Daftar Isi
Anak dan Ibadah
Sebagai bentuk penyempurna pembinaan akidah, pembinaan ibadah tidak boleh dilupakan. Bahkan harus menjadi satu kesatuan yang integral.
Manakala anak menyambut seruan Rabb-nya dengan melaksanakan berbagai perintah dan ketaatan, berarti dia sedang memenuhi tuntutan fitrahnya yaitu mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam hal ini, Dr. Sa’id Ramadhan Al-Buthy rahimahullah mengatakan dalam bukunya Tajribatut Tarbiyah Al-Islamiyyah, “Agar akidah anak tertanam dalam jiwanya, maka harus disiram dengan berbagai macam aktivitas ibadah dengan berbagai macam bentuknya.
Dengan itulah maka akidahnya akan kuat dan anak mampu menghadang terpaan berbagai badai kehidupan.” (Tajribatut Tarbiyah Al-Islamiyah, hal. 40)
Masa kanak-kanak bukanlah masa pembebanan atau kewajiban. Masa kanak-kanak merupakan masa persiapan dan latihan untuk menyambut masa pembebanan kewajiban (taklif) bila masa balig telah tiba.
Dengan demikian pada saatnya nanti ibadah akan terasa ringan dan telah menjadi karakter anak.
Ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan pengaruh yang kuat dalam jiwa anak. Ibadah akan membuat sang anak merasa selalu terhubung dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ibadah kepada Allah juga akan meredam gejolak nafsu yang sering kali meletup di kalangan anak dan remaja. Lebih-lebih di era kebebasan informasi seperti hari ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan kabar gembira kepada seorang anak yang tumbuh dalam suasana beribadah kepada Allah sSubhanahu wa Ta’ala.
Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
.سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ
“Ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan dari Allah, pada hari yang tidak ada naungan (hari kiamat) kecuali naungan dari Allah, pemimpin yang adil dan seorang pemuda yang tumbuh dalam suasana ibadah kepada Allah.” (HR. Al-Bukhari)
Begitu istimewanya seorang anak, hingga Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Amalan seorang anak kecil tetap akan dicatat, sedang amal buruknya tak dicatat.” (Ibnu Fathun Al-Maliki, Fathul ‘Ali Al-Malik fi Fatawa Madzhabil Maliki, 1/80)
Tak Hanya Shalat Fardhu
Semenjak dini orang tua harus membiasakan anak untuk shalat dengan mengajaknya shalat bila mereka sudah mencapai usia tujuh tahun.
Dalam riwayat yang lain disebutkan bila anak telah mengenal tangan kanannya.
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Sirbah bin Ma’bad Al-Juhany radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
.عَلِّمُوا الصبيَّ الصلاةَ ابنَ سبع، واضربوه عليها ابن عَشْر
“Ajarilah anakmu shalat pada saat memasuki usia tujuh tahun, pukullah ia pada usia sepuluh tahun bila ia mengabaikannya.” (HR Tirmidzi, dengan sanad shahih)
Bukan hanya shalat wajib semata, akan tetapi juga shalat-shalat yang lain.
Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa ia pernah berkata, “Aku pernah bermalam di rumah bibiku Maimunah binti Harits radhiyallahu ‘anha (salah satu istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Saat itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang bermalam di rumah beliau radhiyallahu ‘anha. Nabi menunaikan shalat Isya’ lalu pulang dan melaksanakan shalat rawatib lalu tidur, kemudian bangun kembali.
Beliau bersabda, “Anak kecil itu sudah tidur?” Atau kata-kata yang serupa. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan mendirikan shalat. Aku pun turut bangkit dan berdiri di sebelah kiri beliau.
Namun kemudian beliau memindahkanku ke sebelah kanan. Setelah itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendirikan shalat lima rakaat, kemudian dua rakaat, lalu beliau tidur hingga aku mendengar suara dengkuran beliau.
Ada satu kisah yang cukup mengagumkan tentang percakapan seorang Abu Thaifir bin Isa Al-Bustami dengan anaknya.
Ibnu Zufar Al-Maliki rahimahullah dalam kitab beliau Anba’ Nujaba’ Al-Abna’ (hlm. 150), “Saat Abu Yazid Al-Bustami menghafal ayat
.يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ. قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا
“Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya).” (QS Al-Muzammil: 1-2)
Ia bertanya kepada sang ayah, “Wahai ayah, siapa orang yang mendapat perintah dari Allah seperti ini?”
Sang ayah menjawab, “Dalam ayat tersebut yang dimaksud adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Abu Yazid bertanya lagi, “Wahai ayah mengapa ayah tidak melakukannya?”
Ayahnya menjawab, “Hai anakku, shalat malam itu dikhususkan perintahnya bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dia pun diam dan saat menghafal firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَى مِنْ ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِنَ الَّذِينَ مَعَكَ
“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (shalat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu.” (QS Al-Muzammil: 20)
Ia bertanya kepada ayahya, “Wahai ayah aku mendengar ada segolongan orang yang mengerjakan shalat malam. Siapakah mereka?”
Ayahnya menjawab, “Mereka adalah para sahabat.”
Abu Yazid berkata lagi, “Wahai ayahku, adakah kebaikan dalam meninggalkan apa-apa yang dikerjakan para sahabat?”
Ayahnya berkata, “Engkau benar anakku.” Sejak saat itu ia selalu mengerjakan shalat malam.
Satu malam Abu Yazid terbangun dan mendapati ayahnya sedang menegakkan shalat. Ia pun berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku ajarkan kepadaku bagaimana cara bersuci dan mengerjakan shalat.”
Ayahnya berkata, “Hai anakku, kau masih kecil maka tidurlah lagi.”
Abu Yazid berkata, “Wahai ayahku bagaimana menurutmu bila nanti di hari saat manusia diperlihatkan amal perbuatannya, aku berkata pada Rabb-ku, ‘Sesungguhnya aku telah bertanya kepada ayahku bagaimana cara berwudhu dan mengerjakan shalat bersamanya.
Namun ayah enggan dan berkata, ‘Tidurlah karena engkau masih kecil.’ Apakah ayah suka akan hal itu?”
Ayahnya berkata, “Tentu tidak wahai anakku.” Akhirnya Abu Yazid kecil selalu mengerjakan shalat malam bersama sang ayah.
Kecil-Kecil Rajin Berpuasa
Para ulama sepakat bahwa shiyam tidak wajib bagi anak-anak.
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Atsqalani rahimahullah mengatakan, “Jumhur ulama menyatakan bahwa shaum tidak wajib bagi anak-anak dan hukumnya sunah. Mereka menilai itu adalah mustahab (sunah).” (Fathul Bari, 5/103)
Meski demikian, bila kita perhatikan sejarah hidup para sahabat radhiyallahu ‘anhum, kita menyaksikan keteladanan mereka dalam mendidik anak-anak untuk berpuasa.
Imam Bukhari rahimahullah membuat satu bab khusus dalam kitab shahih beliau dengan judul Bab Shiyami Ash-Shibyan (bab yang menerangkan puasanya anak kecil).
Dalam pembahasan tersebut beliau rahimahullah meriwayatkan satu riwayat bahwa Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu berkata pada orang yang mabuk di siang hari di bulan Ramadhan, ”Celaka kamu, anak-anak kami saja berpuasa.”
Di antara contoh kesungguhan sahabat dalam hal ini, mereka menempuh berbagai macam cara agar anak-anak terhibur saat berpuasa.
Salah satunya dengan membuatkan permainan agar anak-anak senang dan lupa kalau ia sedang berpuasa.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan satu hadits dari Rabi’ bin Mi’wad bahwa ia berkata,
“Pada hari Asy-Syura (tanggal 10 Muharram) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh seseorang untuk menyampaikan kepada kaum Anshar agar siapa yang pagi itu shaum hendaklah mereka meneruskan shaumnya.
Adapun bagi yang tidak shaum agar shaum pada esok paginya. Kami pun shaum dan menyuruh anak-anak kami shaum.
Kami ajak anak-anak ke masjid dan kami beri mereka permainan dari wol agar mereka terhibur. Jika ada di antara mereka yang menangis kami beri permainan hingga waktu berbuka tiba.”
Itu semua mereka lakukan karena satu kesadaran bahwa shaum adalah satu ibadah yang akan melatih anak untuk ikhlas hanya mengharap ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Begitu pula shaum akan menguatkan daya kontrol anak agar tidak gampang menuruti keinginan dan hasratnya terhadap sesuatu.
Begitulah contoh keteladanan Salafus Shalih dalam membiasakan anak-anak mereka beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semenjak dini.
Hingga ibadah pun terasa ringan dan menjadi karakter mereka saat telah dewasa. Wallahu a’lam.