Sebelum terkenal sebagai kota pariwisata, Venesia dikenal akan perdagangannya. Saking hebatnya, Venesia mendominasi laut tengah sebagai jalur perdagangan.
Karena tingginya jumlah kapal-kapal yang akan singgah, serta mengingat sejarah Black Death dan penyebaran wabah di Eropa, Venesia membuat kebijakan preventif agar tidak terjadi hal-hal yang diinginkan.
Yakni, kapal-kapal asing yang datang ingin berdagang, harus menetap terlebih dahulu di sebuah pulau. Tujuannya adalah memastikan bahwa kapal-kapal tersebut steril dari penyakit.
Kebijakan ini kerap disebut sistem masa penantian 40 hari. Orang-orang Italia kemudian menyebutnya, ‘quarantinario’. Gabungan dari quaranta dan giorni. Dari sinilah istilah karantina berasal.
Dalam bahasa Indonesia, pengertian karantina itu sendiri adalah, “Tempat penampungan yang lokasinya terpencil, guna mencegah terjadinya penularan penyakit.”
Nah, hari ini, karantina menjadi topik pembicaraan dalam bentuk seruan “Stay Home” atau “Di rumah aja” sebagai upaya melindungi diri dari serangan Covid-19.
Pertanyaannya, ketika terjadi wabah, haruskah seseorang berdiam diri di dalam rumah? Tentu ada berbagai versi jawaban. Dan mungkin, masing-masing pendapat mempunyai argumen yang kuat.
Terlepas dari kontroversi ini, kepada siapapun yang akhirnya memilih untuk tinggal di rumah dan menghindari tempat-tempat keramaian termasuk masjid demi mencegah penularan virus, ada satu hal yang harus diingat:
“Semangat beribadah tidak boleh kendor.”
Jadwal amal yaumi dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi, dari mulai tahajjud, shalat Shubuh berjama’ah di rumah, dzikir pagi bersama seluruh anggota keluarga, berlanjut ke bersih-bersih, sarapan, shalat Dhuha, dan seterusnya, harus dilazimi setiap hari.
Saat-saat seperti itulah peran seorang lelaki sebagai ayah dan suami, imam bagi keluarga, sangat dibutuhkan.
Boleh jadi, inilah salah satu hikmah pandemi Covid-19: Memberi kesempatan kepada para ayah untuk lebih intens dalam mentarbiyah putra-putrinya.
Tapi, materi apa yang kira-kira cocok untuk dibahas bersama anak istri?
Tak perlu bingung untuk masalah ini. Orang-orang shalih, sejak dahulu kala, selalu menekankan perkara iman, perkara tauhid.
Pertanyaan yang sering diucapkan kepada keluarga mereka adalah “Maa ta’buduuna min ba’di?” (Apa yang kalian sembah setelah aku meninggal nanti).
Bukan, “Maa ta’kuluuna min ba’di?” (Apa yang akan kalian makan setelah aku mati).
Inilah pembicaraan visi misi keluarga Islami yang berorientasi akhirat.
Selanjutnya, untuk lebih mempertebal atmosfer ketakwaan di dalam rumah, para anggota keluarga bisa saling bergantian muraja’ah (mengulang) hafalan.
Kakak-adik, Abi-Ummi, semua bisa terlibat aktif dalam kegiatan mulia ini. Jika jenuh datang menyapa, berarti pola interaksi dengan Al-Qur’an sudah harus diubah.
Dari sekedar tilawah dan muraja’ah, bisa mencoba kuis qur’ani. Bisa juga saling menguji, “istamir hadzihil ayat…(lanjutkan ayat ini).”
Lebih seru lagi kalau Abi atau Ummi pandai bercerita; menuturkan kisah-kisah teladan dalam Al-Qur’an.
Barangkali di antara pembaca sekalian ada yang bertanya, “Afwan, mungkin gambaran rumah tangga seperti itu diperuntukkan khusus keluarga pesantren yang memang terbiasa menghafal Al-Qur’an. Bagi kalangan umum, sepertinya kurang relevan.”
Jika memang ada anggapan demikian, ketahuilah bahwa keberkahan Al-Qur’an, meliputi siapa dan apa saja yang berkaitan dengannya.
Jadi, tidak pandang bulu apakah orang itu dari kalangan santri atau bukan, ustadz atau kuli bangunan, jika ia bersahabat dengan Al-Qur’an maka ia berhak mendapat syafa’at dan kebaikan darinya.
Coba simak dengan baik fakta-fakta berikut ini:
Jibril, malaikat yang menyampaikan Al-Qur’an, menjadi malaikat paling mulia.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kepadanya Al-Qur’an diturunkan, menjadi nabi dan insan paling mulia.
Lailatul qadar, malam diturunkannya Al-Qur’an, menjadi malam yang paling diberkahi.
Bulan Ramadhan, bulan diturunkannya Al-Qur’an, menjadi bulan teristimewa yang paling dinanti kehadirannya.
Maka, beruntunglah orang yang hatinya menjadi wadah untuk menampung Al-Qur’an.
‘Alaa kulli haal, keindahan ber-taqarrub ilallah bisa dihadirkan meski (untuk sementara ini) kita terhalang datang ke masjid.
Salah satunya dengan meningkatkan kedekatan kita dengan Al-Qur’an.
Jadi, kita bukan sedang ikut-ikutan “Quarantine” semata, tapi juga memaksimalkan “Qur’antime” bersama keluarga.
Wallahu waliyyut taufiq.
Rumus Mengetahui Halaman Pertama di Tiap Juz dalam Al-Qur’an
2 (10n-9)
n adalah juz yang anda inginkan
Apabila Anda ingin mengetahui halaman pertama dalam tiap-tiap juz, berikut langkah-langkah yang bisa dilakukan:
- Tentukan juz berapa yang Anda inginkan
- Kalikan angka tersebut dengan 10
- Kurangi hasil perhitungan tersebut dengan 9
- Kalikan dengan 2
- Sekarang buka halaman Al-Qur’an (Mushaf Ustmani) atau Qur’an pojok sesuai dengan hasil perhitungan
Contoh:
Anda mau membuka juz 15
15 X 10 = 150
150 – 9 = 141
141 X 2 = 282
Atau,
Anda bisa mencoba rumus yang lain
20 (n-1) +2
- Tentukan juz berapa yang Anda inginkan
- Kurangi angka tersebut dengan 1
- Kalikan hasil perhitungan tersebut dengan 20
- Tambahkan 2
- Sekarang buka halaman Al-Quran (Mushaf Ustmani) atau Qur’an pojok sesuai dengan hasil perhitungan
Contoh:
Anda mau membuka juz 15
15 – 1 = 14
14 X 20= 280
280 + 2 = 282
Anda bisa mencoba rumus yang lebih singkat berikut ini
20n-18
- Tentukan juz berapa yang Anda inginkan
- Kalikan angka tersebut dengan 20
- Kurangi hasil perhitungan tersebut dengan 18
- Sekarang buka halaman Al-Quran (Mushaf Ustmani) atau Qur’an pojok sesuai dengan hasil perhitungan
Contoh:
Anda mau membuka juz 15
15 X 20 = 300
300 – 18 = 282
Author : Muhammad Faishal Fadhli (Alumnus Pesantren Darusy Syahadah KMI 14)
Editor : Akhukum Fillah