Oleh : Ustadz Oemar Mita, Lc
Tak hanya pintu dan gerbang yang butuh untuk digembok dan dikunci untuk menyelamatkan harta dan materi yang terkumpul. Tetapi justru yang paling layak untuk dikunci dan digembok ialah lisan untuk menjaga harta ketaatan dan pahala ibadah supaya ia tak menguap kelak hari kiamat ketika tegak mizan Allah. Karena hakekatnya lisan ialah layaknya mata uang yang memiliki dua sisi, sisi syurga dan sisi neraka. Karena lisan terletak di antara keduanya. Tergantung yang keluar darinya. Sehingga apabila lisan ketika dikuasai oleh hamba beriman layaknya lebah, antara yang keluar dan masuk selalu berisi penuh dengan kebaikan. Tapi ketika lisan dimiliki oleh hamba miskin akhlaq dan ilmu maka layaknya lalat antara yang masuk dan keluar ialah kotoran yang menjijikan
Di antara pusaran dosa lisan begitu beragam dan penuh variasi. Dari mulai berdusta hingga ghibah menjadi fitnah dan mengikuti prasangka yang dihembuskan syaithan. Sehingga menjadikan hati menghitam pekat tak lagi mencintai saudaranya karena iman ketaqwaan.
Amirul mukminin Umar bin Khattab berkata, “Janganlah sekali-kali kalian menafsirkan perkataan saudara kalian sesama orang mukmin dengan prasangka, kecuali yang baik-baik saja, selagi kamu masih mendapatkan penafsiran yang baik atas perkataannya.” Perkataan ini disebutkan oleh ibnu Katsir dalam tafsirnya surat Al-Hujurat.
Abu Bakr bin Abdillah Al-Muzani sebagaimana disebutkan dalam biografinya dalam kitab At-Tahdzib wat Tahdzib. Beliau mengatakan, “Jauhilah olehmu perkataan yang apabila kamu benar, engkau tidak mendapatkan pahalanya, namun jika salah, kamu mendapatkan dosanya. Itulah buruk sangka kepada saudaramu sesama musim.”
Abu Qilabah Abdullah bin Zaid Al-Jarami, sebagimana disebutkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Al-Hilyah (2/285), bahwa beliau berkata, “Apabila sampai kepadamu berita yang tidak engkau sukai mneganai saudaramu, maka carilah udzur untuknya sekuat kemampuanmu. Jika kamu tidak mendapatkan udzur untuknya, maka katakanlah pada dirimu, “Mungkin saudaraku mempunyai alasan yang tidak aku ketahui. ”
Sufyan bin Husain berkata, “Saya menyebut keburukan seseorang di dekat Iyyas bin Muawiyah, maka beliau menatapku seraya berkata, “Apakah kamu sudah pernah memerangi Romawi?” Saya menjawab, “Belum.” Beliau bertanya lagi, “Kalau negeri Cina, India atau Turki? Saya menjawab, “Belum.” Lantas beliau bekata, “Apakah kamu membiarkan Negara Romawi, Cina, India, dan Turki sedangkan kamu tidak membiarkan saudaramu sesama muslim selamat dari lisanmu?” Sufyan berkata, “Maka setelah itu saya tidak pernah lagi mengulangi perkataan seperti itu.” (Al-Bidayah wan Nihayah oleh Ibnu Katsir: 13/121)
Alangkah bagus jawaban yang disampaiakan oleh Iyyas bin Muawiyah ini. Beliau adalah orang yang terkenal dengan kecerdasannya, dan jawaban beliau ini adalah salah satu contoh kecerdasannya.
Abu Hatim bin Hibban Al-Busti dalam kitab Raudhatul Uqala (hal.131) mengatakan, “Yang seharusya dilakukan oleh orang yang berakal adalah tidak menyibukkan diri dengan mencari-cari aib manusia, tapi hendaknya ia menyibukkan diri dengan melihat aibnya sendiri. Barangsiapa yang sibuk melihat aib dirinya, maka badannya akan bisa rehat dan hatinya tidak akan merasa lelah.
Dan semakin dia mengetahui aib dirinya, maka aib yang ada pada saudaranya akan semakin nampak kecil dalam pandangannya. Sebaliknya barangsiapa yang sibuk dengan aib orang lain, maka hatinya akan menjadi buta dan badannya akan kelelahan. Bahkan dia tidak akan mampu meninggalkan sesuatu syang sebenarnya adalah aib bagi dirinya. Lisanmu dan tulisanmu, sudahkah memiliki gembok ?