Daftar Isi
Menjadikan Anak Sebagai Penyejuk Hati
Allah Ta’ala berfirman, “Dan ketahuliah bahwa harta-harta dan anak-anakmu hanyalah sebagai fitnah dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang bersar.” (QS Al-Anfal: 28)
Posisi anak yang menjadi fitnah dalam kehidupan orang tua dan lingkungannya layak mendapat perhatian lebih dari orang tua.
Apalagi di tengah gempuran budaya global yang melingkari kehidupannya, hal itu semakin mempertegas urgensi orang tua dalam memelihara fitrah anak serta memberikan pendidikan yang baik.
Anak penyejuk hati adalah seorang anak dengan kepribadian yang kokoh secara spiritual, emosional, intelektual, dan fisikal dalam pengertiannya yang komprehensif.
Sehingga, pendidikan orang tua terhadap mereka hendaknya diarahkan kepada unsur-unsur tersebut.
Pendidikan yang benar dari orang tua terhadap anak akan memberikan implikasi dan refleksi signifikan dalam mencapai sasaran yang dicitakan.
Akibat kesalahan dalam mendidik, anak yang semenjak lahir memiliki fitrah suci dan cenderung kepada hal yang positif dapat terkontaminasi dan rusak sehingga berubah menjadi cenderung kepada hal yang negatif.
Signifikansi dampak tersebut dapat dilihat dari pernyataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah sabdanya, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Hanya saja kedua orang tuanya menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (HR. Bukhari).
Ada banyak cara yang dapat diterapkan orang tua dalam mendidik anak sebagaimana dicontohkan atau dianjurkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Keteladanan
Pendidikan orang tua terhadap anak-anak dengan metode keteladanan memberikan pengaruh besar terhadap kepribadian mereka.
Sebab, anak dapat melihat langsung secara praktis dan menyerap dari apa yang diterimanya secara teoritis.
Metode ini sangat ditekankan dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan peringatan serta mencela orang yang mengabaikannya.
Allah Ta’ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian di sisi Allah jika kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaff : 3-4)
Kebiasaan
“Manusia itu adalah anak dari lingkungan” demikian pepatah mengatakan.
Pendidikan dengan pembiasaan merupakan sarana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam anjurkan untuk mengajak anak menegakkan shalat tatkala ia berumur tujuh tahun.
“Suruhlah anak-anakmu mengerjakan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun dan pukullah mereka (jika enggan) ketika merteka berusia sepuluh tahun” (HR Abu Dawud).
Dorothy Low Nolte, dalam bukunya Children Learn What They Live With mengidentifikasi beberapa cara untuk membangun kebiasaan.
Ia mengatakan, “Jika anak banyak dicela, ia terbiasa menyalahkan. Jika anak banyak dikasihani, ia akan terbiasa meratapi nasib. Jika anak dikelilingi olok-olok, ia akan terbiasa menjadi pemalu.
Jika anak banyak diberikan dorongan, ia akan terbiasa percaya diri. Jika anak banyak dipuji, ia akan terbiasa menghargai. Jika anak ditimang tanpa berat sebelah, ia akan melihat keadilan.”
Nasihat
Nasihat memiliki pengaruh yang cukup besar dalam membuka mata dan membangun anak-anak akan hakekat sesuatu.
Mendorong mereka menuju harkat dan martabat yang luhur, menghiasinya dengan akhlak mulia, dan membekalinya dengan prinsip-prinsip Islam.
Nasihat yang tulus dan benar jika memasuki hati yang bening, hati yang terbuka, dan akal yang jernih maka akan cepat merespon kebaikan dan meninggalkan bekas yang sangat dalam.
Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal yang menggunakan pendengarannya sedangkan ia menyaksikannya.” (QS Qaf: 37)
Perhatian dan Pengawasan
Perhatian dan pengawasan terhadap anak memberikan motivasi yang kuat terhadap anak untuk menunaikan tanggung jawab dan kewajiban.
Perhatian orang tua juga dapat menumbuhkan rasa percaya diri anak yang pada gilirannya nanti akan menjadi lahan subur bagi tumbuhnya kebaikan.
Sebaliknya, perhatian yang kurang terhadap anak seringkali menjadikannya sebagai anak yang keras dan liar sehingga sulit dikendalikan.
Umar bin Abi Salamah bertutur, “Dahulu ketika masih kecil, aku berada dalam asuhan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Pada suatu ketika tanganku bergerak hendak mengambil makanan, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai anak, bacalah basmalah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah apa yang ada di dekatmu.” (HR. Bukhari)
Pujian dan Hukuman
Pujian kepada anak baik itu perkataan, hadiah, atau semisalnya dapat memberikan motivasi untuk senantiasa melakukan hal yang positif bahkan meningkatkannya.
Namun, hukuman juga bisa diberikan manakala anak melakukan perbuatan yang negatif.
Metode ini diterapkan setelah metode yang lainnya sudah diupayakan tetapi kurang menuai hasil.
Tentu saja hukuman yang diberikan tersebut adalah hukuman yang benar-benar bersifat mendidik.
Inilah yang dipahami dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala membolehkan memukul anak yang tidak mau melakukan shalat setelah bersusia sepuluh tahun.
Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud (no. 495) dan Ahmad (6650) dari Amr bin Syu’aib, dari bapaknya dari kakeknya, dia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda
مُرُوا أَوْلادَكُمْ بِالصَّلاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Perintahkan anak-anak kalian untuk melakukan shalat saat usia mereka tujuh tahun, dan pukullah mereka saat usia sepuluh tahun serta pisahkanlah tempat tidur mereka.”
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam kitab Al-Mughni (1/357), “Perintah dan pengajaran ini berlaku bagi anak-anak agar mereka terbiasa melakukan shalat dan tidak meninggalkannya ketika sudah baligh.”
As-Subki berkata, “Wali bagi anak diwajibkan memerintahkan anaknya untuk melakukan shalat saat mereka berusia tujuh tahun dan memukulnya (apabila masih belum melaksanakan shalat) saat mereka berusia sepuluh tahun.
Kami tidak mengingkari wajibnya perintah terhadap perkara yang tidak wajib, atau memukul terhadap perkara yang tidak wajib.
Jika kita boleh memukul binatang untuk mendidiknya, begitupula dengan anak. Hal itu semata-mata untuk kebaikannya dan agar dia terbiasa sebelum masuk usia baligh.” (Fatawa As-Subki, 1/379)
Metode-metode tersebut seyogyanya diaplikasikan dalam situasi dan kondisi yang relevan.
Timing yang kurang tepat dalam penerapannya justru bisa mengakibatkan tidak tercapainya sasaran yang ingin diraih.
Anak Penyejuk Hati
Pendidikan yang diberikan kepada anak dalam berbagai dimensinya adalah dalam rangka membangun sosok anak penyejuk hati dalam bidang spiritual, emosional, intelektual dan fisikal.
Hal tersebut sekaligus merupakan upaya manusiawi yang senantiasa perlu dilakukan secara intens dan berkesinambungan sepanjang masa sejak anak dalam kandungan.
Namun, langkah tersebut memerlukan sentuhan kebaikan dan rahmat Rabbani dengan senantiasa mendekatkan diri kepada Al-Khaliq dan mengharap kepada Dzat yang menggenggam hati manusia.
Dengan demikian harapan yang ingin diraih dapat terealisir dengan penuh keberkahan dan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah maka akan Ia berikan jalan keluar dan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka.” (QS Ath-Thalaq: 2-3).
Ramadhan memang telah berlalu, namun mempertahankan apa yang telah dicapai anak selama bulan Ramadhan menjadi momen penting bagi orang tua, agar anak senantiasa menjadi penyejuk hati. Wallahu a’lam bish shawab.
Author: Ustadzah Siswati Ummu Ahmad
Editor: Azzam Akhukum Fillah