Daftar Isi
Nikmatnya Ramadhan Hanya Bagi Mereka yang Mempersiapkan
Penulis: Qolam El-Fikr
Bagaimanakah perasaan kita jika ada seorang tamu yang kita cintai dan rindukan memberitahu, bahwa ia akan datang dan tinggal bersama kita selama beberapa hari, apa yang akan kita lakukan?
Tidak diragukan lagi, kita akan senang dan berbahagia, kemudian kita akan bersiap-siap menyambut kunjungan itu dan sedapat mungkin anda akan merapikan diri, membersihkan rumah dan menyiapkan acara-acara yang menarik dalam rangka kunjungan itu.
Bukankah demikian?
Jawabannya adalah, “Tentu!”
Wahai saudaraku, bagaimana jika tamu itu bukan saja kita cintai, akan tetapi juga dicintai Allah, Rasul-Nya dan seluruh kaum muslimin?
Bagaimana jika tamu ini selama tinggal bersama kita antara siang dan malam-nya membawa kebaikan dan keberkahan?
Tamu yang dimaksud itu tidak lain adalah Ramadhan, bulan yang mulia, bulan Al-Qur’an, bulan shiyam, bulan bertahajjud dan qiyamullail, bulan kesabaran dan takwa.
Bulan kasih sayang, ampunan dan terbebasnya hamba dari api neraka, bulan yang terdapat di dalamnya suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan, bulan di mana syetan dibelenggu, pintu neraka ditutup dan pintu surga dibuka.
Maka seyogyanya setiap yang mengetahui sifat-sifat tamu ini untuk menyambutnya sebaik mungkin, mempersiapkan berbagai amal kebajikan agar memperoleh keberuntungan yang besar dan tidak berpisah dengan bulan itu, kecuali ia telah menyucikan ruh dan jiwanya.
Allah ﷻ berfirman
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا
“Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu.” (QS. Asy-Syams: 9)
Tidak heran bila kaum salaf terdahulu memahami betapa tinggi nilai tamu tersebut sehingga mereka senantiasa berdoa kepada Allah agar dipertemukan kembali dengan Ramadhan sejak enam bulan sebelumnya.
Apabila mereka mengakhirinya, mereka menangis dan berdoa kepada Allah ﷻ agar amal mereka pada bulan-bulan yang lain diterima, demikian seperti dinukil Ibnu Rajab rahimahullah.
Fenomena Masyarakat Menyambut Ramadhan
Bila melihat dari sudut keanekaragaman cara di kalangan umat Islam dalam menyambut bulan Ramadhan, akan kita dapati bahwa rata-rata tidak sesuai dengan tuntunan syari’at Islam, bahkan cenderung bernilai sia-sia dan tidak bermanfaat.
Misalnya, di antara mereka ada yang merayakannya dengan pesta, pawai-pawai, lagu-lagu atau nyanyian bermusik.
Di antara mereka ada yang menyambutnya dengan pertemuan-pertemuan bersama para musisi dan artis kemudian menayangkan apa yang mereka lakukan dalam menyambut bulan kebaikan dan berkah ini.
Di antara mereka ada yang menyambutnya dengan mempersiapkan berbagai acara lomba Ramadhan atau acara-acara lainnya yang mengesampingkan amal-amal ketaatan.
Padahal seharusnya tidaklah demikian, tidaklah menyambut Ramadhan itu dengan perbuatan maksiat, haram dan mendurhakai Penguasa semesta alam; benarlah sabda Rasulullah ﷺ
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ
“Berapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan bagian apa-apa dari puasanya, kecuali lapar dan dahaga.” (HR. Ahmad dan terdapat dalam Shahih Al-Jami’ No. 3490).
Ada juga di antara mereka yang menyambutnya dengan pergi ke pasar dan berdesak-desakan di dalamnya, mereka membeli berbagai jenis makanan dan minuman.
Seolah-olah Ramadhan itu bulan makanan dan minuman sebagai bentuk pelampiasan setelah seharian menahan lapar dan minum, bulan tidur di siang hari dan begadang dengan berbagai maksiat pada malam hari.
Padahal seharusnya Ramadhan disambut dengan taubat, beramal shalih dan bersyukur kepada Allah ﷻ dengan hati, lisan dan amal perbuatan.
Dari sekian banyak corak dan cara baru yang dilakukan umat Islam dalam menyambut bulan Ramadhan, perlu diwaspadai agar tidak ikut arus global yang tidak jelas asal-usulnya.
Karena Allah ﷻ telah mewanti-wanti perbuatan tersebut dalam firman-Nya
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan manusia di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” (QS. Al-An’am: 116)
Maka setelah mengetahui betapa ironisnya fenomena di atas, seharusnya kita yang serius mengharap pahala dan ampunan dari Allah ﷻ hendaknya mempersiapkan diri dengan baik agar tidak melewatkan bulan Ramadhan dengan hal-hal yang tidak bermanfaat atau justru mengundang murka Allah ﷻ, wal ‘iyadzu billah.
Dalam hal ini, kaum salaf generasi terbaik umat ini telah memberikan contoh dan berlomba-lomba menyiapkan diri dalam menyambut tamu agung bulan Ramadhan.
Saking seriusnya, ada di antara mereka yang sudah mempersiapkannya sejak bulan Sya’ban, bahkan beberapa bulan sebelumnya. Di antara persiapan tersebut adalah
Serius Bertaubat
Taubat adalah kewajiban yang harus ditunaikan setiap waktunya, mengingat bahwa akan tibanya bulan agung yang membawa keberkahan ini maka hal yang paling pantas bagi seorang hamba adalah segera bertaubat dari segala dosa yang telah ia perbuat terhadap Allah ﷻ, dan dosa yang disebabkan menzhalimi hak-hak sesama manusia.
Sehingga ketika memasuki bulan Ramadhan yang berkah, hamba tersebut tersibukkan dengan amalan ketaatan dan ibadah yang ditunaikan dengan lapang dadan dan hati yang tenang.
Karena Allah ﷻ telah memerintahkan kita dalam firman-Nya
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nur : 31)
Perintah untuk bersegera taubat juga dipertegas dalam hadits Nabi ﷺ yang diriwayatkan oleh sahabat Al-Aghar bin Yassar radhiyallahu ‘anhu berikut
يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ فَإِنِّي أَتُوبُ فِي الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ
“Wahai manusia sekalian, bertaubatlah kalian kepada Allah, karena saya sendiri bertaubat kepada-Nya seratus kali dalam sehari.” (HR. Muslim, no 2702)
Memperbanyak Doa
Telah ada riwayat dari sebagian salaf bahwa generasi salaf terdahulu berdoa kepada Allah ﷻ agar disampaikan kepada bulan Ramadhan sejak enam bulan sebelum kedatangannya, dan itu berlanjut lima bulan setelahnya, hingga akhirnya mereka bisa bertemu dan menyambut bulan suci Ramadhan.
Oleh karena itu seorang muslim dianjurkan untuk berdoa kepada Allah ﷻ agar disampaikan kepada bulan Ramadhan dalam keadaan yang baik agama dan jasmaninya.
Serta memohon kepada-Nya agar diberi pertolongan agar dimantapkan dalam ketaatan dan kepada-Nya dan diterima amalannya.
Menampakkan Rasa Gembira
Sampainya kita pada bulan suci Ramadhan merupakan nikmat terbesar yang Allah ﷻ Karuniakan kepada hamba-Nya yang muslim. Pasalnya bulan suci Ramadhan termasuk musim untuk berbuat kebajikan.
Pada bulan tersebut pintu-pintu surga dibuka lebar-lebar sedangkan pintu-pintu neraka ditutup rapat-rapat, dan merupakan bentuk perlawanan terhadap hawa nafsu dalam ajaran Islam.
Ungkapan rasa gemberi menyambut karunia nikmat tersebesar tersebut telah Allah ﷻ perintahkan dalam firman-Nya
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
“Katakanlah, ‘Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan’.” (QS. Yunus : 58)
Melunasi Tanggungan Puasa Wajib
Berkenaan dengan masalah ini, ada suatu riwayat sahabat Abu Salamah yang meriwayatkan bahwa dia pernah mendengar istri Rasulullah, Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah mengatakan,
“Dahulu saya mempunyai tanggungan hutang puasa Ramadhan, dan saya tidak mampu meng-qadha’ nya kecuali di bulan Sya’ban. (HR. Al-Bukhari, no. 1849, dan Muslim no. 1146)
Salah seorang ulama bernama Al-Hafizh Ibnu Hajar memberikan penjelasan lebih lanjut terkait hal ini.
Beliau menjelaskan bahwa pelaksanaan qadha’ (baca: pembayaran hutang) puasa wajib sangat ditekankan di bulan Sya’ban.
Karena menunda qadha’ puasa tidak diperbolehkan apalagi sampai masuk pada bulan Ramadhan berikutnya. (Fath al-Bari, 4/191)
Berbekal Ilmu
Bekal utama yang tidak kalah pentingnya dalam menyambut bulan suci Ramadhan adalah persiapan ilmu, terlebih jika ilmu tersebut ada kaitannya dengan berbagai permasalahan seputar fikih Ramadhan dan semisalnya.
Karena seseorang yang menunaikan ibadah tanpa didasari dengan ilmu, ia hanya akan bernilai sia-sia dan melenceng dari tuntunan jalan yang benar sesuai Al-Qur’an dan Sunnah.
Peranan ilmu dalam masalah ini menuntun seorang muslim pada jalan yang benar dalam beribadah, mengankat derajat dan menambah rasa khasyah (takut) serta takwa kepada Allah ﷻ.
Pasalnya dengan amalan yang sesuai tuntutan syar’i adalah jalan selamat dalam beragama dan diterimanya amal shalih di sisi-Nya. Kesimpulan inilah yang diambil dari firman Allah ﷻ
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
“Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Maidah : 27)
Imam Ibnul Qayyim lebih menjelaskan lagi kedudukan ilmu di antara hukum-hukum syar’i lainnya dalam perkataannya, “Orang yang beramal tanpa ilmu bagai orang yang berjalan tanpa ada penuntun.
Sudah dimaklumi bahwa orang yang berjalan tanpa penuntun tadi akan mendapatkan kesulitan dan sulit bisa selamat.
Taruhlah ia bisa selamat, namun itu jarang. Menurut orang yang berakal, ia tetap saja tidak dipuji bahkan dapat celaan.” (Miftah Dar As-Sa’adah, 1/304)
Sebagai orang berilmu pasti tidak akan menyia-nyiakan kesempatan meraih pahala dan keutamaan bulan suci Ramadhan.
Justru dengan ilmu-lah yang kan membentengi dirinya mana hal-hal yang harus dikerjakan dan mana hal-hal yang seharusnya ditinggalkan selama bulan Ramadhan.
Memanfaatkan Waktu
Aktivitas harian seringkali menjadi penghambat keberlangsungan dan nikmatnya ibadah. Terlebih jika aktivitas tersebut begitu padat sehingga terlalu tersibukkan dan membikin lalai dari tujuan utama memaksimalkan momen Ramadhan.
Seperti sibuk berjualan di pasar mengingat bahwa banyak sekali kebutuhan di bulan Ramadhan terlebih bila sudah menjelang akhir-akhir bulan, sibuk kerja di kantor, bertani, berternak dan lain sebagainya.
Maka agar momen spesial ini tidak jadi sia-sia pastinya seorang muslim harus mengambil langkah untuk mengatur waktu dan jadwal guna mensiasati agar tidak terlalu fokus pada kesibukan duniawi.
Di antara tips mensiasati waktu yang ada, adalah dengan bersegera mengerjakan apa yang menjadi tugas dan kewajiban seorang muslim tanpa harus menunda-nunda pekerjaan.
Sebab, pekerjaan banyak dan memberatkan bermula dari sifat menunda-nunda pekerjaan dan hanya bersantai-santai. Padahal sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah berwasiat
إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ
“Jika kamu berada di sore hari jangan tunggu pagi hari, dan jika kamu berada di pagi hari jangan tunggu sore hari, gunakanlah kesehatanmu untuk (persiapan saat) sakitmu dan kehidupanmu untuk kematianmu.” (HR. Bukhari)
Ketika seorang muslim tidak bisa maksimal dalam beribadah dan beramal shalih di bulan Ramadhan, bisa terindikasi penyebabnya adalah karena porsi waktu, tenaga dan pikiran habis terporsir pada hal-hal yang mungkin sama sekali tidak banyak memberikan manfaat.
Padahal masih subtansi ibadah di bulan Ramadhan tidak sekedar menahan haus dan dahaga, akan tetapi masih banyak sekali amalan-amalan yang layak dikerjakan di bulan itu.
Islam meberikan solusi bahwa sesuatu yang tidak memberikan manfaat maka harus ditinggalkan.
Sama halnya ketika kebiasaan harian hanya sekedar canda gurau, banyak tidur dan nongkrong di pinggir jalan yang tidak ada hajat sama sekali, maka semua itu harus ditinggalkan selama bulan Ramadhan.
Selain itu, memanfaatkan waktu istirahat siang hari dengan tidur secukupnya juga bagian dari menghemat energi agar malamnya bisa terhidupkan dengan suasana maksimal beribadah dan dalam kondisi prima.
Inilah sunnah Rasulullah ﷺ dan para sahabat yang beliau perintahkan dalam sabdanya
قِيْلُوا فَإِنَّ الشَّيَاطِيْنَ لاَ تَقِيْلُ
“Qailulah-lah (istirahat sianglah) kalian, sesungguhnya setan-setan itu tidak pernah istirahat siang.” (HR. Abu Nu’aim dalam Ath-Thib, dikatakan oleh Imam Al-Albani dalam Ash-Shahiha no. 1637: isnadnya shahih)
Memperbanyak Puasa Sunah
Di antara tips agar menghadapi Ramadhan tidak dirasa kaget dan kurang siap adalah dengan membiasakan diri berpuasa sunnah di bulan Sya’ban.
Karena dengan membiasakan puasa sunah sebelum Ramadhan akan mengubah mindset bahwa puasa itu menjadikan badan lemas dan loyo kepada mindset bahwa hal itu sudah terbiasa dan tidak menjadi beban sama sekali, bahkan dengan demikian menunjukkan kesiapan diri menghadapi puasa Ramadhan.
Rasulullah ﷺ sendiri telah memberikan contoh bagi umatnya agar memperbanyak puasa sunnah di bulan Sya’ban sebagaimana yang disebutkan dalam hadits riwayat Aisyah radhiyallahu ‘anha :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لا يَصُومُ ، فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلا رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ
“Adalah Rasulullah ﷺ pernah melaksanakan puasa sampai kami berpendapat bahwa beliau tidak berbuka (tetap dalam keadaan puasa), namun ketika dalam kondisi tidak berpuasa sampai-sampai kami berpendapat bahwa beliau tidak berpuasa.
Maka tidaklah saya melihat Rasulullah ﷺ sempurna puasanya kecuali di bulan Ramadhan, dan saya tidak melihat adanya puasa sunnah yang sering beliau kerjakan daripada di bulan Sya’ban.” (HR. Al-Bukhari no. 1868 dan Muslim no. 1156)
Tilawah Al-Qur’an
Sudah menjadi kebiasaan rutin tahunan bahwa tilawah Al-Qur’an di bulan Ramadhan adalah momen kaum muslimin berlomba-lomba mengkhatamkannya.
Bahkan semangat ini tidak hanya bagi kalangan tertentu, bahkan anak-anak kecil, tua maupun muda, sejak zaman salaf maupun khalaf (baca: zaman sekarang) tetap menjadi tradisi.
Tidak heran jika kaum salaf terdahulu lebih banyak mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan dibandingkan dengan hari-hari biasanya.
Semangat yang terus-menerus terwarisi dari generasi ke genarasi ini harus tetap dipupuk agar tetap bisa berlanjut di bulan Ramadhan maupun ketika di luar bulan Ramadhan.
Atas dasar petunjuk Rasulullah ﷺ yang telah memberikan teladan bagi umatnya sebagaimana dalam sebuah hadits
كَانَ يَعْرِضُ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – الْقُرْآنَ كُلَّ عَامٍ مَرَّةً ، فَعَرَضَ عَلَيْهِ مَرَّتَيْنِ فِى الْعَامِ الَّذِى قُبِضَ ، وَكَانَ يَعْتَكِفُ كُلَّ عَامٍ عَشْرًا فَاعْتَكَفَ عِشْرِينَ فِى الْعَامِ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ
“Jibril itu (saling) belajar Al-Qur’an dengan Nabi ﷺ setiap tahun sekali (khatam di bulan Ramadhan). Ketika di tahun beliau akan meninggal dunia dua kali khatam.
Nabi ﷺ biasa pula beri’tikaf setiap tahunnya selama sepuluh hari. Namun di tahun saat beliau akan meninggal dunia, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari.” (HR. Bukhari no. 4998)
Dalam kitab suatu riwayat Ibnul Atsir disebutkan bahwa Jibril saling mengajarkan seluruh Al-Qur’an yang telah diturunkan kepada Nabi ﷺ. (Al-Jami’ fi Gharib Al-Hadits, 4/64)
Maka dari berdasarkan riwayat tersebut, para ulama begitu semangat mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan karena mencontoh Nabi ﷺ.
Di antara mereka ada yang mengkhatamkan Al-Qur’an hanya dalam dua malam, tiga hari, bahkan ketika menjelang akhir bulan Ramadhan mereka lebih serius mengkhatamkannya lebih banyak.
Maka barangsiapa yang menghidupkan sunnah mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan lebih banyak, maka berarti ia telah memakmurkan bulan yang berkah ini dengan mendekatkan diri kepada Allah melalui firman-Nya, dan sekaligus telah membuktikan kecintaanya kepada Al-Qur’an.
Semoga dengan disajikannya beberapa tips menyambut dan memakmurkan bulan Ramadhan di atas menjadi salah satu andil dalam memperjuangkan nilai-nilai keislaman di hari yang mulia, di momen semua kaum muslimin berbahagia dan berlomba-lomba dalam kebaikan.