Jika berbicara tentang hadits tentu tak akan lepas dari bagaimana hadits tersebut diriwayatkan.
Sejarah periwayatan hadits sendiri pun, telah menempuh rentang waktu yang cukup panjang.
Sehingga pada gilirannya akan mempengaruhi cara dalam meriwayatkan hadits.
Apakah secara lafadz, yaitu hadits diriwayatkan oleh perawinya sesuai dengan redaksi yang diterimanya dari penyampai hadits tersebut sama persis.
Ataupun secara makna, yaitu periwayatan hadits dengan redaksi berbeda dengan redaksi hadits yang diterima oleh perawi namun dengan substansi yang masih sama.
Dengan demikian, periwayatan hadits menjadi problema dan menyebabkan perbedaan pandangan dari kalangan ulama hadits.
Dimana sebagian ulama berpendapat bahwa mayoritas sahabat sangat mengutamakan periwayatan dengan jalan lafadz, karena cara ini menjamin keautentikan matan hadits.
Di lain sisi ada beberapa ulama yang membolehkan periwayatan hadits dengan maknanya saja tanpa harus dengan redaksi yang sama asalkan melakukannya dengan hati-hati dan tidak merusak dari substansi matannya.
Oleh sebab itu menarik ketika kita mencermatinya secara lebih mendalam, dan berikutnya kita akan mengkaji mengenai hukum periwayatan hadits secara makna.
Karena perbedaan lebih banyak terjadi dalam masalah ini ketimbang pada periwayatan hadits secara lafadz yang ulama telah menyepakati kebolehannya.
A. Pengertian Riwayat bil-ma’na
Riwayat bil-ma’na yaitu meriwayatkan hadits dengan lafadz yang disusun oleh perawi sendiri, sesuai dengan makna yang dikandung dalam ucapan, perbuatan, taqrir (penetapan), ataupun sifat Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam.
Atau bisa dibilang sebuah proses periwayatan dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan apa yang didengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, namun memiliki substansi makna yang tetap sesuai dengan maksud yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam.
B. Kontroversi Pendapat Para Ulama
Para ulama berselisih pendapat tentang kebolehan meriwayatkan hadits secara makna.
Sebagian ahli hadits, ahli ushul, dan ahli fikih mengharuskan para perawi meriwayatkan hadits dengan lafadznya yang didengar, tidak boleh ia meriwayatkan hadits dengan maknanya.
Demikian juga yang dinukilkan oleh Ibnu Shalah dan An-Nawawi, Ibnu Sirin, Tsailab, dan Abu Bakar Ar-Razi, mereka berpendapat bahwa perawi harus meriwayatkan hadis sama persis seperti yang didengar.
Abu Bakar ibnu Al-Arabi berpendapat bahwa selain sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam tidak diperkenankan meriwayatkan hadits secara makna.
Lebih jauh ia mengemukakan alasan yang mendukung pendapatnya tersebut.
Pertama, sahabat memiliki pengetahuan bahasa Arab yang tinggi, dan kedua, sahabat menyaksikan langsung keadaan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam.[1]
Alasan mereka yang tidak membolehkan adalah :
- Perkataan Nabi Saw mengandung fashahah dan balaghah yang tinggi, dan haditsnya merupakan ajaran yang bersumber dari wahyu Allah Ta’ala.
- Nabi pernah mengkritik sahabat yang mengganti lafadz hadits.
Pendapat mereka ini diperkuat dengan mengajukan beberapa faktor sebagai berikut :
- Daya hafalan yang sangat kuat
- Pencatatan hadits oleh sebagian sahabat yang sangat membantu periwayatan secara lafadz.
- Adanya majelis yang sering digunakan untuk menerima dan meriwayatkan hadits sangat membantu mereka untuk memperbaiki jika terjadi kesalahan.[2]
Sedangkan pendapat yang membolehkan riwayat bil-ma’na dipegang oleh hampir semua ulama ahli hadits, mereka beralasan bahwa hadits itu tidak hanya berupa ucapan, tetapi terkadang berupa tingkah laku nabi.
Dimana dalam mendeskripsikan tingkah laku nabi yang disaksikan oleh sahabat, boleh jadi akan muncul redaksi yang berbeda kendati memiliki maksud yang sama.
Bahkan, karena kemampuan daya tangkap masing-masing sahabat berbeda, maka boleh jadi kesimpulannya berbeda.
Seperti yang diungkapkan oleh Abdullah bin Sulaiman al-Laits secara marfu’ ia berkata,
قلت يا رسول الله إني اسمع منك الحديث لا استطيع أن اؤديه كما اسمع منك يزيد حرفا أو ينقص حرفا, فقال إذا لم تحلوا حراما ولم تحرموا حلالا و اصبتم المعنى فلا بأس (رواه البيهقي)
Aku berkata: Wahai Rasulullah sesungguhnya saya telah mendengar dari anda suatu hadits, tetapi saya tidak mampu untuk menyampaikannya sebagaimana yang saya dengar dari Anda, (mungkin) bertambah satu huruf atau berkurang satu huruf.
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Asal kalian tidak menghalalkan yang haram dan tidak mengharamkan yang halal maka tidak mengapa.”
Secara lebih terperinci dapat dikatakan bahwa meriwayatkan hadits dengan maknanya itu sebagai berikut :
- Tidak diperbolehkan, pendapat segolongan ahli hadits, ahli fikih, dan ushuliyyin.
- Diperbolehkan, baik hadits itu marfu’ atau bukan, asal diyakini bahwa hadits itu tidak menyalahi lafadz yang didengar, dalam arti pengertian maksud hadits itu dapat mencakup dan tidak menyalahi.
- Diperbolehkan, bagi perawi yang lupa lafadz aslinya.
- Jika tidak mengenai masalah ibadah, atau yang diibadahi, seperti hadits mengenai ilmu dan sebagainya, maka diperbolehkan dengan catatan :
- Hanya pada periode sahabat
- Bukan hadits yang telah dibukukan
- Tidak pada lafadz yang merupakan sebuah doa
C. Persyaratan Bolehnya Meriwayatkan Hadits Secara Makna
Para ulama memberikan persyaratan untuk selain sahabat dalam meriwayatkan hadits secara makna, dan beberapa ketentuan tersebut adalah sebagai berikut :
- Memiliki pengetahuan bahasa Arab yang mendalam. Sehingga periwayatan matan hadits akan terhindar dari kekeliruan.
- Periwayatan hadits dilakukan dalam keadaan sangat terpaksa.
- Yang diriwayatkan secara makna bukan merupakan bentuk bacaan yang sifatnya ta’abuddi (berkaitan dengan ibadah), seperti zikir, doa, azan, takbir, dan syahadat, serta bukan yang berbentuk jawami’ul kalim.
- Periwayatan hadits secara makna agar menambah kata كما قال atau نحو هذا atau yang semakna dengannya setelah menyatakan matan hadits yang bersangkutan.
- Kebolehan periwayatan hadits secara makna hanya terbatas pada masa sebelum dibukukannya hadits-hadits Nabi secara resmi.
Sesudah masa pembukuannya, maka periwayatan hadits harus secara lafadz.[3]
Adapun kenapa periwayatan secara makna itu bisa terjadi adalah karena beberapa faktor berikut :
- Adanya hadits yang tidak mungkin diriwayatkan secara lafadz karena tidak adanya redaksi langsung dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam.
Seperti hadits fi’liyah (perbuatan), taqririyah (penetapan), mauquf (riwayatnya hanya sampai Sahabat), maupun maqthu’ (riwayatnya hanya sampai Tabiin).
Periwayatan hadits tersebut adalah secara makna dengan menggunakan redaksi perawi. - Adanya larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam untuk menuliskan selain Al-Qur’an yang membuat sahabat harus menghilangkan tulisan-tulisan hadits.
- Sifat dasar manusia yang pelupa dan senang kepada kemudahan menyampaikan sesuatu yang dipahami lebih mudah dari pada mengingat susunan kata-katanya.
Wallahu a’lam
[1] Mudasir, Ilmu Hadist. Pustaka Setia, Jakarta, 1999. h. 99.
[2] Abdul Aziz Ahmad Jasim, Hukmu Riwayat Hadits Nabawi bil Ma’na, (Kuwait : Jami’ah Kuwait), h. 533 terj. Kholis Marzuki, Hukum Meriwayatkan Hadits dengan Makna. (Jakarta : Bulan Bintang) h. 35
[3] M.Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadits (Jakarta : Bulan Bintang, 1988) h. 70.