Daftar Isi
Oleh : Nurul Azizah (Mahasantri Ma’had Aly Ta’hil al-Mudarrisat Darusy Syahadah)
Pendahuluan
Menurunnya komunikasi antar orang tua dan remaja, menjadi salah satu penyebab kenakalan remaja. Bahkan, berbagai tindak laku kenakalan remaja seperti kriminalitas, pencurian, narkoba, tawuran dan lainnya, tidak terlepas dari kurangnya perhatian dan komunikasi orang tua terhadap anaknya. Sebuah kasus pembunuhan yang cukup menyita publik, yaitu kasus pembunuhan yang dilakukan remaja putri berumur 15 tahun, terhadap anak yang berusia 5 tahun. Pembunuhan ini tergolong sadis, karena pelaku berinisial FN mengaku melakukan aksinya secara sadar. Pembunuhan ini berlangsung saat korban tengah bermain di rumahnya, kemudian pelaku membunuh dengan cara menenggelamkan korban ke bak mandi, lalu mencekiknya dan jenazah korban dimasukkan ke dalam lemari pelaku. Pelaku mengaku, melakukan pembunuhan tersebut karena terinspirasi setelah menonton film Chuky. Hal tersebut diduga akibat beberapa tekanan psikologis yang dialami oleh pelaku. Tekanan tersebut berupa korban pernah dilecehkan, hubungan dengan orang tua kurang harmonis dan kurangnya komunikasi antar keduanya.[1]
Seorang Pakar Psikologi Airlangga Nurul hartini, menyatakan bahwa kurangnya komunikasi antara anak dan orang tua menjadi faktor utama anak melakukan kejahatan.[2] Menurut Badan Narkotika Nasional (BBN), salah satu masalah utama pada kenakalan remaja adalah adanya penyalahgunaan narkoba. Menurut data BNN, penyalahgunaan narkoba di kalangan remaja terus meningkat beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2020, BNN melaporkan bahwa sekitar 2,29 juta remaja Indonesia terlibat dalam penyalahgunaan narkoba, dan terus meningkat hingga 2022.[3]
Selain kasus penyalahgunaan narkoba, tawuran termasuk kenakalan remaja yang angkanya terus meningkat. Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) mencatat peningkatan kasus tawuran antar pelajar di berbagai kota besar. Pada tahun 2021, Jakarta menjadi salah satu kota dengan kasus tawuran pelajar tertinggi, dengan lebih dari 150 kasus dilaporkan dalam setahun. Penelitian ini juga menyebutkan bahwa salah satu faktor pemicu kenakalan remaja adalah kurangnya interaksi dan komunikasi dalam keluarga.[4]
Oleh karena itu, untuk menanggulangi resiko tersebut peran orang tua sangat diperlukan, khususnya pada pola asuh yang diberikan kepada remaja.[5] Orang tua harus memberikan pola asuh yang tepat, agar dapat merangkul remaja dari hal-hal yang beresiko seperti kenakalan remaja. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli, maka pola asuh yang tepat untuk remaja adalah pola asuh demokratif. Sebab, pola asuh tersebut mengarah pada pendekatan dalam mendidik generasi muda untuk mandiri, dan di dalamnya terdapat seni komunikasi yang bebas antar orang tua dan anak remajanya. [6]
Pola asuh demokratif dapat dilakukan melalui proses motivasi yang diberikan orang tua, sehingga remaja secara aktif dapat mengeksplorasikan lingkungannya. Remaja juga dapat menggapai minat yang diinginkan, dapat menghadapi tantangan serta terlibat dalam kegiatan yang bisa mengembangkan kompetensi yang ada di dalam dirinya. Pola asuh ini juga dapat mendorong remaja untuk bebas berdiskusi, namun tetap ada batasan-batasan yang dikendalikan orang tua untuk tindakan-tindakan mereka.[7]
Memahami Pola Asuh Demokratif
Pola asuh demokratif adalah pola asuh yang ditandai dengan adanya pengakuan orang tua terhadap kemampuan yang dimiliki anak, dan anak diberikan kesempatan agar tidak terlalu bergantung kepada orang tua.[8] Menurut Andi pola asuh ini cenderung hangat, menghargai anak, serta memberikan perhatian dan kasih sayang. Sehingga ketika anak memiliki masalah, orang tua dapat menerima keluh kesah anak dan anak merasa lebih nyaman berada di dekat orang tua.[9]
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa pola asuh demokratif adalah pola asuh yang melalui proses komunikasi dan diskusi antar orang tua dan anak, sehingga anak bebas mengutarakan pendapatnya.
Tantangan Komunikasi Remaja
Remaja memiliki banyak peranan penting dalam terbentuknya sebuah peradaban. Masa remaja adalah masa yang paling produktif dan sangat menentukan masa depan.[10] Saat ini, remaja hidup dalam zaman yang banyak perubahan dan tantangan, salah satu tantangan yang dihadapi adalah tantangan dalam berkomunikasi. Berikut ini merupakan tantangan-tantangan remaja dalam berkomunikasi:
- Keluarga
Tantangan yang memiliki pengaruh besar dan menghambat komunikasi remaja adalah keluarga. Keluarga menjadi tantangan ketika orang tua berkomunikasi dengan satu arah dan tidak memberi anak kesempatan untuk mengutarakan pendapatnya. Orang tua yang selalu memaksakan kehendaknya dan mengesampingkan keinginan anak, membuat anak merasa tidak dihargai.[11] Hal ini berujung pada anak tidak mau mengutarakan keinginannya lagi, sebab keinginannya selalu dikesampingkan oleh orang tuanya. Oleh karena itu orang tua harus memposisikan dirinya sebagai teman, bahkan menjadi seorang sahabat yang selau bersedia menjadi tempat mengadu.[12]
Orang tua yang terlalu sibuk bekerja dan tidak memiliki banyak waktu untuk berkomunikasi dengan anak,[13] juga menjadi tantangan tersendiri dalam komunikasi remaja. Sebab, dari kesibukan tersebut membuat anak kurang diperhatikan Oleh karena itu orang tua harus mengatur waktu (quality time) bersama anaknya,[14] sehingga dapat terbangun ikatan komunikasi yang baik antara keduanya.
- Media Sosial
Orang yang terlalu sering berselancar di media sosial, memiliki resiko dua kali lipat mengalami keterkucilan sosial, sehingga dapat menghambat seni komunikasinya.[15] Remaja saat ini, adalah orang yang sangat cenderung dalam pemakaian media sosial.[16] Bahkan media sosial telah menjadi bagian dari kehidupannya. Pada hakikatnya media tersebut hanyalah alat, dan bergantung pada orang yang menggunakannya.[17]
Media sosial dapat menularkan emosional yang tidak baik, seperti kesepian, sehingga orang tersebut interaksinya akan terganggu,[18] terkhusus dalam berkomunikasi terhadap sesama. Para peneliti juga menyebutkan, bahwa media sosial dapat menghabiskan waktu dan kehilangan aspek yang penting dalam komunikasi yaitu interaksi tatap muka.[19]
- Teman
Teman memiliki pengaruh yang besar, baik pengaruh positif maupun negatif.[20] Upaya peningkatan komunikasi dapat dipengaruhi oleh seberapa besar kontribusi remaja dalam lingkar pertemanannya. Apabila sikap dan perilaku yang dilakukan oleh temannya sesuai dengan aturan agama dan masyarakat, maka komunikasi remaja tersebut dapat dipertanggungjawabkan.[21] Namun sebaliknya, apabila sikap dan perilakunya bertolak belakang dengan aturan agama dan masyarakat, maka hal itu akan menjadi toxic relationship dalam diri remaja. Ketika remaja yang sudah terpapar toxic relationship, maka akan memberikan pengaruh yang tidak baik terhadap perkembangan dirinya, terutama dalam pembentukan perkembangan komunikasinya.[22] Oleh karena itu, teman menjadi salah satu tantangan komunikasi bagi remaja.
Manfaat Pola Asuh Demokratif Dalam Meningkatkan Komunikasi
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, pola asuh demokratis merupakan pola asuh yang disarankan oleh para ahli dalam mengasuh anak, terkhusus dalam mengasuh anak remaja. Berikut ini merupakan manfaat pola asuh demokratif dalam meningkatkan komunikasi:
- Hubungan antara anak dan orang tua akan lebih harmonis.
Orang tua dan anak remaja yang sering melakukan interaksi dan komunikasi memiliki pengaruh yang baik. Salah satunya hubungan antara keduanya akan lebih harmonis karena lebih sering bertatap muka untuk melakukan komunikasi ataupun diskusi. Remaja juga akan lebih terbuka dalam mengutarakan perasaannya, karena memiliki hubungan yang baik dengan orang tuanya.[23]
- Menumbuhkan kemandirian pada remaja.
Komunikasi yang terjalin antara orang tua dan remaja, akan menumbuhkan kemandirian dalam diri remaja. Hal ini juga dapat melatih remaja untuk membuat keputusan. Namun dengan tetap meminta pendapat ataupun berdiskusi kepada orang tua, tanpa terlalu bergantung kepada keduanya.[24]
- Remaja dapat mengembangkan keterampilan yang dimiliki, karena orang tua yang selalu memberikan dukungan.
Orang tua yang selalu berkomunikasi dan selalu memberi dukungan kepada remaja, akan bermanfaat dalam belajarnya. Termasuk juga dalam mengembangkan keterampilan pada diri remaja.[25] Baik keterampilan itu berupa kemampuan bersosialisasi di masayarakat ataupun dalam hal peningkatan rasa percaya diri.
- Remaja dapat menghargai pendapat orang lain.
Remaja yang sering melakukan komunikasi ataupun diskusi dengan orang tuanya akan sangat berpengaruh dalam kehidupannya. Bahkan dalam kehidupan bersosialisasinya, remaja sangat menghargai pendapat orang lain. Remaja juga tetap dapat mengungkapkan pendapatnya secara jujur, namun tetap menjaga dan memikirkan perasaan orang lain. [26]
- Orang tua tetap bisa mengontrol remaja dengan aturan yang telah disepakati bersama.
Orang tua yang menggunakan pola asuh demokratif tetap dapat mengontrol remaja dengan aturan-aturan yang telah didiskusikan bersama. Remaja juga akan menjalani aturan tersebut dengan hati yang terbuka, karena berdasarkan kesepakatan bersama.[27] Aturan yang telah disepakati akan sangat berpengaruh dalam perkembangan perilaku remaja.
Pola Asuh Demokratif Dalam Meningkatkan Komunikasi Antara Orang Tua dan Remaja
Pola asuh demokratif dalam meningkatkan komunikasi antara orang tua dan remaja, dapat diterapkan dengan:
- Memberikan Kesempatan kepada Remaja untuk Berpendapat
Orang tua yang ingin menerapkan pola asuh demokratif dalam meningkatkan komunikasi remaja. Hendaknya orang tua memberikan ruang pada anak dalam berpendapat,[28] meskipun pendapatnya berbeda. Hal ini bertujuan, agar anak merasa dihargai karena diberi keluasan untuk mengutarakan pendapatnya. Khususnya untuk anak yang berusia remaja, karena mereka selalu punya pendapat sendiri.
Adapun ketika remaja sedang berpendapat, hendaknya orang tua mendengarkan terlebih dahulu pendapatnya, tanpa menghakimi atau langsung memberi solusi. Kemudian orang tua juga dapat memberikan pertanyaan terbuka untuk mendorong remaja agar berbicara lebih banyak dalam mengutarakan perasaannya. Dengan mendengarkan pendapat anaknya, orang tua dapat membantu dalam menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi sang anak.[29]
- Menetapkan Aturan yang Jelas
Hendaknya orang tua yang demokratif berkomunikasi memiliki aturan keluarga yang jelas dan telah disepakati bersama, seperti waktu pulang malam atau penggunaan teknologi. Aturan ini harus dibuat dengan cara berkomunikasi ataupun berdiskusi dengan anak. Orang tua juga harus memastikan bahwa anak-anak paham dan mengetahui alasan dibuatnya aturan tersebut. Sehingga ketika anak sudah mengetahui alasan dibalik peraturan tersebut, anak akan lebih merasa bertanggung jawab dan terikat dengan aturan yang telah dibuat.[30] Hal ini penting agar remaja tidak merasa dikontrol secara berlebihan.
- Memberikan Kebebasan yang Terarah
Saat berkomunikasi dengan remaja, orang tua perlu memberikan kebebasan pada anak remajanya untuk membuat keputusan sendiri, namun dengan tetap memberikan arahan dan masukan kepada remaja. Misalnya, orang tua memberikan keluasan pada remaja dalam mengatur waktu belajarnya, tetapi tetap memastikan target akademiknya tercapai.[31] Termasuk ketika orang tua membolehkan remaja berselancar di media sosial, orang tua harus mengommunikasikan terlebih dahulu batasan ataupun arahan mengenai penggunaan teknologi yang baik dan benar.[32] Hal ini bertujuan agar remaja dapat mengunakan teknologi dengan bebas, namun tetap dengan arahan dari orang tua.
- Mengontrol Emosi Pada Remaja
Orang tua yang demokratif bukanlah orang tua yang meremehkan emosi anak, ketika anak sedang menghadapi sebuah masalah, akan tetapi justru yang memperbaiki emosi anak. Hal ini dapat diawali dengan orang tua melakukan komunikasi ketika remaja sedang dilanda masalah, dan mulai mengontrol emosi remaja. Orang tua juga dapat membantu mengembangkan emosi anak, sangat berguna bagi anak mengetahui konsekuensi dari emosi yang sedang dirasakan. Oleh karena itu orang tua harus mengajarkan kepada anaknya untuk melabeli emosinya dan mengenalkan apa dampak dari emosinya yang dapat mempengaruhi perilakunya.[33] Hal tersebut dilakukan agar emosi anak dapat terkontrol dengan baik.
- Disiplin dan Fleksibel
Orang tua yang demokratif sangat disiplin dalam menegakkan batasan, akan tetapi juga fleksibel jika situasinya memerlukan penyesuaian. Oleh karena itu, orang tua harus siap berkomunikasi untuk berdiskusi dalam menyesuaikan aturan, jika ada perubahan pada situasi atau kebutuhan remaja.[34] Apabila hal ini diterapkan anak akan menjadi pribadi yang disiplin, tetapi orang tua tetap menghormatinya dengan memberi fleksibilitas.
- Memberikan Dukungan
Orang tua yang demokratif adalah yang selalu berkomunikasi dengan memberi dukungan dan motivasi untuk anaknya, terutama ketika anak sedang menghadapi sebuah masalah. Saat anak merasa orang tuanya menjadi sumber dukungan, anak akan lebih terbuka dalam berbagi perasaan ataupun tentang masalah yang sedang dihadapinya.[35] Hendaknya orang tua juga memberikan reaksi yang tepat saat anak sedang bercerita. Misalnya ketika anak bercerita bahwa dirinya dapat menjawab pertanyaan guru ketika di kelas, maka orang tua dapat bereaksi dengan mengapresiasinya. Begitu juga saat anak berbagi sesuatu yang negatif, hendaknya orang tua tidak bereaksi secara berlebihan dan langsung mengkritik, namun dengan mendengarkan anak terlebih dahulu, setelah itu orang tua dapat memberikan arahan ataupun menasehatinya.
Kesimpulan
Orang tua memiliki peran penting dalam pembentukan diri anak, terutama untuk masa remajanya. Oleh karena itu, salah satu sarana dalam membentuk diri anak untuk menjadi pribadi yang lebih baik, orang tua dapat menjalin komunikasi yang baik dengan anak. Namun seiring berjalannya waktu komunikasi tersebut menurun, terkhusus saat anak yang telah mencapai usia remaja. Hal tersebut disebabkan tantangan komunikasi yang menjangkiti remaja saat ini, tantangan tersebut dapat berupa orang tua yang tidak memiliki waktu bersama dengan anaknya, ataupun orang tua yang tidak mau mendengarkan pendapat anaknya, media sosial yang membuat waktu kebersamaan dan interaksi tatap muka hilang, dan teman yang memberikan dampak yang tidak baik.
Oleh karena itu orang tua harus meningkatkan komunikasi, terkhusus pada anak remajanya. Komunikasi tersebut dapat ditingkatkan dengan pola asuh demokratif, yaitu pola asuh yang didalamnya terdapat proses komunikasi dan diskusi antar orang tua dan anak. Hal ini dapat dilakukan sehingga anak bebas dalam mengekspresikan pendapatnya. Adapun dalam penerapannya orang tua bisa melakukan beberapa hal, seperti memberikan kesempatan anak untuk berpendapat dan mendengarkan, menetapkan aturan yang jelas dan telah disepakati bersama, memberikan kebebasan yang terarah, mengontrol emosi anak, disiplin dan fleksibel, serta memberikan dukungan pada anak
Daftar Pustaka
- Angga Setyawan, Anak juga Manusia, Cet. 3, (Bandung: PT Mizan Publika, 2021).
- Arri Handayani, Psikologi Parenting, Cet. 1, (Yogyakarta: CV. Bintang Semesta Media, 2021).
- Astrid Savitri, Disiplin Positif Mendidik Anak, Cet. 1, (T.Tp: Penerbit Brilliant, 2021).
- Baharuddin, “Pentingnya Pola Komunikasi Orang Tua Terhadap Perkembangan Pubertas Remaja”, Jurnal Studi Gender dan Anak, Vol. 12, No. 1, Oktober 2019.
- Cahyadi Takariawan, Wonderfull Parent: Menjadi Orang Tua Keren, Cet. 3, (Solo: PT Era Adicitra Intermedia, 2024).
- Esli Zuraidah Siregar dan Nurintan Muliani Harahap, “Peran Orang Tua dalam Membina Kepribadian Remaja”, Jurnal Bimbingan Konseling Islam, Vol. 13, No. 1, Juni 2022.
- Fabianus Fensi, “Mendengarkan Sebagai Model Komunikasi Untuk Memahami Remaja”, Jurnal Psikologi Psibernetika, Vol. 9 No. 2, Oktober 2016.
- Hadidtha Rania dan Arie Rihardini Sundari, “Pengaruh Pola Asuh Otoritatif dan Regulasi Emosi terhadap Perilaku Asertif Remaja di SMA PGRI 1 Bekasi”, Jurnal Edukasi dan Multimedia, 1, No. 2, Juni 2023.
- Ihsanuddin, “Kisah Pilu Kisah Pilu di Balik Aksi Remaja Bunuh Balita, Pelaku adalah Korban Pemerkosaan”, dalam KOMPAS.ID.com, diakses pada: Rabu, 02 Oktober 2024, pukul 17.05 WIB.
- Irawati Istadi, Membimbing Remaja dengan Cinta, (Yogyakarta: Pro-U Media, 2016).
- Khairul Annuar dan Nurus Sa’adah, “Pentingnya Komunikasi Keluarga terhadap Perkembangan Remaja dan Faktor yang Menyebabkan Kurang Efektifnya Komunikasi dalam Keluarga”, Jurnal UIQI Bogor, Vol. 3, No. 1.
- Kustiah Sunarti, Pola Asuh Orang Tua dan Kemandirian Anak, (Kp: Edukasi Mitra Grafika, T.Tp).
- Lucky Setyo Hendrawan, “Pakar Psikologi Unair Surabaya Tanggapi Kasus Pembunuhan oleh Remaja”, dalam TIMES.INDONESIA.com, diakses pada: Rabu, 02 Oktober 2024, pukul 17.08 WIB.
- Muhammad Farhan, “Kenakalan Remaja Indonesia, Analisis Terkini dan Strategi Penanggulangan”, dalam www.kompasiana.com, diakses pada: Senin, 30 September 2024, pukul 13.43 WIB.
- Nasri Hanang dkk, Pengasuhan Disiplin Positif Islami (Perspektif Psikologi Komunikasi Keluarga), Cet. 1. (Sulawesi: Aksara Timur, 2020).
- Novi Andayani Praptiningsih dan Gilang Kumari Putra, “Toxic Relationship dalam Komunikasi Interpersonal di Kalangan Remaja”, Jurnal COMMUNICATION, Vol. 12 No. 2, Oktober 2021.
- D. Asti, Parenting 4.0 Mendidik Anak di Era Digital, (Klaten: Caesar Publisher, 2019).
- Ricki, Skripsi: Pola Asuh Orang tua terhadap Perilaku Remaja di Desa Kaladi Darussalam Kecamatan Suli Barat Kabupaten Luwu, (Palopo: Program Studi Bimbingan dan Konseling Islam Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah Institute Agama Islam Negeri Palopo, 2023).
- Syamsu Nahar, Komunikasi Edukatif Orang Tua dan Anak dalam Al-Qur’an : Kajian Tafsir Tarbawi. Cet. 1. Indramayu : Penerbit Adab.
- Wahab Rajasaman, Enam Bekal bagi Pendidik dan Pengasuh (To be an Inspiring and a Love Figure), Cet. 1, (Bekasi: Pustaka Khazanah fatwa, 2023).
- Yulianti Fajar Wulandari, dkk, “Komunikasi di Era Digital: Tantangan Memahami Gen Z”, Jurnal Al-Mikraj, Vol. 4, No. 1, Desember 2023.
- Yulianti, “Peran Lingkungan Keluarga dalam Meningkatkan Kesehatan Mental Remaja”, Jurnal Mahasiswa BK an-Nur: Berbeda, Bermakna, Mulia, 10, No. 1, April 2024.
[1] Ihsanuddin, “Kisah Pilu Kisah Pilu di Balik Aksi Remaja Bunuh Balita, Pelaku adalah Korban Pemerkosaan”, dalam www.KOMPAS.ID.com, diakses pada: Rabu, 02 Oktober 2024, pukul 17.05 WIB.
[2] Lucky Setyo Hendrawan, “Pakar Psikologi Unair Surabaya Tanggapi Kasus Pembunuhan oleh Remaja”, dalam www.TIMES.INDONESIA.com, diakses pada: Rabu, 02 Oktober 2024, pukul 17.08 WIB.
[3] Muhammad Farhan, “Kenakalan Remaja Indonesia, Analisis Terkini dan Strategi Penanggulangan”, dalam www.kompasiana.com, diakses pada: Senin, 30 September 2024, pukul 13.43 WIB.
[4] Ibid.
[5] Cahyadi Takariawan, Wonderfull Parent: Menjadi Orang Tua Keren, Cet. 3, (Solo: PT Era Adicitra Intermedia, 2024), hal. 199.
[6] Yulianti, “Peran Lingkungan Keluarga dalam Meningkatkan Kesehatan Mental Remaja”, Jurnal Mahasiswa BK an-Nur: Berbeda, Bermakna, Mulia, Vol. 10, No. 1, April 2024, hal. 149.
[7] Cahyadi Takariawan, Wonderfull Parent…, hal. 200.
[8] Wahab Rajasaman, Enam Bekal bagi Pendidik dan Pengasuh (To be an Inspiring and a Love Figure), Cet. 1, (Bekasi: Pustaka Khazanah fatwa, 2023), hal. 70.
[9] Wahab Rajasaman, Enam Bekal…, hal. 71.
[10] Irawati Istadi, Membimbing Remaja dengan Cinta, (Yogyakarta: Pro-U Media, 2016), hal. 5.
[11] Ricki, Skripsi: Pola Asuh Orang tua terhadap Perilaku Remaja di Desa Kaladi Darussalam Kecamatan Suli Barat Kabupaten Luwu, (Palopo: Program Studi Bimbingan dan Konseling Islam Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah Institute Agama Islam Negeri Palopo, 2023), hal. 20
[12] Angga Setyawan, Anak juga Manusia, Cet. 3, (Bandung: PT Mizan Publika, 2021), hal. 115.
[13] Esli Zuraidah Siregar dan Nurintan Muliani Harahap, “Peran Orang Tua dalam Membina Kepribadian Remaja”, Jurnal Bimbingan Konseling Islam, Vol. 13, No. 1, Juni 2022, hal.68 .
[14] Khairul Annuar dan Nurus Sa’adah, “Pentingnya Komunikasi Keluarga terhadap Perkembangan Remaja dan Faktor yang Menyebabkan Kurang Efektifnya Komunikasi dalam Keluarga”, Jurnal UIQI Bogor, Vol. 3, No. 1, hal. 24.
[15] Cahyadi Takariawan, Wonderfull Parent…, hal. 193-194.
[16] Yulianti Fajar Wulandari, dkk, “Komunikasi di Era Digital: Tantangan Memahami Gen Z”, Jurnal Al-Mikraj, Vol. 4, No. 1, Desember 2023, hal. 622.
[17] R.D. Asti, Parenting 4.0 Mendidik Anak di Era Digital, (Klaten: Caesar Publisher, 2019), hal. 54.
[18] Ibid, hal. 117.
[19] R.D. Asti, Parenting 4.0…, hal. 117.
[20] Cahyadi Takariawan, Wonderfull Parent…, hal. 186.
[21] Novi Andayani Praptiningsih dan Gilang Kumari Putra, “Toxic Relationship dalam Komunikasi Interpersonal di Kalangan Remaja”, Jurnal COMMUNICATION, Vol. 12 No. 2, Oktober 2021, hal.142.
[22] Novi Andayani…, “Toxic Relationship dalam…”, hal. 147-148.
[23] Syamsu Nahar, Komunikasi Edukatif Orang Tua dan Anak dalam Al-Qur’an : Kajian Tafsir Tarbawi. Cet. 1. Indramayu : Penerbit Adab, hal. 20.
[24] Kustiah Sunarti, Pola Asuh Orang Tua dan Kemandirian Anak, (T.Kp: Edukasi Mitra Grafika, T.Tp), hal: 37.
[25] Arri Handayani, Psikologi Parenting, Cet. 1, (Yogyakarta: CV. Bintang Semesta Media, 2021), hal 137.
[26] Hadidtha Rania dan Arie Rihardini Sundari, “Pengaruh Pola Asuh Otoritatif dan Regulasi Emosi terhadap Perilaku Asertif Remaja di SMA PGRI 1 Bekasi”, Jurnal Edukasi dan Multimedia, Vol. 1, No. 2, Juni 2023, hal. 37.
[27] Nasri Hanang dkk, Pengasuhan Disiplin Positif Islami (Perspektif Psikologi Komunikasi Keluarga), Cet. 1. (Sulawesi: Aksara Timur, 2020), hal. 81.
[28] Ibid, hal. 99.
[29] Astrid Savitri, Disiplin Positif Mendidik Anak, Cet. 1, (T.Tp: Penerbit Brilliant, 2021), hal. 172-173
[30] Baharuddin, “Pentingnya Pola Komunikasi Orang Tua Terhadap Perkembangan Pubertas Remaja”, Jurnal Studi Gender dan Anak, Vol. 12, No. 1, Oktober 2019, hal. 20.
[31] Astrid Savitri, Disiplin Positif…, hal. 179.
[32] R.D. Asti, Parenting 4.0…, hal. 64.
[33] Astrid Savitri, Disiplin Positif…, hal. 179.
[34] Nasri Hanang dkk, Pengasuhan Disiplin…, hal. 110.
[35] Fabianus Fensi, “Mendengarkan Sebagai Model Komunikasi Untuk Memahami Remaja”, Jurnal Psikologi Psibernetika, Vol. 9 No. 2, Oktober 2016, hal. 152.