Daftar Isi
Apa yang harus dilakukan jika belum selesai qadha’ puasa hingga Ramadhan berikutnya?
Pertanyaan
Assalamualaikum wa rahmatullah wa barakatuh
Ustadz, bagaimana jika seseorang yang memiliki hutang puasa Ramadhan belum menyelesaikan qadha’ hingga datang Ramadhan berikutnya?
Apakah kewajiban qadha’ tersebut menjadi gugur?
Juga bagaimanakah keadaan pelakunya? Jazakumullah khairan atas jawabannya.
(Hamba Allah)
Jawaban
Waalaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Ta’ala Rabb semesta alam, shalawat beserta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika bulan Ramadhan tiba, seluruh kaum muslimin berkewajiban untuk melaksanakan puasa.
Bahkan seseorang yang berhalangan melaksanakan puasa dikarenakan adanya udzur syar’i wajib menggantinya di bulan-bulan lain.
Adapun orang yang sudah udzur atau tidak lagi memiliki kemampuan melaksanakan puasa karena sebab-sebab syar’i seperti orang tua renta atau orang sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya maka wajib mengganti dengan membayar fidyah. (Wahbah Zuhaili, al-Wajiz fi al-Fiqh al-Islami, 1/343-345)
Terkait dengan qadha’ puasa Ramadhan, ulama sepakat bahwa orang yang memiliki hutang puasa Ramadhan wajib mengqadha’ (mengganti) di bulan-bulan setelahnya hingga bulan Sya’ban atau sebelum datangnya bulan Ramadhan.
Hal itu sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata
كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلا فِي شَعْبَانَ
“Aku masih memiliki hutang puasa Ramadhan yang belum mampu aku tunaikan hingga tiba bulan Sya’ban.” (HR. Muslim, no. 1146)
Adapun orang yang memiliki hutang puasa Ramadhan dan belum menyelesaikannya sampai masuk bulan Ramadhan berikutnya, maka ia berada di satu dari dua keadaan
Pertama, seseorang yang belum menyelesaikan qadha’ puasa hingga datang bulan Ramadhan berikutnya dikarenakan udzur syar’i.
Seperti orang yang ditimpa suatu penyakit yang masih bisa diharapkan kesembuhannya akan tetapi penyakit tersebut tidak kunjung sembuh hingga masuk puasa Ramadhan berikutnya.
Ia tidak berdosa dan boleh mengqadha’nya sampai tiba masa ia mampu membayar qadha’ tersebut meskipun telah melewati bulan Ramadhan berikutnya.
Lalu ketika memasuki bulan Ramadhan berikutnya dan udzur tersebut telah hilang maka wajib baginya berpuasa untuk Ramadhan waktu itu.
Setelah selesai, kemudian baru menqadha untuk Ramadhan yang telah lalu. (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 32/70)
Kedua, seseorang yang belum menyelesaikan qadha’ puasa hingga datang bulan Ramadhan berikutnya tanpa adanya udzur syar’i.
Pelakunya dihukumi telah berdosa dan wajib baginya beristighfar serta bertaubat kepada Allah.
Dia juga harus berazam untuk tidak mengulanginya kembali. Selain itu para ulama sepakat bahwa ia tetap wajib mengqadha’ puasanya.
Hanya saja para ulama berbeda pendapat apakah seseorang tersebut selain harus mengqadha’ puasanya juga harus membayar fidyah.
Mayoritas ulama dari mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali berpendapat bahwa orang yang tidak punya udzur syar’i dan lalai dalam mengqadha’ puasa sampai bertemu Ramadhan berikutnya, ia wajib membayar fidyah atas hari-hari puasa yang belum diqadha’ itu, tanpa menggugurkan kewajiban qadha’nya.
Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah ia cukup mengqadha’nya tanpa membayar fidyah. (Imam An-Nawawi, Al-Majmu’, 6/366 dan Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 4/400)
Dalam permasalahan tersebut menurut pendapat yang kuat adalah seseorang hanya berkewajiban mengqadha’ puasanya tanpa harus membayar fidyah akan tetapi pelakunya berdosa dan harus bersegera bertaubat kepada Allah. (Syaikh Utsaimin, asy-Syarhu al-Mumti’, 6/451)
Maka orang yang belum menyelesaikan qadha’ puasa Ramadhan hingga datang Ramadhan berikutnya ia tetap berkewajiban untuk mengqadha’ pada bulan-bulan setelah Ramadhan yang kedua.
Tidak sepantasnya pula bagi seorang muslim menunda-nunda pelaksanaan qadha’ puasa Ramadhan tanpa adanya udzur syar’i.
Sehingga seseorang yang masih memiliki hutang puasa Ramadhan sebaiknya bersegera mengqadha’nya sebelum Ramadhan berikutnya datang. Wallahu a’lam bishawab.
Dijawab oleh Ustadz Arif Manggala, Lc