Ust. Arif Manggala, Lc
Pendidikan merupakan suatu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi untuk menjadi bekal di masa depan. Pendidikan merupkan unsur pokok dalam upaya menyiapkan generasi yang akan membawa dan meneruskan nilai sebuah peradaban. Pendidikan erat kaitannya dengan proses belajar mengajar yang dilakukan oleh guru dan murid, walaupun pada dasarnya diluar dari itu pendidikan juga bisa didapat dengan belajar secara otodidak dan belajar dari pengalaman.
Mendidik dan mengajarkan ilmu merupakan kewajiban setiap muslim, tentunya dengan sebatas ilmu yang ia ketahui. Paling tidak dia harus mendidik orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allâh terhadap apa yang diperintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6).
Mendidik serta mengajar merupakan tugas para Nabi dan Rasul, sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala jelaskan dalam firman-Nya:
رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Ya Tuhan kami, utuslah ditengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu dan mengajarkan Kitab dan Hikmah kepada mereka dan menyucikan mereka. Sungguh Engkaulah yang Maha perkasa lagi Maha bijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 129).
Berdasarkan ayat di atas, mendidik mencakup tiga unsur yaitu tilawah (membacakan), ta’lim (mengajarkan) dan tazkiyah (menyucikan jiwa).
Arah Pendidikan Mulai Berubah
Seiring dengan perjalan waktu pendidikan tidak hanya dilakukan secara konvensional. Hari ini pendidikan telah dilembagakan dalam sebuah institusi yang bernama sekolah. Sebuah institusi dengan kurikulum dan target capaian yang terukur, dan dalam rentang waktu yang telah ditentukan.
Lembaga pendidikan yang pada mulanya adalah wadah untuk mewujudkan cita-cita mulia mencerdaskan ummat dan menyiapkan generasi penerus. Lambat laun karena terkena imbas dari kapitalisme dan materialisme tidak sedikit yang berubah menjadi lembaga yang berorientasi profit dan bisnis. Artinya lembaga pendidikan ini tidak murni menyelenggarakan pendidikan namun juga dilandasi atas hitung-hitungan untung dan rugi. Maka tidak heran jika ada lembaga pendidikan yang mematok biaya pendidikannya dengan nilai yang tinggi, karena untuk menutup biaya operasional sekaligus mengambil keuntungannya. Sekolah dijalankan dengan strategi sebuah perusahaan, hubungan antara pemilik yayasan dengan para pendidiknya seperti bos dan karyawan. Begitu juga hubungan antara guru dengan muridnya seperti pelayan dan konsumen.
Pendidikan yang hanya melihat keberhasilan pendidikan pada capaian nilai, dan target materi. Maka tenaga pendidik pun juga memiliki pandangan yang sama bahwa kewajiban mereka yang penting hanya menyampaikan materi dan mentransfer ilmu kepada peserta didiknya sesuai dengan alokasi waktu dan jadwal yang telah ditentukan.
Karena dibangun di atas landasan hubungan kontrak kerja, maka seolah tidak ada rasa beban tanggung jawab menjadikan peserta didik sebagai manusia baik dari sisi ilmiyah sekaligus berkarakter dari sisi kejiwaannya.
Ikhlas dalam Mendidik
Pekerjaan mendidik termasuk amalan yang paling utama, sebab pekerjaan ini merupakan pekerjaan para Nabi dan Rasul. Hendaknya setiap pendidik sadar bahwa dirinya sedang memerankan tugas mereka dan meneruskannya. Menghadirkan pada dirinya perasaan bahwa mereka mengemban tugas dan tanggung jawab untuk menunjukkan manusia ke jalan yang lurus dan menjauhkan mereka dari kesesatan.
Dikarenakan mendidik adalah tugas para Nabi dan Rasul maka para pendidik dituntut untuk mengikhlaskan pekerjaannya hanya mengharap imbalan dari Allah –subhanahu wa ta’ala semata. Tidak mengharap dari pekerjaanya itu imbalan materi dunia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman mengisahkan ucapan semua Nabi dan Rasul-Nya ketika berdakwah:
وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ ۖإِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَىٰ رَبِّ الْعَالَمِين
“Dan sekali-kali aku tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.” (QS. Asy-syura: 127).
Mendidik merupakan sebuah bentuk ibadah dan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dengan ibadah itu kita mengharap pahala dan balasan dari-Nya. Sedangkan amalan yang diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala adalah yang niatnya ikhlas dan jauh dari syirik.
Berbicara tentang mengikhlaskan niat berarti membahas suatu amalan hati yang paling berat untuk dilakukan seorang manusia. Yang demikian karena besarnya dominasi ambisi nafsu manusia yang sangat bertentangan dengan keikhlasan dalam niat, kecuali bagi orang-orang beriman yang diberi kemudahan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam semua kebaikan.
Termasuk penyimpangan niat yang banyak menimpa manusia dan menodai kesucian ibadah mereka, selain perbuatan riya’, adalah terselipnya niat dan keinginan duniawi pada amal ibadah yang dikerjakan manusia. Penyimpangan ini penting untuk diketahui, karena sering menimpa seorang yang berbuat amal kebaikan tapi dia tidak menyadari terselipnya niat tersebut, padahal ini termasuk bentuk kesyirikan yang bisa menodai bahkan merusak amal kebaikan seorang hamba. Allah n berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Merekalah orang-orang yang di akhirat (kelak) tidak akan memperoleh (balasan) kecuali neraka dan lenyaplah apa (amal kebaikan) yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka lakukan.” (QS. Huud: 15-16).
Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa amal shalih yang dilakukan dengan niat duniawi adalah termasuk perbuatan syirik yang bisa merusak kesempurnaan tauhid yang semestinya dijaga dan perbuatan ini bisa menggugurkan amal kebaikan. Bahkan perbuatan ini lebih buruk dari perbuatan riya’ (memperlihatkan amal shalih untuk mendapatkan pujian dan sanjungan). Karena seorang yang menginginkan dunia dengan amal shalih yang dilakukannya, terkadang keinginannya itu menguasai niatnya dalam meyoritas amal shalih yang dilakukannya. Ini berbeda dengan perbuatan riya’, karena riya’ biasanya hanya terjadi pada amal tertentu dan bukan pada mayoritas amal, itupun tidak terus-menerus. Meskipun demikian, orang yang yang beriman tentu harus mewaspadai semua keburukan tersebut.
Oleh karena itu, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab dalam kitab At–Tauhid mencantumkan sebuah bab khusus tentang masalah penting ini, yaitu bab: Termasuk (perbuatan) syirik adalah jika seseorang menginginkan dunia dengan amal (shalih yang dilakukan)nya.
‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu’anhu berkata tentang makna ayat di atas: (“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia”), artinya balasan duniawi, (“dan perhiasannya”), artinya harta. (“Niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna”), artinya: Kami akan sempurnakan bagi mereka balasan amal perbuatan mereka (di dunia) berupa kesehatan dan kegembiraan dengan harta, keluarga dan keturunan”.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin mengisyaratkan makna lain dari perbuatan ini, yaitu seorang yang mengamalkan ketaatan kepada Allah Ta’ala bukan karena riya’ atau pujian, niatnya ikhlas kerena Allah subhanahu wa ta’ala, akan tetapi dia menginginkan suatu balasan duniawi, misalnya harta, kedudukan duniawi, kesehatan pada dirinya, keluarganya atau keturunannya, dan yang semacamnya. Maka dengan amal kebaikannya dia menginginkan manfaat duniawi dan melalaikan/melupakan balasan akhirat.
Adapun perbedaan antara perbuatan ini dengan perbuatan riya’, maka perbuatan ini lebih luas dan lebih umum dibanding perbuatan riya’, bahkan riya’ adalah salah satu bentuk keinginan duniawi dalam beramal shalih.
Perbuatan riya’ bertujuan untuk mendapatkan pujian dan sanjungan dengan amal shalih, sedangkan perbuatan ini tidak bertujuan untuk mendapat pujian, tapi ingin mendapatkan balasan duniawi dengan amal shalih, seperti harta, kedudukan, kesehatan fisik dan lain-lain
Ancaman Mendidik dengan Motivasi Dunia
Amal shalih yang dikerjakan seseorang dengan ikhlas mengharapkan wajah Allah subhanahu wa ta’ala semata atau meninggalkan larangan dan menjaga batasan-batasan-Nya. Akan tetapi dia tidak menginginkan dari semua itu balasan dan pahala di akhirat, namun hanya menginginkan balasan duniawi saja, maka orang seperti ini akan diberikan balasan amal perbuatannya di dunia dan tidak ada bagian (balasan kebaikan) untuknya di akhirat kelak. Bahkan mereka akan mendapatkan azab neraka Jahannam dalam keadaan hina dan tercela. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa (balasan dunia) yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami inginkan, kemudian Kami jadikan baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.” (QS. Al-Israa’: 18).
Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam yang bersabda:
مَنْ كَانَتِ الآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِى قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِىَ رَاغِمَةٌ وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهَ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا قُدِّرَ لَهُ
“Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai akhirat, maka Allah akan memberikan kecukupan dalam hatinya, Dia akan menyatukan keinginannya yang tercerai berai, dunia pun akan dia peroleh dan tunduk hina padanya. Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai dunia, maka Allah akan menjadikan dia tidak pernah merasa cukup, akan mencerai beraikan keinginannya, dunia pun tidak dia peroleh kecuali yang telah ditetapkan baginya.” (HR Ibnu Majah no. 4105, Ahmad 5/183, ad-Daarimi no. 229, Ibnu Hibban no. 680 dan lain-lain dengan sanad yang shahih, dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-Bushiri dan syaikh al-Albani).
Pengaruh Keikhlasan dalam Mendidik
Keikhlasan seorang pendidik dalam aktifitasnya memiliki dampak yang besar dalam keberhasilan dalam sebuah pendidikan. Dampak yang kembali pada lembaga pendidikan itu maupun kepada peserta didiknya.
Seseorang yang beramal dengan ikhlas maka dia tidak mengarapkan dari pekerjaanya itu kecuali wajah Allah semata. Sehingga dia pun tidak akan merasa tidak merasa bangga atas pujian orang dan sebaliknya tidak akan bersedih jika seandainya pekerjaan tidak diakui atau bahkan diklaim oleh orang lain.
Suksesnya sebuah pendidikan bukan semata-mata dilihat dari cemerlangnya otak dari siswa. Namun suksesnya pendidikan itu juga dilihat dari sisi akhlak dan kepribadian para siswa. Hasil akhir ini bisa didapat jika seorang pendidik memiliki jiwa yang bersih, kecintaan, keteladanan dan keikhlasan dalam memberikan apa yang ia miliki untuk anak didiknya.
Jika yang keluar dari lisan para pendidik bersumber dari hati yang jujur dan ikhlas, maka ia akan menembus masuk ke dalam sanubari setiap siswa dan akan menggerakan jiwanya untuk berubah menjadi tindakan, dan sebaliknya jika sesuatu itu keluar hanya di bibir saja maka akan sampai ke telinga saja. Sebagaimana perkataan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah:
مَا يَخْرُجُ مِنَ الْقَلْبِ يَخْتَرِقُ الْقُلُوْب..وَمَا يَخْرُجُ مِنَ اللِّسَانِ لَا يَتَعَدَّى الْآذَان
“Sesuatu yang keluar dari hati akan sampai ke dalam Hati , akan tetapi sesuatu yang keluar dari lisan (hanya di bibir saja) maka ia tidak akan melampaui telinga.”
Wallahu a’lam bishshawab.