Memulai kisahnya dari sebuah tempat yang hijau. Terisolasi dari dunia luar. Bahkan untuk keperluan sehari-hari pun harus melintasi sungai yang jaraknya tidak bisa dibilang dekat. Aliran listrik pun belum mampu menjangkaunya. Tapi, dari tempat itulah dia berasal. Dia bukanlah seorang yang lahir sebagai muslim. Lingkungan pun tak memiliki nilai islami. Terkungkung dalam pulau yang dipenuhi dengan kaum nasrani. Tak menjadi penghalang baginya untuk bisa sampai merengkuh hidayah dari Sang Pengasih. Itulah Rabb al-Haadi, Dia memberi petunjuk kepada siapa pun yang Dia kehendaki.
Getar keraguan menyusup ke dalam hatinya. Bukan karena sentuhan dakwah Islam. Tapi justru karena butterfly effect yang ditimbulkan oleh dakwah kaum Nasrani sendiri. Dakwah yang berwujud film untuk memperingati Paskah tiap tahunnya. Film yang mengisahkan prosesi penyaliban Yesus, orang yang mereka anggap sebagai Isa al-Masih, Tuhan, sekaligus putra Allah. Berharap agar potret perjuangan Yesus dapat tertanam kuat didalam jamaahnya, tapi ternyata berefek kebalikan untuknya. Setiap dia menyaksikan ulang, semakin besar keraguan menyesap.
“Ya Allah, aku serahkan nyawaku padaMu…” inilah penuturan Yesus yang diyakini sebagai Tuhan sekaligus putra Allah menjelang prosesi penyaliban. Satu kalimat yang memunculkan secercah keraguan di hatinya. Keraguan atas konsep ketuhanan yang selama ini dia pahami. Dari sinilah dia mulai mencari sebuah kebenaran.
VCD berisi penuturan mantan Pendeta pun menambah kuat keraguannya. Dia mendapatkan VCD itu dari salah seorang kerabatnya. Si pemilik VCD masih beragama Kristen. Saat itu dia sedang mempunyai masalah, tapi sang Pendeta seperti tidak mau tahu tentang masalahnya. Karena itulah, dia ingin mencari agama lain yang bisa menyelesaikan masalahnya. Ia sempat beripikiran untuk pindah ke agama Hindu, karena sebelumnya memang dia sudah pernah mempelajari agama itu. Tapi anaknya berceletuk “Apa nggak lebih baik kita masuk Islam saja pak? Karna saya punya banyak teman muslim di Padang, kayaknya mereka mau bantu kita membangun tempat ibadah disini kalau kita masuk Islam, apalagi kita seorang muallaf.” Akhirnya keluarga itu pun sepakat masuk Islam. Tak ingin sendiri, mereka pun mengajak kerabat lain untuk ikut masuk Islam. Terkumpullah 7 KK (Kepala Keluarga) atau sekitar 26 jiwa, termasuk lelaki yang tersebut di awal tadi.
Mereka jalani awal keislaman mereka tanpa shalat ataupun ibadah-ibadah lainnya. Karena memang mereka tak ada pengetahuan sedikit pun tentang Islam. Yang mereka lakukan tiap harinya hanyalah berkumpul satu sama lainnya untuk membahas tindak lanjut keislaman mereka. Menjadi muslim minoritas di tengah mayoritas nasrani bukanlah sesuatu yang enteng. Cibiran, cemoohan dan kebencian menjadi suatu kelaziman yang mereka dapati, bahkan dari keluarga mereka sendiri.
Seiring berjalannya waktu, keberadaan mereka pun mulai diketahui oleh dunia luar. Berdatanganlah para dai dan wartawan muslim dari berbagai daerah untuk meliput langsung keadaan mereka. Hasil dari liputan itu disiarkan di beberapa channel televisi parabola Indonesia maupun Malaysia. Islam pun semakin berkembang, hingga saat ini sekitar 150 jiwa telah bersyahadat.
Lalu siapa lelaki yang akhirnya merengkuh hidayah tadi? Hidayah yang diawali dari sebulir keraguan tentang konsep ketuhanan Yesus. Keraguan yang telah mengantarkannya pada cahaya kebenaran Islam.
Lelaki itu bernama Bilal. Anak ke 5 dari 6 bersaudara yang terlahir dari pasangan (Yuni dan Yona). Ayahnya sudah lama meninggal. Ibunya kini masih bersikuat mempertahankan keyakinannya. Sedangkan kakak perempuannya yang kedua telah mengikuti jejak Bilal.
Ayah dari dua anak ini dikirim ke Jawa untuk menempuh pendidikan di Ponpes Islam Darusy Syahadah. Guna memperdalam pengetahuannya tentang Islam. Bersama istri, anak, keponakan dan 2 saudara sepupunya dia mantapkan langkahnya menuju ke suatu daerah yang belum sama sekali terbayang. Daerah yang jauh berbeda dengan apa yang ada dihadapannya selama ini. Boyolali Jawa Tengah, disana dia dapatkan berbagai khazanatul ulum al islamiyyah. Bukan hanya itu, gaya kehidupan yang serba baru pun dia jadikan sebagai pelajaran. Setelah bertahun-tahun dia terisolasi dalam suatu wilayah terpencil di provinsi Sumatra Barat. Wilayah terpencil itu dikenal dengan nama Kepulauan Mentawai. Lelaki bernama asli Martias ini berharap apa yang sedang dia tempuh bisa membuahkan hasil dan mampu menggandeng seluruh anggota keluarganya mengenal Rabb Al Khaaliq yang sebenarnya.
Istri bersama 2 anaknya kini tinggal di Komplek Perumahan Asatidzah Darusy Syahadah. Keponakannya yang bernama Ihsan sedang mengenyam pendidikan sekolah dasar di Panti Asuhan Darul Ihsan, Solo. Dan dua saudara sepupunya duduk di bangku Ponpes Islam Miftahul Huda, Boyolali.
سبحان الله