Aqidah dengan enam rukun iman pokoknya semuanya adalah perkara yang ghaib. Para pendidik dan orang tua banyak yang kebingungan bagaimana mengajarkan semua itu kepada anak-anak. Namun bila kita menelaah bagaimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berinteraksi dengan anak-anak akan dapat kita simpulkan bahwa Rasulullah menempuh beberapa hal berikut untuk menanamkan aqidah:
- Pendiktean kalimat tauhid kepada anak.
- Menanamkan kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Al-Qur’an, selalu meminta tolong kepada Allah serta menanamkan keyakinan yang kuat kepada Qadha’ dan Qadar.
- Menanamkan kecintaan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan keluarga besar beliau
- Mengajarkan Al-Qur’an kepada anak .
- Menanamkan aqidah yang kuat dan kerelaan untuk berkorban membelanya
Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin (1/94) mengatakan: “Ketahuilah bahwa apa yang saya sampaikan terkait dengan aqidah agar betul-betul ditanamkan semenjak awal agar dia betul-betul bisa menghafalkannya, hingga makna-makna itu betul-betul bisa muncul ketika ia telah dewasa sedikit demi sedikit. Langkah pertama adalah dengan memberikan hafalan, kemudian pemahaman, kemudian keyakinan (I’tiqad). Hal ini dapat terjadi pada anak tanpa harus diberikan bukti yang nyata kepadanya. Merupakan karunia Allah pada hati manusia, bahwa Dia melapangkan hati manusia untuk menerimanya sejak awal pertumbuhannya tanpa perlu argumen atau bukti yang nyata”
Selanjutnya Al-Ghazali rahimahullah menuturkan bagaimana cara kita menanamkan aqidah ini: “Cara menanamkan keyakinan ini bukanlah dengan menanamkan kemampuan berdebat dan berargumentasi, tetapi caranya adalah dengan menyibukkan diri degan membaca Al-Qur’an dan tafsirnya, membaca hadits dan dan makna-maknanya serta menyibukkan diri dengan tugas-tugas ibadah. Dengan demikian keyakinan anak terus bertambah sejalan dengan seringnya mendegar dalil-dalil Al-Qur’an dan juga dengan seringnya menelaah berbagai bukti dari hadits-hadits yang dia telaah. Ini ditambah dengan cahaya-cahaya amalan ibadah yang ia kerjakan”
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata dalam kitab Ahkamul Maudud: “Di awal waktu saat anak-anak sudah mulai bisa berbicara hendaklah didiktekan kalimat laa ilaha llallah Muhammad Rasulullah. Hendaknya yang pertama kali ia dengar adalah Laa ila ha illallah”.
Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma , bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
اِفْتَحُوا عَلَى صِبْيَانِكُم أَوَّلَ كَلِمَةٍ بِلَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَلَقِّنُوهُمْ عِنْدَ اْلمَوتِ لَا إِلهَ إِلَّا الله
“Awalillah dalam mengajari anak-anak kalian dengan kalimat Laa ilaha illlallah dan talqinlah orang yang akan meninggal dengan kalimat laa ilaha illallah” (Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari jalur Al-Hakim 6/397)
Menarik sekali bahwa ternyata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sangat mementingkan anak-anak dalam dakwahnya. Tercatat dalam sejarah bagaimana seorang Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhutelah masuk Islam semenjak usia yang masih sangat dini, sepuluh tahun. Bukan itu saja Rasulullah juga sangat berkeinginan anak-anak orang kafir, Yahudi maupun Nashrani bisa masuk Islam. Imam Abdurrazzaq menyebutkan dalam Mushannaf-nya (6/34) riwayat tentang seorang anak Yahudi yang baik akhlaknya. Saat sang anak sakit Rasulullah dan para shahabat menjenguknya. Lalu beliau menawarkan agar ia mau masuk Islam dan bersyahadat. Si anak menoleh ke bapaknya. Sang bapak yang Yahudi pun berkata: “Ikutilah kata-kata Abul Qasim (Nabi Muhammad)”. Iapun mengucapkan syahadat dan meninggal sebagai Muslim.
Semua itu disebabkan aqidah memang merupakn fitrah (sifat bawaan), yang telah Allah tanamkan dalam diri manuisa. Berkaitan dengan fitrah ini Syaikh Hisyam bin bin Abdul Qadir Alu ‘Uqdah dalam ringkasan beliau terhadap kitab Ma’arijul Qabul (hal 12) menyatakan bahwa ada tiga mitsaq (perjanjian) yang telah Allah buat untuk para hambanya:
- Perjanjian pertama, yaitu perjanjian yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ambil dari anak Adam saat Allah mengeluarkan mereka dari punggung Nabi adam ‘alaihis salam kemudian dari punggung sebagian mereka. Ini disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آَدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (QS Al-A’raf: 172)
Kalimat “kami bersaksi” dalam ayat tersebut memiliki dua tafsir, pertama anak keturunan Adam ‘alaihis salam bersaksi untuk diri mereka sendiri akan rububiyah Allah. Kedua, Allah menjadi saksi akan kessaksian mereka ini. Lebih jelas lagi ayat di atas diterangkan dalam banyak hadits, di antaranya dari Ibnu Abbas dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwa belliau bersabda:
إِنَّ اللهَ أَخَذَ المِيثَاقَ مِنْ ظَهْرِ آدَمَ بِنَعْمَانَ يَوْمَ عَرَفَةَ وَأَخْرَجَ مِنْ صُلْبِهِ كُلَّ ذُرَّيَّةٍ ذَرَأَهَا فَنَثَرَهُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ كَالذَرِّ، ثُّمَ كَّلمَهُمْ قِبَلًا قَالَ: {أ َلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى “
“Sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari punggung Adam di Na’man (suatu lembah dekat Arafah) pada hari Arafah. Allah mengeluarkan dari punggung Adam semua keturunannya yang telah Dia ciptakan. Mereka berhamburan dihadapan Allah bagaikan debu-debu . Kemudia Dia berbicara dengan mereka secara langsung, Allah berfirman: “ Bukankah Aku Rabb kalian? “ (HR Ahmad dan Nasai. Hadits ini menurut As-Suyuthy shahih)
- Perjanjian yang ke dua adalah fitrah, yang telah Allah sematkan sejak anak Adam itu lahir. Yaitu bahwa mereka bersaksi dan mengakui perjanjian yang telah mereka buat dengan Allah pada perjanjian yang pertama. Berkaitan dengan ini Allah berfirman:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS Ar-Rum: 30)
Hanya karena godaan setan lah manusia kemudian berpaling dari fithrah ini. Allah berfirman dalam sebuah hadits qudsi:
وَإِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمْ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ وَحَرَّمَتْ عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ
“Sesungguhnya Aku ciptakan para hambaku dalam keadaan lurus (fitrahnya). Kemudian datanglah para setan dan memalingkan mereka dari Din mereka (Tauhid), maka diharamkan bagi mereka apa yang sebelumnya telah ku halalkan bagi mereka.” (HR. Muslim)
- Mitsaq (perjanjian ) yang ke tiga adalah diutusnya para Rasul dan diturunkannya kitab-kitab. Diutusnya para Rasul dan diturunannya kitab tidak lain kecuali untuk mengingatkan manusia akan kedua perjanjian sebelumnya, sebab manusia sudah lupa. Allah berfirman :
رُسُلا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا
“(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana “(QS An-Nisa: 165).
Akhirya semuanya terpulang kepada kita sebagai orang tua. Sudahkan perhatian kita tercurah seutuhnya dalam hal ini? Wallahu a’lam.
Oleh : Oleh: Syahidan Sulthoni, S.Psi.