Mencari Jalan Kebenaran (Bag. 1)
Alumni DID Darusy Syahadah
Hidup kami sederhana. Bapak seorang PNS dan ibu seorang ibu rumah tangga. Saya memiliki seorang kakak laki-laki dan seorang adik laki-laki.
Kehidupan berjalan normal hingga suatu musibah besar menimpa kami. Bapak yang kami kagumi dan seorang penopang kehidupan keluarga meninggal ketika saya SMP.
Hari demi hari saya lalui dengan kehampaan. Pertanyaan, “Kenapa harus saya yang melalui kehidupan menyedihkan seperti ini?” selalu muncul dalam benak.
Semua harta peninggalan Bapak pun sedikit demi sedikit mulai terjual untuk memenuhi kebutuhan sekolah dan keluarga. Hingga akhirnya saya harus sekolah di tempat Tante yang jauh dari kampung halaman.
Singkat cerita, saya disekolahkan di sekolah Kristen setingkat SMA. Awalnya semua berjalan dengan lancar.
Mengingat Bapak adalah seorang Kristen yang taat dengan banyak koneksi di sekolah tersebut, saya pun jadi mudah untuk masuk dan belajar di sana.
Tetapi ada kegundahan dalam hati yang tak pernah bisa terjawab setiap saya mengikuti ibadah hari Sabtu di sekolah itu.
“Mengapa harus menyembah Yesus sedangkan Yesus sendiri berdoa kepada Tuhannya? Mengapa Tuhan harus mengubah setiap perkataan-Nya, dari Perjanjian Lama ke Perjanjian Baru? Mengapa Yesus bisa mati jika dia adalah Tuhan?”
Serta pertanyaan lain yang terus menggelayut di hati dan pikiran.
Jika saya bertanya, maka pendeta-pendeta yang ada di sana akan menjawab, “Ikutilah Yesus maka kamu akan sampai kepada Bapa.”
Saya pun makin bertanya-tanya, “Mengapa nggak sekalian saya mengikuti Bapaknya? Kenapa pula saya harus ikut anaknya jika memang bapaknya lebih baik?” (Waktu itu saya bergumam dalam hati, bingung, dan terasa mengganjal.)
Saya sering dipanggil oleh guru-guru di tempat itu. Mereka tidak marah dengan pertanyaan-pertanyaan saya yang menurut mereka aneh. Justru mereka sering memberikan hadiah, bahkan menasihati dan berdoa untuk saya.
Tapi anehnya, justru perasaan kurang nyaman yang muncul sebab setiap kali saya melontarkan pertanyaan dan mereka tersudut, mereka akan menyebut nama Bapak saya.
Mereka akan mengatakan, “Bapakmu itu orang yang aktif di gereja, banyak yang hormat sama bapakmu, beliau orang yang baik, jangan kecewakan bapakmu.” Saya pun terdiam dan menjadi sedih. Hidup tanpa Bapak memang sangat terasa berat.
Awal Mula Mengenal Islam
Karena alasan keluarga, akhirnya saya tinggal dengan kakak sepupu perempuan di sebuah kos. Saat itu kos kami bersebelahan gang dengan rumah Tante. Kakak sepupu dari keluarga Mama adalah seorang Muslimah.
Saat bulan puasa, iseng-iseng saya ikut puasa. Namun akhirnya, saya justru suka berpuasa hingga pemilik kos mengira saya seorang Muslimah.
Hidup di lingkungan yang Islami membuat hati saya tenang. Tepat kelas 2 SMA, di bulan puasa kedua yang saya tunggu-tunggu, niat untuk masuk Islam muncul dalam diri. Meskipun waktu itu saya masih takut untuk mengungkapkan keinginan.
Sebab, di sekolah Kristen itu saya banyak dimudahkan urusan administrasi. Jika saya masuk Islam otomatis saya akan dikeluarkan dari sekolah dan saya pasti putus sekolah.
Jika harus sekolah di tempat lain, saya pun tidak punya biaya untuk pindah dan mendaftar di sekolah baru. Saat itu di depan kos saya duduk dan berpikir panjang. Perasaan yang sangat sedih muncul seketika.
Pada saat itu Kakak sepupu datang dan bertanya kenapa saya seperti banyak pikiran, ada apa?
Saya pun segera menyampaikan keinginan bahwa saya ingin masuk Islam. Dia sangat terkejut, karena dia tahu saya di sekolah begitu aktif dengan kegiatan-kegiatan keagamaan, ditambah lagi keluarga dari bapak saya banyak yang tinggal di kota itu.
Semua fanatik dengan agama mereka. Dia bilang kepada saya untuk tidak main-main dengan agama. Jika memang ingin masuk Islam, maka saya harus siap dengan semua konsekuensinya. Harus serius dengan agama yang saya pilih. Jangan main-main, begitu katanya.
Saya pun berpikir panjang malam itu lantas berdoa dalam hati saya, “Ya Tuhan, di manakah Engkau? Apa yang harus saya lakukan? Jika memang pilihan saya benar, tunjukkan ya Tuhan.”
Malam itu, dalam lelap saya bermimpi. Seketika berada di dalam sebuah pemakaman dengan beberapa orang yang sedang berusaha mengubur badan saya. Mimpi itu benar-benar terasa sangat nyata.
Saya berteriak-teriak minta tolong, tetapi sepertinya orang-orang itu tidak mendengar sama sekali.
Saya pun menangis dan teringat Tuhan lalu berucap, “Ya Allah, tolong saya.” Setelah itu, terdengar lantunan suara azan yang amat sangat kuat di telinga ini.
Saya pun terangkat dari dalam lubang itu kemudian terbangun dari mimpi dengan rasa sesak di dada. Saya menangis dan begitu sedih, seakan-akan mimpi itu menjadi nyata.
Benar-benar terasa kalau badan ini sedang ditimbun dengan tanah dan sesak. Sesak sekali sehingga saya tersadar bahwa tidak ada pertolongan lagi selain pertolongan dari Allah.
Suara azan yang terdengar lantang di telinga seakan-akan menjawab doa saya. Apakah mungkin itu panggilan dari Allah?
Keesokan paginya saya pun segera bercerita pada Kakak sepupu juga pemilik kos, Kak Ifan dan suaminya. “Saya ingin masuk Islam.” Ucapan itu saya sampaikan dengan penuh keyakinan.
Mereka pun mengantar saya ke kampung Kak Ifan yang jaraknya sekitar beberapa jam perjalanan dari Kota, tepatnya di Kecamatan Watusampu.
Kemudian saya masuk Islam dan mengucap dua kalimat syahadat di sana, di depan seorang Imam kampung, kakak sepupu, dan Kak Ifan.
Ada kebahagiaan dalam hati yang tidak bisa saya ucapkan. Meski sesudah itu tidak sedikit pula rintangan yang harus dihadapi dari keluarga Bapak saya.
Tapi satu yang pasti, saya yakin Allah SWT tidak akan pernah meninggalkan saya dalam keadaan apa pun. Walau dada saya mungkin sesak seperti tertimbun tanah…. (Bersambung)
Kisah nyata dari seorang hamba Allah yang fakir ilmu.