BerandaKajianPola Asuh Otoriter dan Dampak Negatifnya Terhadap Anak

Pola Asuh Otoriter dan Dampak Negatifnya Terhadap Anak

- Advertisement -spot_img

Dampak Negatif Pola Asuh Otoriter Orang Tua Terhadap Karakter Anak
Oleh Maulida Nugrah Fitra (Mahasantri Ma’had Aly li Ta’hil Al-Mudarrisat)

Orang tua adalah sosok pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Peran orang tua dalam pengasuhan anak menjadi hal yang sangat penting untuk mengantarkan anak agar meraih cita-citanya.[1]

Allah ﷻ berfirman

يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا قُوْا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا…

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka[2]

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Islam membahas persoalan bagaimana mendidik keluarga, karena pendidikan anak merupakan tugas utama dan tanggungjawab sebuah keluarga.

Peran orang tua menjadi hal yang penting.[3] Maka, orang tua perlu memperhatikan bagaimana metode atau pola asuh yang dipilih dalam mendidik anak-anaknya.[4]

Pola asuh yang diberikan orang tua akan berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian serta perilaku pada anak karena pola asuh adalah hal yang mendasar pada pembentukan karakter.

Orang tua merupakan model utama yang sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan karakter anak.[5] Apabila karakter anak terbentuk dengan baik, maka akan menghasilkan pribadi yang baik, patuh, hormat, dan seimbang.[6]

Begitu juga dengan penerapan pola asuh yang tidak tepat akan menghasilkan berbagai dampak negatif bagi anak.[7] Salah satu pola asuh yang tidak tepat untuk diterapkan adalah pola asuh otoriter.

Pola asuh otoriter adalah pengasuhan yang terkesan kaku dan sepihak.[8] Pola asuh otoriter akan berdampak buruk apabila diberikan secara berlebihan dan tanpa pertimbangan.[9]

Keluarga yang menerapkan pola asuh seperti ini cenderung menghasilkan anak yang bermasalah.[10]

Contoh nyata yang menggambarkan dampak pola asuh otoriter ini dapat dilihat dari kisah seorang wanita yang dibagikan secara anonim di aplikasi theAsianparent Indonesia.

Wanita tersebut menceritakan bahwa sang ayah selalu memaksakan kehendaknya, sehingga wanita tersebut harus mengikuti semua kemauan ayahnya. Akhirnya ia tumbuh dengan mewarisi sifat buruk sang ayah yang menerapkan pola asuh otoriter.[11]

Fenomena pola asuh di Indonesia menurut penelitian yang dilakukan oleh Indriawan tahun 2019 didapatkan hasil bahwa 40,80 % orang tua menerapkan pola asuh otoriter. Persentase pola asuh otoriter tersebut bahkan terus meningkat hingga saat ini.

Berkembangnya era digitalisasi yang terjadi saat ini, menyebabkan orang tua khawatir terhadap anaknya akan terjatuh kepada pergaulan yang kurang baik. Maka dari itu, orang tua membuat banyak tekanan dan aturan sebagai bentuk rasa sayang mereka kepada anaknya.[12]

Kadangkala anak yang menerima pola asuh ini akan memiliki tingkat kecemasan yang tinggi yang nantinya akan berdampak kepada fisiknya.

Seorang psikolog pendidikan dan hypnotherapist yang bernama Erika Kamaria Yamin menyampaikan dalam sebuah wawancara bahwa seringkali beliau menemui anak-anak yang akan melakukan ujian namun tiba-tiba sakit perut dan muncul keluhan-keluhan seperti sakit kepala.

Setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata penyebab hal tersebut berawal dari raca cemas berlebih yang merupakan dampak dari pola asuh orang tua.[13]

Penerapan pola asuh otoriter ini terkadang disebabkan oleh orang tua yang pernah memiliki pengalaman dengan pola asuh yang sama, sehingga diulang dan kembali menerapkan ketika dirinya telah menjadi orang tua.

Pola asuh orang tua yang otoriter ini dapat menyebabkan anak terganggu psikologisnya dan sering kali tidak memberikan kebahagiaan bagi anak.[14]

Faktor yang Mempengaruhi Karakter Anak

Karakter yang ada pada diri anak tidak dapat terbentuk dengan sendirinya. Karakter harus dirangsang melalui berbagai proses dan faktor,[15] yaitu faktor internal dan faktor eksternal:[16]

Faktor Internal

Faktor internal yang mempengaruhi pembentukan karakter anak adalah latar belakang anak itu sendiri yang merupakan pembawaan asli anak sejak lahir, yaitu dari keturunan atau genetik.

Anak dapat mewarisi sifat dari orang tuanya atau bahkan dari kakek dan neneknya. Sifat yang diwariskan dapat berupa sifat jasmaniah atau kekuatan badan, dan sifat rohaniah atau kepekaan naluri terhadap hal-hal yang berkaitan dengan rohani.[17]

Faktor Eksternal

Keluarga adalah lingkungan pertama di mana anak-anak dibesarkan dan dari lingkup keluarga inilah anak dan sering melakukan komunikasi dengan anggota keluarga dan kebersamaan dalam beraktifitas.[18]

Terlebih jika dalam satu lingkup tersebut bukan hanya beranggotakan orang tua kandung saja, melainkan ada kakek dan nenek yang kebanyakan bersikaf permisif kepada cucunya, maka karakter anak menjadi manja dan kurang mandiri.[19]

Selain pengaruh dari lingkup keluarga, hadirnya pengasuh atau pembantu rumah tangga juga dapat memberikan pengaruh. Jika anak tidak diberi pemahaman yang baik, maka anak akan sesuka hati memerintah pembantu dan menjadikannya kurang mandiri.[20]

Tentu pola asuh yang diberikan oleh masing-masing individu tersebut berbeda, dan nantinya akan memberikan dampak terhadap karakter anak.[21]

Karakter anak juga dapat terbentuk dari tingkat ekonomi keluarga. Umumnya anak yang berasal dari keluarga dengan ekonomi menengah ke atas akan lebih bersikap hangat, dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi ke bawah.[22]

Selain lingkungan keluarga, anak juga berinteraksi sosial, baik di lingkungan masyarakat sekitar, lingkungan sekolah, maupun di media sosial.[23] Lingkungan sosial adalah tempat di mana anak dan masyarakat saling berinteraksi.

Lingkungan sosial menjadi faktor penentu dalam perubahan karakter anak. Termasuk juga pergaulan anak dengan guru dan teman sebaya di sekolah. Maka penting bagi orang tua untuk memperhatikan dengan siapa anaknya bergaul dalam dunia sekolah.[24]

Terlepas dari lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolah, karakter anak juga dapat dipengaruhi oleh media sosial yang digunakan. Hal ini dikarenakan media sosial memiliki nilai positif dan negatif tergantung pada bijaknya anak menggunakan aplikasi.[25]

Ciri Pola Asuh Otoriter

Pada umumnya, orang tua yang ototiter memiliki karakteristik yang dapat dikenali, di antaranya:

  • Orang tua menekankan pengawasan atau kontrol berlebihan yang ditujukan pada anak, agar anak patuh dan taat.[26]
  • Orang tua yang otoriter tidak mengenal kompromi dan hanya satu arah dalam berkomunikasi.[27]
  • Orang tua yang menganut pola asuh otoriter, anak-anaknya tidak memiliki kebebasan untuk menentukan keputusan. Bahkan untuk dirinya sendiri karena semua keputusan berada di tangan orang tua, sementara anak harus mematuhinya tanpa ada kesempatan untuk menolak ataupun berpendapat.[28]
  • Orang tua memberikan tuntutan tinggi tanpa disertai dukungan dan apresiasi dan menerapkan peraturan yang ketat pada anak.[29] Pada umumnya peraturan yang diterapkan tidak tertulis dan tidak dikomunikasikan ke anak. Orang tua menganggap dan mengharap bahwa anak dapat langsung paham dan mengerti.[30]
  • Orang tua yang otoriter tidak segan memberikan hukuman pada anak.[31] Orang tua memberikan hukuman tersebut, dengan harapan dapat membuat anak jera dan tidak mengulangi kesalahan tersebut.[32]
  • Orang tua yang otoriter tidak menerima toleransi atas kesalahan anak. Mereka tidak menerima kelalaian sekecil apapun yang diperbuat oleh anak dan tidak ingin mengerti apa penyebab anak melakukan kesalahan tersebut.[33]
  • Orang tua yang otoriter cenderung membatasi perilaku sayang, sentuhan, dan kelekatan emosi antara orang tua dan anak, sehingga antara orang tua dan anak seakan-akan ada dinding pembatas yang memisahkan. Hal ini dapat berpengaruh terhadap kualitas karakter anak.[34]
  • Orang tua memaksakan sikap disiplin dan menuntut kesempurnaan. Mereka berharap dengan memaksakan sikap disiplin tersebut dapat menumbuhkan kepribadian dan karakter yang baik pada anak.[35]

Orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter terdorong dari beberapa aspek. Beberapa aspek tersebut bisa jadi karena minimnya pengetahuan orang tua mengenai pola asuh, adat istiadat yang berlaku, sikap tidak mau disalahkan, membungkam sikap kritis anak, faktor ekonomi, dan sikap kepala keluarga yang ingin menegakkan kekuasaan sebagai pemimpin keluarga.[36] Orang tua yang pernah mengalami pola asuh otoriter juga berpotensi untuk menerapkan pola asuh yang sama kepada anak-anaknya.[37]

Dampak Negatif Pola Asuh Otoriter

Penerapan pola asuh memiliki pengaruh yang besar terhadap karakter anak, seperti halnya pola asuh otoriter. Berikut dampak negatif dari penerapan pola asuh otoriter terhadap karakter anak:

1. Anak sulit untuk menyampaikan pendapat.

Hal ini disebabkan karena orang tua sangat membatasi ruang diskusi dengan anak.[38] Jika hal ini dilakukan terus-menerus oleh orang tua, maka akan menimbulkan dampak negatif bagi emosional anak.

Dampaknya hubungan sosial anak menjadi kurang terasah, kurangnya kemampuan berpikir kritis, dan sulit mendengarkan pendapat orang lain.[39]

2. Anak sulit untuk menentukan pilihan.[40]

Hal ini disebabkan karena orang tua yang terlalu menuntut, tidak pernah berkompromi,[41] dan tidak memberikan kesempatan pada anak untuk menentukan pilihan.

Dampaknya anak akan sulit meningkatkan kemampuan berpikirnya, berdampak kepada kemandiriannya, dan akan sulit membuat keputusan dalam suatu masalah yang lain ketika dewasa.[42]

3. Anak cenderung memiliki penghargaan terhadap diri sendiri yang rendah.

Hal ini dikarenakan orang tua yang tidak memberikan kepercayaan dan kesempatan pada anak untuk mengungkapkan opininya.[43]

Dampaknya anak akan susah mengargai dan mencintai diri sendiri, sulit menerima kritikan dari orang lain, tidak percaya diri, dan menjadi pribadi yang mudah menyerah.[44]

4. Anak memiliki keterampilan bersosial yang kurang baik.[45]

Pola asuh memiliki peran penting dalam membantu anak berinteraksi sosial di masyarakat. Hal ini dapat berawal dari komunikasi yang rendah antara orang tua dan anak, sehingga anak menjadi tidak terbiasa berkomunikasi dengan orang lain.

Anak lebih suka menyendiri dan menghindari keramaian.[46] Selain itu, anak menjadi sulit untuk berbagi dan akan mengalami kegugupan ketika berada di situasi sosial.[47]

5. Anak lebih rentan terkena masalah mental.[48]

Banyak orang tua yang tidak sadar bahwa pola asuh dapat mempengaruhi mental. Mereka masih menganggap remeh masalah perkembangan mental pada anak.

Pola asuh otoriter sangat besar dampaknya terhadap perkembangan psikologis anak. Apabila kesehatan mental anak terganggu, maka banyak dampak negatif yang akan mempengaruhi anak tersebut.

Anak menjadi penakut, pemurung, tidak bahagia, sensitif, mudah stress,[49] cemas terhadap dunia luar dan hal baru, bahkan yang paling berat adalah anak dapat melakukan percobaan untuk melukai dirinya sendiri.[50]

6. Anak cenderung melakukan perundungan.

Hal ini disebabkan gertakan dan dan cara keras orang tuanya dalam mendidik.[51] Hasilnya anak akan meniru perbuatan orang tuanya dan anak tidak segan melakukan hal serupa kepada orang lain atau teman sebaya, dan anak akan menjadi sosok perundung.[52]

7. Anak memiliki kreatifitas yang rendah.

Pada umumnya anak memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Akan tetapi karena pola asuh orang tua yang ketat, maka anak tidak memiliki kesempatan untuk bereksplorasi. Dampaknya anak akan sulit berkreasi mengekspresikan diri.[53]

Kesimpulan

Orang tua perlu memperhatikan bagaimana dan model pengasuhan yang dipilih dalam mendidik anak-anaknya. Penerapan pola asuh yang tidak tepat dapat berdampak negatif terhadap karakter anak, contohnya seperti pola asuh otoriter.

Dampak yang dihasilkan dari pola asuh otoriter adalah anak menjadi sulit menyampaikan pendapat, sulit menentukan pilihan, memiliki penghargaan diri yang rendah, keterampilan bersosial yang kurang baik, rentan terkena masalah mental, cenderung melakukan perundungan, dan anak memiliki kreativitas yang rendah.

Wallahu a’lam bish-shawab.

 

Referensi 

[1] Muhammad Ihzario Ibrahim Akbar, Mohammad Zainal Fatah, “Hubungan Pola Asuh Otoriter Orang Tua dengan perilaku Bullying Pada Remaja”, Jurnal Ilmiah Permas: Jurnal Ilmiah STIKES Kendal, Vol 12, No 4, Oktober 2022, hal 864.

[2] QS. At-Tahrim: 6.

[3] Rohinah, “Pendidikan Keluarga Menurut Al-Qur’an Surat At-Tahrim Ayat 6”, Jurnal An Nur, Vol VII, No 1, Juni 2015, hal. 15.

[4] Lisda Yuni Mardiah, Syahrul Ismet, “Dampak Pengasuhan Otoriter Terhadap Perkembangan Sosial Anak”, JCE (Journal of Chilhood Education), Vol 5, No 1, Maret 2021, hal 83.

[5] Lisda, “Dampak…, hal. 83.

[6] Rubini, Pemikiran Pendidikan Karakter Anak, Cet. I, (Lamongan: Academia Publication, 2022), hal. 267.

[7] Lisda, “Dampak…., hal 84.

[8] Evy Nurachma dkk, Pengaruh Pasangan Pernikahan Dini Terhadap Pola Pengasuhan Anak, (Penerbit NEM, 2016), hal. 18.

[9] Shafa Nurnafisa, “Kisah Ibu: Trauma Masa Kecil Membuat Saya Bersikap Keras”, dalam id.theasianparent.com, diakses pada Rabu 17 Mei 2023, pukul 09:53 WIB.

[10] Bunda Fathi, Mendidik Anak dengan Al Quran Sejak Janin, (Bandung: Pustaka Oasis, 2011), hal. 53.

[11] Shafa, “Kisah Ibu…

[12] Wilda Indana Z, “Maraknya Strict Parent di Era 4.0”, dalam retizen.republika.co.id, diakses pada Selasa 16 Mei 2023, 21:12 WIB.

[13] Shannon Leonette, “Kenali Pola Asuh Otoriter dalam Menciptakan Pembelajaran Efektif, termasuk Dampaknya ke Anak”, dalam nakita.grid.id, diakses pada Kamis 18 Mei 2023, 11:15 WIB.

[14] Ibid.  

[15] Nurla Isna Aunillah, Membentuk Karakter Anak Sejak Janin, Cet. I, (Yogyakarta: FlashBooks, 2015), hal. 63.

[16] Abdul Aziz, Membangun Karakter Anak dengan Alquran, Cet. I, (Kota Semarang: CV. Pilar Nusantara, 2018), hal. 91.

[17]  Muhammad Hasan dkk, Pendidikan Karakter Anak Usia Dini, (Banten: Penerbit PT Sada Kurnia Pustaka, 2023), hal. 123.

[18] Thomas Lickona, Pendidikan Karakter: Panduan Lengkap Mendidik Siswa Menjadi Pintar dan Baik, Terj. Lita S, Cet. II, (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2014), hal. 42-43.

[19] Abdul, Membangun…., hal. 94.

[20]  I Nyoman Subagia, Pola Asuh Orang Tua: Faktor Implikasi Terhadap Perkembangan Karakter Anak, (Bali: Nilacakra, 2021), hal. 37.

[21]  Abdul, Membangun…., hal. 94.

[22] Iffah Indri Kusmawati, Pola Asuh Orang Tua dan Tumbuh Kembang Balita, Cet. I, (Sukabumi: CV Jejak, anggota IKAPI, 2023), hal. 23.

[23] Ibid, hal. 102-103.

[24] Shantika Ebi CH, Parenting Anak Usia Emas Memaksimalkan Potensi Anak Saat Golden Age Mereka, Cet. I, (Yogyakarta: Anak Hebat Indonesia, 2022), hal. 59.

[25] Erni Ratna Dewi, “Hubungan Media Sosial dalam Pembentukan Karakter Anak”, Indonesia Journal of Learning Education and Counseling, Vol 3, No 1, hal. 48

[26] Evy, Pengaruh…., hal. 18

[27] Dedi Siswanto, Anak di Persimpangan Perceraian, (Surabaya: Airlangga University Press, 2020), hal. 40.

[28] Bunda, Mendidik…., hal. 54.

[29] Rimalia, Riawani Elyta, dan Risa Mutia, Menjadi Orang Tua Bijaksana, Cet. II, (Surakarta: Indiva Media Kreasi, 2022), hal. 165.

[30] Widiastuty, “Strict Parents: Pengertian, Ciri-ciri, & Dampak Anak Strict Parents”, dalam Gramedia Blog, diakses pada Senin, 13 November 2023, pukul 07:02 WIB.

[31] Widiastuty, “Strict…

[32] Dedi, Anak…., hal. 43.

[33] Ibid.

[34] Suparman dkk, Dinamika Psikologi Pendidikan Islam, Cet. I, (Ponorogo: Wade Group, 2020), hal. 43.

[35] Ibid, hal. 43.

[36] “Pola Asuh Otoriter Orang Tua”, dalam Educhanel Indonesia, diakses pada Ahad 05 Oktober 2023, pukul 15:25 WIB.

[37] Wilda, “Maraknya…

[38] Dedi, Anak…., hal. 43.

[39] Admin, “Sering Abaikan Pendapat Anak, Ini Bahaya yang Bisa Terjadi”, dalam Halodoc, diakses pada Senin 13 November 2023, pukul 06:56 WIB.

[40] Faizul Faridy, Mengapa Kamu Nak?, Cet. I, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2021), hal. 188.

[41] Dedi, Anak…., hal. 40.

[42] Musthafa Abu Sa’ad, 30 Strategi Mendidik Anak: Cerdas Emosional, Spiritual, Intelektual, Terj. Fatkhurozi dan Nashirul Haq, Cet.III, (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2016), hal. 186-187.

[43] Widiastuty, “Strict…

[44] Kumara Anggita, “Ini Dampak Memiliki Self-Esteem yang Rendah”, dalam, medcom.id, diakses pada Senin 13 November 2023, pukul 07:00 WIB.

[45] Miftakhuddin dan Rony Harianto, Anakku Belahan Jiwaku: Pola Asuh Yang Tepat Untuk Membentuk Psikis Anak, (Sukabumi: CV Jejak Publisher, 2020), hal. 115.

[46] Muhammad, “Hubungan….

[47] Jemima Karyssa Rompies, “7 Tanda Anak Memiliki Ketermpilan Sosial yang Kurang Baik”, dalam POPMAMA, diakses pada Senin 13 November 2023, pukul 07:11 WIB.

[48] Miftakhuddin, Anakku…., hal. 115.

[49]  Faizul, Mengapa…., hal. 188.

[50] Admin, “Pentingnya Pola Asuh Terhadap Kesehatan Mental Anak”, dalam Linkumkm, diakses pada Senin 13 November 2023, pukul 07:27 WIB.

[51] Widiastuty, “Strict…

[52]  Ibid.

[53] Mufiidaanaiila Alifah S, “5 Dampak Buruk Pola Asuh Ketat dan Suka Mengekang Anak”, dalam Fimela, diakses pada Senin 13 November 2023, pukul 07:20 WIB.

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Stay Connected
16,985FansSuka
12,700PengikutMengikuti
2,458PengikutMengikuti
9,600PelangganBerlangganan
Must Read
- Advertisement -spot_img
Related News
- Advertisement -spot_img

Silakan tulis komentar Anda demi perbaikan artikel-artikel kami