Daftar Isi
Pendidikan Anak Tanggung Jawab Siapa?
Oleh Ustadz Syahidan Sulthoni, S. Psi
Bagi seorang anak, rumah merupakan lingkungan pertama yang ia lihat. Lewat interaksi dengan lingkungan sekitar rumah mulailah tergambar dalam jiwanya bagaimana kehidupan yang sesungguhnya.
Jiwanya yang masih enerjik, mulai terbuka, dan siap menerima semua hal tentu sangat sensitif dengan segala macam pengaruh lingkungan.
Imam Al-Ghazali rahimahullah mengatakan, “Seorang anak merupakan amanah bagi kedua orang tuanya. Jiwanya yang masih bersih merupakan permata yang kosong dari segala intervensi.
Hatinya sangat terbuka bagi setiap torehan yang digoreskan. Bila dibiasakan dengan kebaikan maka ia pun tumbuh dalam kebaikan dan bahagialah kedua orang tuanya di dunia dan akhirat.
Sebaliknya bila dibiasakan dengan keburukan atau dibiarkan begitu saja, jadilah ia laksana binatang ternak tak terurus. Saat itulah beban dosa melekat di leher kedua orang tua.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (bertauhid). Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (HR Bukhari-Muslim)
Abu Ala’ berkata dalam syairnya
Anak kita akan tumbuh menjadi remaja
Sesuai pembiasaan orang tuanya
Tidaklah anak beragama karena perkataan
Akan tetapi karena pembiasaan
Mengingat begitu besarnya pengaruh rumah bagi perkembangan dan pertumbuhan anak, rumah tangga harus mampu mewujudkan tujuan-tujuan di atas.
Bukan Hanya Kewajiban Ibu
Ada anggapan yang salah di tengah-tengah masyarakat, bahwa pendidikan anak merupakan kewajiban ibu, sedangkan ayah hanya bertugas mencari nafkah.
Anggapan ini tentu tidak tepat bila kita mau jeli mengkaji teks-teks Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sebab banyak ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah yang khithab-nya (objek lawan bicaranya) adalah laki-laki.
Simak ayat-ayat dan hadits-hadits berikut serta keterangan para ulama tentangnya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS At-Tahrim: 6)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Beramallah dalam rangka taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan jauhilah semua kemaksiatan.
Serulah keluargamu untuk memahami dan mengamalkan Al-Qur’an, niscaya kamu akan selamat dari neraka.”
Mujahid rahimahullah berkata, “Bertakwalah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan berilah wasiat keluargamu dengan ketakwaan.”
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berdalil dengan ayat tersebut tentang kewajiban seorang laki-laki (ayah) untuk mengetahui perkara yang wajib serta mengajarkannya kepada keluarga.
Sebagian ulama mengatakan di antara manusia yang paling berat siksanya pada hari kiamat adalah seorang laki-laki yang membiarkan keluarganya dalam kebodohan.“ (Tafsir Ibnu Katsir surat At-Tahrim)
Di dalam ayat yang lain Allah subhanahu wa ta’ala berfirman
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kami lah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thaha: 132)
Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung-jawaban atas kepemimpinannya.
Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawabannya dan demikian juga seorang pria adalah seorang pemimpin bagi keluarganya dan akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari no. 2278)
Bahkan bila kita mau mengkaji lebih dalam ternyata banyak sekali kisah yang menceritakan bagaimana dialog pendidikan antara ayah dan anak.
Sarah binti Khalil al-Muthiry dalam tesis S-2 nya di Universitas Ummul Qurra Makkah, yang berjudul
حِوَارُ اْلآباَءِ مَعَ اْلأبْناَءِ فيِ اْلقُرْآنِ اْلكَرِيْمِ وَتَطْبِيْقَاتُهُ التَّرْبَوِيَّةِ
(Dialog Para Ayah dalam Al-Qur’an dan Aplikasinya Dalam Pendidikan) menyebutkan bahwa ada 17 dialog ayah-anak yang tersebar di sembilan surat dalam Al-Qur’an.
Contoh yang paling dikenal adalah kisah Luqman, seorang ayah, laki-laki yang shalih (sebagian ahli tafsir berpendapat dia adalah seorang Nabi), yang memberi pesan tauhid kepada anaknya.
Ini tercatat dalam surat Luqman, ayat 13 yang berbunyi, “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya,
“Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13)
Masih dalam surat Luqman, kita pun akan mendapati jawaban dari Luqman atas pertanyaan putranya tentang apakah Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui sebutir biji yang jatuh ke dasar laut.
“(Luqman berkata), Wahai anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah Mahahalus, Mahateliti.” (QS. Luqman: 16)
Selain kisah Luqman di atas, kita pun bisa mengetahui bagaimana Ibrahim mendidik anaknya, Ismail, sehingga perintah yang diterima Ibrahim dari Rabb-nya untuk menyembelih Ismail kemudian bisa ditaati oleh putra tercintanya itu.
Hal ini Juga dicontohkan Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alihi wa sallam yang mengajarkan anak-anaknya, terutama Fatimah radhiyallahu ‘anha, kecintaan kepada Allah, dan mendidiknya hingga tumbuh menjadi pribadi yang kuat, cerdas, dan sederhana.
Penjelasan di atas bukan bermaksud menegasikan peran seorang ibu, sebab bagaimanapun ibu merupakan al-madrasah al-ula (sekolah pertama) sejak sang anak masih berwujud janin dalam kandungan dan saat menyusui.
Dalam dua keadaan itulah kedekatan emosional ibu dan anak terbangun. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam pun memerintahkan seorang anak berbakti kepada ibunya melebihi baktinya kepada sang ayah.
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم، فَقَالَ: يَا رَسُولَ الله! مَنْ أَحَقُّ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ: «أُمُّكَ» قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: «أُمُّكَ» قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: «أُمُّكَ» قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ «ثُمَّ أَبُوكَ»
“Suatu ketika datang seseorang pada Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam, kemudian bertanya kepada belau, “Wahai Rasulullah siapakah yang lebih berhak untuk kuperlakukan dengan baik?
Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam menjawab, “ Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Rasul mejawab, “Ibumu.”
Ia bertaya lagi, “Lalu siapa lagi?” Rasul mejawab, “ Ibumu.“ Ia bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi?’” Rasul menjawab, “Ayahmu.” (Muttafaq ’alaihi)
Hak mendapatkan bakti yang tinggi dari sang anak tentu sebanding dengan peran agung seorang ibu. Bukan semata karena ia yang mengandung, melahirkan, menyusui atau pengasuhan fisik lainya.
Lebih dari itu adalah peran sebagai seorang pendidik bagi anak-anaknya. Jadi dapat disimpulkan bahwa tugas mendidik anak merupakan peran bersama kedua orang tua.
Jangan Mengandalkan Sekolah
Meski berperan penting dalam mendidik seorang anak, tetapi lembaga pendidikan formal bukanlah satu-satunya penentu keberhasilan pendidikan.
Lembaga pendidikan formal memiliki kemampuan yang terbatas. Selain tatap muka yang terbatas (hanya sekitar 7-10 jam), perbandingan tenaga pengajar dengan jumlah peserta didik yang tak seimbang juga sangat mengurangi kualitas pendidikan.
Justru di sinilah peran utama orang tua untuk betul-betul memantau buah hati mereka. Lembaga pendidikan formal hanya bersifat membantu hal-hal yang memang kedua orang tua memiliki keterbatasan.
Komunikasi yang efektif antara orang tua dan penyelenggara pendidikan formal akan menjembatani kekurangan-kekurangan yang ada pada keduanya. Wallahu a’lam.