Pendidikan anak merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan oleh orang tua. Sebab, kesalahan dalam mendidik akan berakibat fatal pada masa depan buah hati Ayah Bunda. Berikut hal-hal yang perlu diperhatikan oleh orang tua dalam mendidik anaknya.
Menasihati dan Mengajari Mereka Saat Berjalan Bersama
Ini adalah kisah yang dituturkan oleh Abdullah bin Abbas ketika diajak jalan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas kendaraan beliau.
Dalam perjalanan itu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada Abdullah bin Abbas beberapa pelajaran. Beliau bertutur sesuai dengan jenjang usia dan kemampuan daya pikir teman bicara melalui dialog ringkas, langsung, dan mudah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Nak, aku akan memberimu beberapa pelajaran. Jagalah Allah, niscaya Dia akan balas menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kamu akan menjumpai-Nya di hadapanmu.
Jika kamu meminta, mintalah kepada Allah dan jika kamu memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, andaikata manusia bersatu padu untuk memberimu suatu manfaat, niscaya mereka tidak akan dapat memberikannya kepadamu kecuali telah ditakdirkan Allah untukmu.
Seandainya mereka bersatu padu untuk menimpakan suatu bahaya kepadamu, niscaya mereka tidak akan dapat membahayakanmu kecuali sesuatu yang telah ditakdirkan Allah bagimu. Pena telah diangkat dan lembaran catatan telah mengering.” (at-Tirmidzi, Shifatul Qiyamah, 2516)
Menarik Perhatian Anak dengan Ucapan yang Lembut
Adakalanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil anak dengan panggilan yang paling sesuai dengan jenjang usianya. Seperti ungkapan, “Anak muda, sesungguhnya aku akan memberimu beberapa pelajaran.”
Adakalanya pula beliau memanggil dengan sebutan, “Anakku,” seperti yang beliau lakukan kepada Anas saat turun ayat hijab, “Hai anakku, mundurlah kamu ke belakang.”
Rasulullah menyebut anak-anak Ja’far, putra pamannya, “Panggilkanlah anak-anak saudaraku.” Beliau pun menanyakan kepada ibunya, “Mengapa aku lihat tubuh keponakanku kurus-kurus seperti anak-anak yang sakit?” (HR. Muslim, 4075)
Seseorang lebih terkesan bila dipanggil dengan julukan, gelar, dan predikat yang tersemat pada nama aslinya. Tak terkecuali anak-anak. Namun ironisnya, sering kali kita dapati anak-anak yang dipanggil dengan julukan tidak enak didengar, seperti gundul, gembrot, kribo, dan sebagainya.
Menghargai Mainan Anak dan Jangan Melarangnya Bermain
Apa yang akan Anda katakan ketika mengetahui bahwa Hasan bin Ali mempunyai anak anjing untuk mainannya? Abu Umair bin Abu Thalhah memelihara burung pipit untuk mainannya? Juga Aisyah yang memiliki boneka perempuan sebagai mainannya?
Setelah dinikahi Rasulullah, Aisyah membawa serta boneka mainannya ke rumah beliau. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak semua teman-teman Aisyah ke dalam rumah untuk bermain bersama.
Realitas seperti ini menunjukkan pengakuan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap kebutuhan anak kecil terhadap mainan, hiburan, dan pemenuhan kecenderungan (bakat).
Al-Ghazali mengatakan, “Usai keluar dari sekolah, sang anak hendaknya diizinkan untuk bermain dengan mainan yang disukainya untuk merehatkan diri dari kelelahan belajar di sekolah.
Sebab, melarang anak bermain dan hanya disuruh belajar terus, akan menjenuhkan pikirannya, memadamkan kecerdasannya, dan membuat masa kecilnya kurang bahagia. Anak yang tidak boleh bermain pada akhirnya akan berontak dari tekanan itu dengan berbagai macam cara.” (Ihya ‘Ulumuddin, 3/163)
Al-Ghazali juga menambahkan, “Hendaknya sang anak dibiasakan berjalan kaki, bergerak, dan berolah raga pada sebagian waktu siang agar tidak menjadi anak yang pemalas.”
Tidak Membubarkan Anak yang Sedang Bermain
Anas berkata, “Pada suatu hari aku melayani Rasulullah. Setelah tugasku selesai, aku berkata dalam hati, ‘Rasulullah pasti sedang istirahat siang.’ Akhirnya aku keluar ke tempat anak-anak bermain.
Aku menyaksikan mereka sedang bermain dan tidak lama kemudian, Rasulullah datang seraya mengucapkan salam kepada anak-anak yang sedang bermain.
Beliau lantas memanggil dan menyuruhku untuk suatu keperluan. Aku pun segera pergi untuk menunaikannya, sedangkan beliau duduk di bawah sebuah pohon hingga aku kembali.” (HR. Ahmad, 12956)
Selain penting bagi pertumbuhan mental dan fisik anak, permainan sangat mereka perlukan sebagaimana orang dewasa memerlukan pekerjaan. Maka mari berpikir berulang kali ketika hendak membubarkan mereka saat bermain.
Jika untuk memperingatkan karena waktu yang tidak tepat atau membahayakan diri dan orang lain, maka sebisa mungkin lakukan dengan penuh bijaksana.
Tidak Memisahkan Anak dari Keluarganya
Abu Abdurrahman al-Hubuli meriwayatkan bahwa dalam suatu peperangan Abu Ayyub berada dalam suatu pasukan. Kemudian anak-anak dipisahkan dari ibu-ibu mereka, sehingga anak-anak itu menangis.
Abu Ayyub pun segera bertindak dan mengembalikan anak-anak itu kepada ibunya masing-masing. Ia lalu mengatakan bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Barang siapa memisahkan antara seorang ibu dan anaknya, niscaya Allah akan memisahkan antara dia dan orang-orang yang dicintainya pada hari kiamat.” (HR. at-Tirmidzi, 1204)
Rasulullah juga melarang seseorang duduk di tengah-tengah antara seorang ayah dan anaknya dalam suatu majelis. Beliau bersabda, “Janganlah seseorang duduk di antara seorang ayah dan anaknya dalam sebuah majelis.” (HR. ath-Thabrani, al-Ausath, 4/4429)
Jangan Mencela Anak
Anas mengatakan, “Aku melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama 10 tahun. Demi Allah, beliau tidak pernah mengatakan, “Ah”, tidak pernah menanyakan, “Mengapa engkau lakukan itu?” dan tidak pula mengatakan, “Mengapa engkau tidak melakukan itu?” (Muttafaq ‘alaih)
Anas juga mengatakan, “Beliau tidak pernah sekali pun memerintahkan sesuatu kepadaku kemudian manangguhkan pelaksanaannya lalu mencelaku. Jika ada salah seorang dari ahli baitnya mencelaku, beliau justru membelaku, ‘Biarkanlah dia, seandainya hal itu ditakdirkan terjadi, pastilah terjadi.’”
Al-Ghazali memberi nasihat, “Janganlah banyak mengarahkan anak dengan celaan karena yang bersangkutan akan menjadi terbiasa dengan celaan. Dengan celaan anak akan bertambah berani melakukan keburukan dan nasihat pun tidak dapat mempengaruhi hatinya lagi.
Hendaklah seorang pendidik selalu menjaga wibawa dalam berbicara dengan anak. Untuk itu, janganlah ia sering mencela kecuali sesekali saja bila diperlukan. Hendaknya sang ibu mempertakuti anaknya dengan ayahnya serta membantu sang ayah mencegah anak dari melakukan keburukan.” (Ihya ‘Ulumuddin, III)
Mengajarkan Akhlak Mulia
Anas menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anakku, jika engkau mampu membersihkan hatimu dari kecurangan terhadap seseorang, baik pagi hari maupun petang hari, maka lakukanlah.
Demikian itu termasuk tuntunanku. Barang siapa yang menghidupkan tuntunanku, berarti ia mencintaiku, dan barang siapa mencintaiku niscaya akan bersamaku di dalam surga.” ( at-Tirmidzi, Kitab ‘Ilmi, 2602)
Al-Ghazali mengatakan, “Anak harus dibiasakan agar tidak meludah atau mengeluarkan ingus di majelisnya, menguap di hadapan orang lain, membelakangi orang lain, bertumpang kaki, bertopang dagu, dan menyandarkan kepala ke lengan.
Sebab beberapa sikap ini menunjukkan pelakunya sebagai orang pemalas. Anak harus diajari cara duduk yang baik dan tidak boleh banyak bicara. Perlu dijelaskan pula bahwa banyak bicara termasuk perbuatan tercela dan tidak pantas dilakukan.
Laranglah anak membuat isyarat dengan kepala, baik membenarkan maupun mendustakan, agar tidak terbiasa melakukannya sejak kecil. (Ihya ‘Ulumuddin, 3/62)
Mendoakan Kebaikan, Menghindari Doa Keburukan
Jabir bin Abdullah berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mendoakan keburukan untuk diri kalian. Janganlah kalian mendoakan keburukan untuk anak-anak kalian.
Janganlah kalian mendoakan keburukan untuk pelayan kalian dan jangan pula kalian mendoakan keburukan untuk harta benda kalian. Agar jangan sampai kalian menjumpai suatu saat yang di dalamnya Allah memberi semua permintaanmu, kemudian mengabulkan doa kalian.” (HR. Muslim, Kitab Zuhud wa Raqaiq, 5328 dan Abu Dawud, Kitab Shalat, 1309)
Orang tua harus dapat mengontrol penuh lisannya, agar tidak keluar ancaman atau ucapan yang bisa menjadi doa keburukan bagi sang anak. Doa itu tak harus sesuatu yang khusus diucapkan saat bersimpuh di hadapan Allah.
Ucapan seketika, seperti, “Dasar anak bandel,” pun bisa bermakna doa dan doa orang tua kepada anak itu bakal manjur. Maka hendaklah orang tua untuk berhati-hati saat berucap. (lihat hadits at-Tirmidzi, Kitab Birri wash Shilah, 1828)
Meminta Izin Berkenaan dengan Hak Anak
Sahl bin Sa’ad meriwayatkan bahwa disajikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam segelas minuman, lalu beliau meminumnya, sedang di sebelah kanan beliau terdapat seorang anak dan di sebelah kirinya terdapat orang tua.
Sesudah minum, beliau bertanya kepada si anak, “Apakah engkau setuju bila aku memberi minum mereka terlebih dahulu?” Ia menjawab, “Tidak, demi Allah, aku tidak akan memberikan bagianku darimu.” Rasulullah pun menyerahkan wadah itu ke tangan si anak. (HR. Muslim, Kitab Haidh, 517 dan Abu Dawud, Kitab Jihad, 2186)
Mengajari Anak Menyimpan Rahasia
Abdulllah bin Ja’far bercerita, “Pada suatu hari Rasulullah memboncengku di belakangnya. Beliau kemudian membisikkan suatu pembicaraan kepadaku agar tidak terdengar oleh seorang pun.” (HR. Bukhari, Kitab Ath’imah, 4957)
Makan Bersama Anak Sembari Memberikan Pengarahan dan Meluruskan Kekeliruan Mereka
Umar bin Abu Salamah bercerita, “Ketika masih kecil, aku berada di pangkuan Rasulullah dan tanganku menjalar ke mana-mana di atas nampan. Rasulullah bersabda kepadaku, ‘Hai anak kecil, sebutlah nama Allah (berdoa), makanlah dengan tangan kanan, dan makanlah makanan yang ada di dekatmu.’ Maka senantiasa seperti itulah cara makanku sesudahnya.”( Muslim, Kitab Fadhuish Shahabah, 4528)
Abdullah bin Umar tidak pernah melakukan shalat malam, maka Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik lelaki adalah Abdullah bin Umar seandainya dia shalat malam.” Sesudah itu, dia hanya tidur sebentar saja setiap malamnya. Wallahu a’lam.