Daftar Isi
Mencari Jalan Kebenaran (Bag. 2)
Alumni DID Darusy Syahadah
Mencari Jalan Kebenaran Bagian 1 bisa dibaca di sini.
Ujian Berikutnya
Akhirnya putus dari sekolah adalah pilihan terbaik saat itu. Untuk apa disembunyikan jika ini adalah pilihan yang tepat?
Kerabat (dari pihak Bapak) pun juga telah mengetahui bahwa saya masuk Islam. Tidak sedikit dari mereka yang marah, bahkan ada yang mengancam, pun ada pula yang memukul.
Pulang kampung adalah keputusan terbaik. Meski Ibu sedikit kecewa dengan putusnya sekolah saya saat itu, tapi dia tetap berusaha mendukung apa pun keputusan saya. Demikian juga dengan kakak dan adik.
Kemudian, Ibu menceritakan bahwa ternyata dulu Bapak yang seorang Kristiani menikahi Ibu yang beragama Islam dengan seolah-olah Bapak ikut masuk Islam.
Setelah anak-anak lahir, kami pun semua dibaptis. Waktu itu saya berumur sekitar 4 tahunan. Kenang Ibu.
Saya cukup kaget dengan cerita tersebut. Apalagi Ibu sempat memperlihatkan buku nikah Islam mereka.
“Berarti saya terlahir dalam keadaan Islam.” Itulah yang terbesit dalam hati waktu itu.
Pantas saja saya dengan mudah mampu menghafal Surat Al-Fatihah dan 3 surat pendek yang sering saya dengar dari teman-teman Muslim. Meski sudah Islam, hidup saya tidak begitu saja berjalan mudah dan terlepas dari masalah.
Kadang ada bujuk rayu dari teman-teman Kristiani, “Lebih baik jadi Kristen, meskipun kamu maksiat, tapi dosamu sudah dihapuskan oleh Yesus. Tetapi kalau kamu Islam, kamu akan dicuci dulu di neraka baru bisa masuk surga.”
“Buat apa jadi orang Islam kalau shalat saja setahun sekali. Lebih baik kamu jadi Kristen bisa masuk gereja sepekan sekali. Tidak capek-capek sehari lima kali.” Kata mereka sambil meledek dengan tawa.
Namun, perkataan itu justru mengena di hati. Dahulu saya begitu rajin ke gereja untuk ikut ibadah mingguan, ibadah remaja, bahkan sekolah pun di sekolah SMA Kristen.
Apa yang harus saya lakukan sekarang?
Keluarga dari pihak ibu pun, Islamnya biasa-biasa saja. Mereka memang senang saya masuk Islam. Ada yang menasihati untuk belajar shalat, ngaji, dan lain-lain. Namun, prakteknya benar-benar susah sekali. Ada saja waktu yang terpakai untuk hal lain.
Terkadang saya merasa sangat sibuk dan tidak sempat untuk shalat apalagi ngaji. Akhirnya, saya berpikir untuk menikah saja. Berharap dengan menikah, saya akan mendapatkan laki-laki Muslim yang mau mengajarkan banyak hal tentang Islam.
Seorang lelaki yang mendekati dan tertarik pada saya saat itu, saya tawarkan untuk menikah. Sebab, dia terlihat seorang yang baik waktu itu. Hanya saja, ternyata saya salah besar.
Setelah pernikahan berjalan kurang lebih setahun, saya justru lebih banyak disibukkan dengan hal lain. Saya jadi lupa dengan tujuan dan niat untuk menikah. Jangankan untuk mengajarkan shalat dan ngaji, yang saya dapatkan justru perlakuan yang tidak sepantasnya.
Kekerasan fisik, hingga perselingkuhan dari pasangan membuat saya mundur dan memilih berpisah dengan orang tersebut. Sungguh, cobaan itu sempat membuat mental benar-benar jatuh. Saya berpikir bahwa saya telah sangat menyia-nyiakan waktu.
Saya sangat terpukul dan menyesal. Kembali hati kecil bertanya, “Ya Allah kenapa harus saya yang mengalami ini semua?”
Hari demi hari hanya tangisan dan penyesalan. Bahkan untuk keluar rumah pun jadi malu. Sempat terbesit untuk bunuh diri, namun Ibu selalu menasihati dengan sabar.
Hari demi hari berlalu, dengan izin Allah Ibu sudah ikut masuk Islam karena menikah dengan orang Islam. Bapak tiri adalah guru saya waktu SMP dulu. Beliau banyak memberi nasihat pada saya bahkan juga membantu untuk mengikut ujian persamaan dan mencarikan pekerjaan.
Sebuah Janji
Minggu berlalu berganti bulan, di tengah kesibukan bekerja, saya berkenalan dengan seorang teman lelaki. Kami pun menjadi akrab saat itu. Ketertarikan yang tumbuh dari persahabatan membuat kami berdua merasa nyaman dan saling terbuka.
Dia mengetahui jika saya memiliki keingintahuan yang besar tentang Islam. Dia pun mendukung.
Meski saya tertarik pada pribadinya, tetapi saya merasa minder. Dengan status sebagai janda dan rasa trauma yang masih membekas, saya pun memendam perasaan padanya.
Suatu hari dia datang dan bertanya, “Apakah kamu mau belajar Islam di Pondok Pesantren?”
Sempat terdiam dan kaget, saya pun berseloroh, “Apa? Pondok Pesantren? Tidak salah? Mana mungkin aku bisa masuk Pesantren, baca Al-Qur’an saja tak mampu.”
“Nanti diajarkan dulu lah.” Katanya meyakinkan.
“Kamu mau atau nggak?” Dia bertanya sangat serius.
“Mau.” Jawaban itu benar-benar antara keyakinan dan pengharapan.
Saya merasa tidak akan mampu meraihnya sebab umur, status, dan kemampuan finansial sudah tidak ideal lagi. Malam itu saya segera berserah diri pada Allah subhanahu wa ta’ala.
“Ya Allah, saya ingin sekali mengenal Islam. Saya ingin menjadi baik ya Allah. Saya ingin menjadi hamba-Mu yang taat ya Allah.”
Hampir sebulan belum ada kabar apa pun darinya. Saya terpikir untuk membuka internet mencari sesuatu tentang Islam. Hingga terbuka kisah-kisah Sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam membela Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasalam.
Begitu banyak pengorbanan mereka. Bukan hanya harta, bahkan nyawa pun mereka korbankan. Saya menjadi sangat malu dengan diri sendiri. Cobaan selama ini ternyata hanya setitik debu saja. Begitu remeh, tetapi saya masih banyak mengeluh tentang cobaan yang sedikit itu.
Membaca kisah-kisah Sahabat Rasulullah, membuat tekad hati untuk belajar semakin kuat. Akhirnya kabar baik itu pun datang juga. Kerabat jauh yang berada di Pulau Jawa ingin membiayai saudara perempuannya belajar di pondok. Tetapi karena suatu alasan, saudaranya enggan untuk berangkat.
Dia pun menawarkan ke saya dan keesokan harinya kami segera berangkat dengan pesawat jam 6 pagi. Saya sadar ini adalah perjalanan terjauh selama ini. Apalagi dengan menyeberang Pulau dan bertemu orang-orang yang belum pernah saya temui sebelumnya.
Banyak drama yang terjadi dalam proses ini, tapi saya terus menguatkan hati. Meyakinkan keluarga terutama Ibu, bahwa saya akan baik-baik saja. Bahwa saya akan serius belajar. Keluar dari pekerjaan, berpisah dari teman-teman, bahkan saya akan mengganti nomer telepon genggam.
Sebab niat saya sudah benar-benar bulat bahwa saya harus belajar.
“Belajar yang baik di sana yaa. Kelak ketika kamu selesai mondok, aku akan melamarmu.” Sebelum menaiki pesawat kata-kata itu terdengar dan hati ini pun kegirangan. Meski tidak bisa saya ekspresikan dengan wajah dan kata bahagia, tapi saya sungguh berharap dengan lelaki itu.
Saya belajar mengaji dari alif, ba, ta, tsa, dan seterusnya. Banyak membaca buku, mengikuti kajian-kajian Islami untuk menambah ilmu persiapan masuk pondok. Belajar adab-adab dalam Islam, doa-doa pendek, dan sebagainya dengan dibantu Ibu In dan Ibu Nur.
Tiga bulan berlalu, akhirnya saya pergi ke Jawa Tengah untuk masuk pesantren yang sebulan sebelumnya saya datangi untuk mendaftar. Setelah menjalani hari dengan ditemani oleh Ibu In dan ibu Nur, kali ini saya harus pergi sendirian ke sana.
Banyak persiapan, banyak juga rintangan. Dua hari sebelum pergi, saya mendapat kabar bahwa lelaki yang berjanji untuk melamar setelah lulus ternyata sudah menikah dengan orang lain. Saya memang merasa sedih, pupus harapan, tetapi saya meyakinkan diri bahwa inilah jalan yang terbaik.
Saya tidak ingin rasa harap padanya menghilangkan niat untuk belajar. Saya meyakinkan hati. Bahwa sampai di titik ini bukanlah karena berharap padanya, semua ini pasti yang terbaik buat saya. Meskipun air mata itu tetap turun, selama perjalanan ke Ponpes Darusy Syahadah, Jawa Tengah, saya gugup, takut, segala macam rasa was-was timbul dalam hati kala itu.
Ibu tidak berhenti menelepon dan bertanya sudah sampai mana. Beliau tahu saya sedang sedih dengan berita itu, dia khawatir dan setiap saat menguatkan hati saya. Saya pun berpasrah pada Allah subhanahu wa ta’ala, berharap semoga Allah menunjukkan ke jalan yang benar.
Alhamdulillah, kerabat Ibu In saat itu juga mengantar anaknya ke pondok, jadi saya bisa bareng dengan mereka dan dalam perjalanan tidak ada satu kendala apapun.
Dengan izin Allah, saya belajar di sana, mendapatkan banyak ilmu, banyak saudari-saudari baru.
Apakah cobaan itu berakhir?
Sayangnya tidak. Cobaan itu akan selalu ada. Namun saat kita dekat dengan Allah Yang Maha Besar, cobaan akan terasa kecil. Wallahu a’lam.
Kisah ini saya tulis, semoga bisa memberikan banyak motivasi untuk para pembaca agar selalu tekun mencari ilmu dan senantiasa mengingat Allah subhanahu wa ta’ala di setiap keadaan kita. Sekian.