangan syariat justru mereka terjang.
Pendidikan karakter atau revolusi mental yang telah dicanangkan dan digadang-gadang mampu menyelesaikan persoalan di atas, ternyata justru memperburuk keadaan. Hal ini diakibatkan ketidak jelasan standar karakter yang digunakan. Banyak para pakar dan psikolog muslim yang menengarai bahwa pendidikan karakter yang pertama kali di gagas oleh Lawrence Kohlberg itu hanya sekedar alat untuk menjauhkan nilai dan aturan Islam dari dunia pendidikan.
Hasil Didikan ‘Google’
Apakah kerusakan akhlak hanya menimpa output lembaga-lembaga pendidikan berbasis sekuler? Ternyata tidak. Pendidikan-pendidikan non-formal berbasis keagamaan pun pada kenyataannya juga menghasilkan tidak sedikit orang-orang yang “berilmu”, namun kering dari akhlak-akhlak terpuji.
Sekedar contoh, banyak kalangan pemuda dan pemudi yang mulai tekun belajar agama secara otodidak. Di zaman internet ini, google telah menjadi syaikh bagi banyak pemuda dan pemudi seperti mereka. Mereka membuka-buka situs-situs keislaman, menyimak dan mengikuti beragam artikel dan opini yang berkaitan erat dengan masalah-masalah keislaman.
Mereka belajar Islam dari media online, dengan niat baik mendalami ajaran Islam. Namun mayoritas mereka belum memiliki dasar-dasar pijakan yang kuat dari aqidah ahlus sunah wal jama’ah dan ilmu-ilmu alat seperti bahasa Arab (Nahwu, Sharaf, dan Balaghah), ilmu ushul fiqih, ilmu hadits, dan ilmu tafsir. Akibatnya mereka tidak mampu memilah-milih dan menyaring; mana artikel-artikel yang “lurus” dan mana artikel-artikel yang “sesat”.
Di sisi lain, belajar Islam secara online tanpa bimbingan seorang guru yang baik seperti itu juga berdampak pada munculnya orang-orang yang muta’aalim (sok berilmu). Mereka adalah para pelajar awam dan pelajar pemula dalam bidang ilmu-ilmu syariat, namun sudah lancang menonjolkan dirinya bak seorang ulama yang mendalam ilmu syar’inya. Seringkali dengan gegabah dan ngawur, mereka mengeluarkan vonis-vonis ‘bid’ah, syirik, musyrik, kafir, murtad, sesat, halal, haram’ dan seterusnya terhadap perkara-perkara tertentu dan individu-individu tertentu.
Sikap dan ucapan yang kasar, tanpa kasih sayang kepada sesama umat, nampak jelas dalam perilaku keseharian para muta’aalim seperti itu. Sedikit ilmu yang mereka miliki tidak diimbangi dengan keluhuran akhlak keseharian mereka.
Padahal seandainya perkara-perkara tersebut diajukan kepada para ulama besar, niscaya mereka akan sangat berhati-hati dalam mengkaji dan memberikan jawaban. Boleh jadi mereka akan menahan diri dari memberikan fatwa atau jawaban, mengingat rumit dan beratnya persoalan-persoalan yang diajukan kepada mereka tersebut.
Baik kebobrokan akhlak output lembaga-lembaga pendidikan sekuler maupun out put pembelajaran otodidak tanpa bimbingan ulama rabbani, keduanya merupakan contoh bentuk dampak buruk dari transfer ilmu yang tidak didahului oleh pembangunan pondasi akhlak yang mulia.
Generasi Salaf, Mendahulukan Pendidikan Adab
Jika kita menengok kehidupan generasi salaf, kita akan menemukan fakta bahwa mereka lebih dahulu membangun pondasi akhlak-akhlak mulia sebelum melakukan proses transfer ilmu. Akhlak-akhlak mulia diperoleh oleh anak didik melalui pergaulan erat dengan para ulama rabbani. Para ulama rabbani-lah yang memberikan suri tauladan langsung lewat perilaku keseharian mereka. Lantas anak-anak didik melihat, merekam, dan menirunya sampai menjadi akhlak keseharian mereka pula.
Saat seorang anak didik mendatangi seorang ulama rabbani untuk belajar ilmu agama, maka hal pertama yang ia saksikan dan ia pelajari adalah akhlak ulama tersebut. Dari amal keseharian ulama itulah si anak didik belajar tentang akhlak ikhlas, sabar, tawadhu’, menjaga lisan, menjaga shalat lima waktu secara berjama’ah, dan seterusnya. Melihat, mengamati, merekam, dan mencontoh akhlak para ulama secara langsung jauh lebih membekas dalam jiwa anak didik, daripada taushiyah tentang akhlak mulia yang tidak ada contoh prakteknya dalam akhlak keseharian seorang guru.
Untaian Hikmah Salaf Tentang Adab
Al-Imam Al-Qadhi Badruddin Ibnu Jama’ah Al-Kinani Asy-Syafi’I t (wafat tahun 733 H) dalam bukunya Tadzkiratu As-Saami’ wal Mutakallim fi Adab Al-‘Aalim wal Muta’allim menyebutkan sejumlah kutipan dari para ulama salaf tentang pentingnya penanaman akhlak sebelum proses transfer ilmu. Berikut ini sebagiannya.
Imam Ibnu Sirin berkata
كَانُوا يَتَعَلَّمُونَ الْهَدْيَ كَمَا يَتَعَلَّمُونَ الْعِلْمَ
“Adalah mereka (generasi sahabat dan tabi’in) mempelajari perilaku keseharian sebagaimana mereka mempelajari ilmu.”
Imam Hasan Al-Bashri berkata
إِنْ كَانَ الرَّجُلُ لَيَخْرُجُ فِي أَدَبٍ يَكْسِبُهُ السِّنِينَ ثُمَّ السِّنِينَ
“Dahulu (generasi sahabat dan tabi’in) untuk menguasai satu adab saja, seseorang terkadang keluar (belajar) selama bertahun-tahun.”
Imam Habib bin Syahid Al-Bashri (wafat tahun 145 H) berpesan kepada anaknya
يَا بُنَيَّ, اِصْحَبِ اْلفُقَهَاءَ وَ الْعُلَمَاءَ وَ تَعَلَّمْ مِنْهُمْ وَ خُذْ مِنْ أَدَبِهِمْ, فَإِنَّ ذَلِكَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كَثِيرٍ مِنَ الْحَدِيثِ
“Wahai anakku, bergaul-lah dengan para fuqaha’ dan ulama, belajarlah dari mereka, dan ambilah adab dari mereka, karena hal itu lebih aku sukai daripada engkau belajar banyak hadits.”
Imam Makhlad bin Husain Al-Uzdi (wafat tahun 191 H) berkata kepada Imam Abdullah bin Mubarak
نَحْنُ إِلَى كَثِيرٍ مِنَ اْلأَدَبِ أَحْوَجُ مِنَّا إِلَى كَثِيرٍ مِنَ الْحَدِيثِ
“Kita ini lebih membutuhkan banyak adab, daripada kebutuhan kita terhadap banyak hadits.”
Seorang ulama salaf lainnya berpesan kepada anaknya
يَا بُنَيَّ, لَأَنْ تَتَعَلَّمَ بَابًا مِنَ اْلأَدَبِ أَحَبُّ إِلَىَّ مِنْ أَنْ تَتَعَلَّمَ سَبْعِينَ بَابًا مِنَ الْعِلْمِ
“Wahai anakku, engkau belajar satu bab adab itu lebih aku sukai daripada engkau belajar 70 bab ilmu.”
Imam Malik rahimahullah bercerita masa kecil beliau, “Aku berkata kepada ibuku, “Aku akan pergi untuk belajar.” Ibuku berkata, “Kemarilah. Pakailah pakaian ilmu!” Lalu ibuku memakaikan aku mismarah (suatu jenis pakaian) dan meletakkan peci di kepalaku, kemudian memakaikan sorban di atas peci itu.
Setelah itu ia berpesan, “Sekarang, pergilah untuk belajar!” Ia juga pernah mengatakan, “Pergilah kepada Rabi’ah (guru Imam Malik, pen). Pelajarilah adabnya sebelum engkau pelajari ilmunya.”(‘Audatul Hijaab 2/207, Muhammad Ahmad Al-Muqaddam,)
Mengapa Adab Sangat Ditekankan?
Ada banyak faedah, di antaranya adalah menumbuhkan sikap tawadhu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan adab maka kita menghamba, bahwa semua ilmu yang ada hanyalah milik Allah. Faedah lainnya adalah mencontoh Nabi dan Rasul dalam menuntut ilmu sebab ilmu merupakan tradisi para Nabi dan Rasul. Perhatikan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Musa ‘Alaihis Salam
فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ إِنَّكَ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى
“Lepaskan kedua alas kakimu, sesungguhnya engkau sedang berada di lembah suci Tuwa” (QS. Thaha: 12)
Sebelum menerima wahyu, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan Nabi Musa ‘alaihissalam akan sebuah adab, yaitu melepas alas kaki di lembah suci Thuwa. Inilah adab sebelum menerima ilmu.
Tradisi generasi salaf ini juga mencontoh akhlak keseharian Rasulullah. Dalam surat Al-Qalam yang termasuk surat-surat yang pertama kali turun di Makkah, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menegaskan keteladanan akhlak beliau. Hal itu mengisyaratkan bahwa pembinaan akhlak mulia harus berjalan seiring dan sejalan dengan pembangunan pondasi akidah yang lurus. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berada di atas akhlak yang mulia.” (QS. Al-Qalam : 4)
Dengan adab yang baik maka ilmu akan lebih mudah dipahami. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin berkata, “Dengan memperhatikan adab (akhlak), maka akan mudah meraih ilmu. Dan sedikit perhatian pada adab, maka ilmu akan disia-siakan.” Wallahu a’lam
Oleh : Akhukum Fillah