Daftar Isi
Mendidik Generasi Rabbani
Penulis: Ustadz Arif Manggala, Lc., Editor: Azzam
Pergantian generasi merupakan sunnatullah yang pasti akan terjadi pada suatu kaum atau bangsa.
Apakah pergantian itu lebih baik atau lebih buruk dari generasi sebelumnya tergantung pada kesungguhan dalam mempersiapkan pengkaderan generasi yang akan datang.
Jika dipersiapkan dengan baik dan sungguh-sungguh, insyaAllah akan menghasilkan suatu generasi yang lebih baik.
Begitu pula sebaliknya, jika asal-asalan akan menghasilkan suatu generasi yang lebih buruk dari generasi pendahulunya.
Realita Hari Ini
Namun, generasi apakah yang kini sedang dihadapi?
Kebanyakan teori tentang klasifikasi generasi, menamai generasi remaja sekarang ini dengan generasi Z.
Dalam teori generasi (Generation Theory) hingga saat ini dikenal ada 5 generasi, yaitu:
1. Generasi Baby Boomer, lahir 1946-1964.
2. Generasi X, lahir 1965-1980.
3. Generasi Y, lahir 1981-1994.
4. Generasi Z, lahir 1995-2010.
5. Generasi Alpha, lahir 2011-2025.
Lahir pada situasi politik yang cenderung stabil di Indonesia. Membuat generasi Z (kemudian disingkat gen Z) ini nyaman dan tidak aware terhadap konflik.
Generasi ini mencari eksistensi (pengakuan) diri dengan tidak lagi menciptakan suasana penuh rasa berkorban, namun malah membuat sensasi untuk mencuri perhatian orang banyak.
Meski sebagiannya harus menabrak tatanan Agama atau adat sosial masyarakat, hal itu tak dianggap penting. Apabila dirinya tidak diakui, maka ia akan mengalir ke wadah lain yang memiliki potensi eksistensi lebih besar.
Scrolling timeline, baca chat dari berpuluh-puluh grup, dan informasi-informasi yang sangat cepat bersliweran membuat gen Z memang sangat kreatif dan multitasking.
Akan tetapi, di satu sisi hal tersebut justru membuat mereka menjadi dangkal dalam analisis dan malas berpikir. Inginnya instan dan segera selesai namun tidak berpikir dampak selanjutnya dari perspektif yang berbeda.
Jika diamati dari masa ke masa, maka terlihat kualitas generasi kita tidak semakin baik. Bahkan cenderung menurun dan memburuk, tentu parameternya bukan dilihat dari ukuran materi namun dari sisi spiritual dan moral.
Sungguh benar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa tidaklah berlalu suatu masa kecuali masa yang setelahnya keadaanya lebih buruk daripada masa sebelumnya.
Dari Zubair bin ‘Adi dia berkata, kami pernah mendatangi Anas bin Malik untuk mengadukan tentang kesewenang-wenangan Al-Hajjaj (bin Yusuf). Maka dia menjawab
اصْبِرُوا فَإِنَّهُ لَا يَأْتِي عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلَّا الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ سَمِعْتُهُ مِنْ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Bersabarlah kalian, sebab tidaklah kalian berada pada suatu zaman melainkan zaman setelahnya lebih buruk daripadanya, sampai kalian menjumpai Rabb kalian.” Aku mendengar hal ini dari Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Al-Bukhari no. 7068).
Namun hadits di atas jangan menjadi alasan kita berputus asa. Bahkan seharusnya menjadikan kita bertambah semangat untuk beramal dan memiliki harapan yang besar untuk merubah keadaan.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Anas bin Malik dari Rasulullah SAW bersabda
إِنْ قَامَتِ السَّاعَةُ وَ فِي يَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيْلَةٌ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لاَ تَقُوْمَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَغْرِسْهَا
“Sekiranya hari Kiamat hendak terjadi, sedangkan di tangan salah seorang diantara kalian ada bibit kurma, maka apabila dia mampu menanamnya sebelum terjadi Kiamat maka hendaklah dia menanamnya.” (HR. Imam Ahmad 3/183, 184, 191, Ath-Thayalisi no.2078, Al-Bukhari, dalam kitab Al-Adab Al-Mufrad no. 479).
Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjanjikan bahwasannya pada setiap masa akan ada satu kelompok yang senantiasa berpegang teguh dengan kebenaran dan tidak akan ada yang mampu membahayakan mereka hinga hari Kiamat.
.لاَ تَزَالُ طًائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظًاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ
Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang dimenangkan di atas kebenaran, mereka tidak akan terpengaruh dengan orang yang menelantarakanya, sampai datang keputusan Allah, dan mereka pun dalam kondisi seperti itu”. (HR. Muslim 1920)
Menyiapkan Generasi Rabbani
Tugas kita hari ini adalah bagaimana menyiapkan generasi yang dijanjikan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, yaitu genersi rabbani yang akan meneruskan estafet perjuangan iqamatuddin, membawa perubahan dan menebarkan keadilan.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Ali ‘Imran
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ(79) وَلَا يَأْمُرَكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلَائِكَةَ وَالنَّبِيِّينَ أَرْبَابًا أَيَأْمُرُكُمْ بِالْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (80)
“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan. Apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?” (Ali Imran: 79-80).
Makna Generasi Rabbani
Banyak di antara kita yang sudah sering mendengar dan menggunakan kata “rabbani” baik disandingkan dengan ulama, da’i, ataupun suatu generasi tertentu.
Namun tidak sedikit juga di antara kita yang sebenarnya masih merasa samar atau bahkan belum tahu tentang makna yang tersirat dari kata “rabbani” ini.
Al-Azhari, Imam ahli bahasa Arab (wafat 370 H) dalam Kitabnya Tahdzib Al-Lughah (14/225) menyebutkan bahwa rabbani adalah sifat yang mengumpulkan antara kapasitas ilmu, pembuktian amal, dan pengajaran ilmu (pengkaderan).
Tiga komponen ini merupakan syarat mutlak yang harus ada dalam diri suatu ulama ataupun generasi yang mencapai derajat “rabbani”.
Bahkan setiap poin dari ketiganya memiliki konsekuensi tersendiri yang apabila tidak tercapai maka sifat “rabbani” belum bisa disandarkan pada suatu generasi atau ulama.
- Kapasitas Ilmu
Generasi rabbani harus memiliki kapasitas ilmu yang cukup dan kualitas ilmu yang shahih, meniti diatas manhaj salaf, dan kokoh di atas manhaj ahlus sunnah.
Makna inilah yang seringkali disebutkan oleh para salaf dalam ungkapan mereka, “Rabbaniyyun adalah para ahli fiqh (ulama) yang memiliki sifat hikmah (bijak dan adil).” Di antara mereka juga ada yang menafsirkannya, “Ulama yang bertakwa.” (Tafsir At-Thabari, 6/541 dan setelahnya)
2. Pembuktian Amalan
Yaitu dengan melakukan amal shalih, menyebarkan dakwah, serta pembaharuan baik dari sisi agama, maupun dunia, dan seluruh bidang kehidupan dengan teratur serta terorganisir.
Tidak dinamakan “rabbani” kalau hanya fokus pada agama dan hanya selalu menjaga keshalihan pribadi tetapi tidak melakukan pengorbanan untuk melakukan ishlah pada bidang sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya.
Imam Al-Thabari (wafat 310 H) berkata -setelah menyebutkan pendapat ulama tentang makna Rabbani-, “Pendapat yang paling benar menurutku bahwa rabbaniyyun merupakan jamak dari kata ‘rabbani’ yang dinisbatkan dengan ‘ar-rabbani’ yang berarti orang yang mentarbiyah (mengkader) manusia, dan yang senantiasa memperhatikan dan memberikan solusi atas seluruh bidang kehidupan mereka.
Bersamaan dengan sifat ini, ia juga merupakan seorang ahli fikih (ulama) dan hikmah dari kalangan mushlihin. Selalu memperhatikan semua bidang kehidupan manusia, dengan mengajarkan mereka kebaikan (ilmu) dan menyeru mereka kepada maslahat kehidupan mereka.”
Beliau juga menjelaskan, “Rabbaniyyun adalah orang-orang yang menjadi sandaran manusia pada masalah fiqih, ilmu, dan mencakup perkara agama dan perkara dunia.
Makna rabbani adalah orang yang mengumpulkan antara ilmu dan fikih serta pengetahuan tentang masalah siyasah (pengaturan), tadbir (pengorganisasian), serta memperhatikan problem-problem penduduk juga perbaikan kehidupan mereka baik dari segi dunia maupun agama.” (Tafsir Ibnu Jarir, 6/544-545)
Tidak hanya memfokuskan kehidupan, dakwah, dan perhatian mereka pada bidang ilmu /amalan agama tertentu, namun merata keseluruh bidang ilmu dan amal-amal islam, bahkan keseluruh bidang kehidupan duniawi.
3. Pengajaran Ilmu dan Tarbiyah (Pengkaderan)
Makna ini disebutkan oleh sebagian salaf termasuk Ibnu Abbas sebagaimana dalam Shahih Bukhari. Bahwa rabbani, “Ta’lim an-nas shigharal ’ilmi qabla kibarihi” (Orang yang mengajarkan manusia dari ilmu yang ringan sebelum ilmu yang berat).
Dalam Fathul-Bari Ibnu Hajar (wafat 852) berkata bahwa makna ungkapan ini adalah mengajarkan ilmu pada manusia secara tadarruj (bermarhalah atau bertahap).
Al-Azhari (wafat 370 H) dalam kitabnya Tahdzib Al-Lughah, setelah menyebut definisi rabbani ini, beliau berkata, “Barangsiapa yang dalam dirinya kehilangan satu saja dari tiga poin ini maka ia tidak bisa disebut sebagai rabbani.”
Jadi, seseorang/generasi/kelompok disebut rabbani jika menggabungkan tiga ini secara sempurna. Sebab itu, tidak heran bila Imam Mujahid rahimahullah menyatakan bahwa derajat orang-orang rabbani berada di atas para ahbar (para ulama).
Karakteristik Generasi Rabbani
Dalam kitab Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, Imam al-Mufassirin (pemimpin para ahli tafsir), yaitu Ibnu Jarir al-Thabari (224 – 310 H) menyebutkan lima hal yang harus dimiliki seorang rabbani.
- Alim dan mutsaqqaf, yakni seorang yang berilmu dan berwawasan.
- Faqih, berbeda dengan orang alim, seorang yang faqih tidak cukup memahami sebuah konsep ilmu saja melainkan mampu juga mendiagnosis keadaan dalam persoalan yang berkaitan.
- Sehingga dari seorang faqih, lahir sebuah fatwa yang tepat akan sebuah masalah.
- Al-Bashirah bis siyasah, seorang yang memiliki kedalaman pandangan tentang politik.
- Al-Bashirah bi tadbir, seorang yang memiliki kedalaman pandangan dalam hal manajemen dan kepemimpinan.
- Al-Qiyam bis su’unir ra’iyah li mashlahatid dunya wad din, (melaksanakan dan menjalankan segala urusan rakyat dan segala hal yang membawa kemaslahatan mereka, baik dalam kehidupan dunia mereka maupun kehidupan agama mereka). Merupakan implementasi dari poin ketiga dan keempat. Seorang Rabbani perlu memiliki kepedulian pada kepentingan publik.
Generasi rabbani bukan milik satu kelompok tertentu karena sejatinya cita-cita generasi impian ini tak bisa diemban satu golongan saja. Melainkan setiap elemen umat Islam perlu saling bahu membahu dalam mewujudkan cita-cita tersebut.
Menurut hemat penulis, setiap individu atau jamaah perlu mengambil posisi yang tegas dalam peran terwujudnya generasi impian tersebut.
Tidakkah kita rindu akan sosok-sosok generasi idaman seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib hadir kembali mengisi bumi yang sudah tua ini.
Atau penakluk-penakluk tangguh yang hadir setelahnya seperti Khalid bin Walid, Muhammad Al Fatih, Thariq bin Ziyad. Atau bahkan dengan cendekiawan seperti Abdullah bin Masud, Zaid bin Tsabit, Hassan Al Bashri.
Tidakkah sosok seperti mereka sangat dirindukan sekarang?
Itulah generasi impian. Generasi rabbani yang dirindukan. Seimbang akan ilmu, iman, dan amal. Tidak hanya mencari eksistensi hampa, melainkan untuk tujuan akhirat semata. Wallahu a’lam bish-shawab.