Daftar Isi
Renungan Bagi para Guru dan Pendidik
Perbincangan tentang rendahnya akhlak siswa kepada guru bukanlah hal yang baru. Bahkan bisa dikatakan sejak beberapa tahun terakhir ini keadaan semakin merosot.
Mulai dari kekerasan, pornografi, hingga fenomena rendahnya penghormatan siswa terhadap guru. Banyak bentuknya, mulai dari acuh tak acuh terhadap guru dalam proses KBM sampai kekerasan verbal bahkan kekerasan fisik.
Faktor pendorong yang memunculkan fenomena rusak tersebut sangat banyak dan berkelindan. Namun disadari atau tidak, ada faktor lain yang ternyata tak dapat diabaikan yaitu rendahnya integritas dan moral para pendidik.
Bukan hanya moral secara pribadi, namun juga moral dan akhlak terhadap para peserta didik. Sekedar contoh adalah sikap kekerasan yang kerapkali dipertontonkan oleh sebagian oknum guru di negeri ini.
Koran Sindo, Jum’at (30/10/2015) mengangkat berita tentang pemukulan seorang siswa SD di wilayah Kendal, Jawa Tengah, oleh seorang guru yang berakibat meninggalnya siswa tersebut.
Masih di Koran yang sama pada Ahad (8/5/2016) seorang siswa di sebuah SD Inpres di Cambaya (Makasar, Sulsel) melaporkan oknum guru di sekolahnya ke Unit Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Polres Gowa.
Kepada polisi JE (siswa) melaporkan SB seorang oknum guru pegawai negeri sipil (PNS) di sekolahnya yang diduga tega memukulinya hingga mengalami luka lebam di wajahnya Sabtu 7 Mei 2016.
Itu hanya sekedar contoh yang terekspos, kasus yang belum diangkat masih banyak.
Dalam Islam, guru memiliki kedudukan yang istimewa. Sebab, selain bertugas mentransfer ilmu sejatinya ia adalah seorang pendidik yang bertugas mentransfer nilai-nilai kebaikan kepada peserta didiknya.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umamah al-Bahiliy radhiyallahu ‘anhu dia berkata
ذُكِرَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلاَنِ أَحَدُهُمَا عَابِدٌ وَالاَخَرُ عَالِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَاكُمْ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرَضِينَ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ. رواه الترمذى
Diceritakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dua orang laki-laki. Lelaki yang satu adalah seorang ‘abid (orang yang banyak beribadah) dan yang satu lagi seorang ‘alim (orang yang banyak ilmu).
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kelebihan seorang alim daripada orang yang beribadah adalah seperti kelebihanku dibandingkan dengan salah seorang seorang dari kalian yang paling rendah.”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (lagi), “Sesungguhnya Allah Ta’ala, malaikat-Nya, penduduk langit dan bumi, sampai semut yang berada dalam sarangnya, serta ikan, seluruhnya bershalawat (memohon rahmat) untuk orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban, Shahih)
Bahkan di dalam hadits lain seorang mu’alim (pengajar) yang memiliki ilmu agama yang tinggi (ulama) adalah pewaris para Nabi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Ulama adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya para Nabi tidaklah mewariskan dinar dan dirham.
Mereka mewarsi ilmu. Siapa yang mengambilnya berarti telah mengambil bagian yang besar.” (HR Abu Dawud, Al-Hafidz Ibnu Hajar menyatakan hadits ini hasan)
Oleh karena itu, menurut Islam seorang guru harus dimuliakan dan dihormati sebab ia adalah wasilah bagi seseorang untuk mendapatkan hidayah, menemukan jalan kebenaran.
Namun penghormatan terhadap guru juga berbanding lurus dengan dengan adab dan kewajiban yang mesti ditunaikan.
Bila ini dilanggar, wajar bila kemudian para murid justru merendahkan dan melecehkan kehormatan guru. Ada banyak adab yang kiranya perlu diperhatikan para guru, di antaranya adalah sebagai berikut.
Ikhlas Mencari Ridha Allah Ta’ala
Di era yang sarat dengan materialisme ini, pendidikan juga turut mengalami disorientasi. Hal ini tentu juga berpengaruh pada orientasi mengajar seorang guru.
Banyak guru yang sekedar memenuhi jam mengajar atau sekedar bekerja namun kehilangan ruh dalam mengajar. Akibatnya tugas yang diemban terasa lebih berat dari yang sesungguhnya.
Apa lagi bila rintangan dan aral melintang, pasti beban itu semakin berat dirasakan. Akibat selanjutnya adalah penurunan kualitas pengajar yang pasti akan dirasakan oleh peserta didik.
Oleh sebab itu, berusaha mengikhlaskan niat hanya mencari ridha Allah adalah cara utama dan pertama dalam menigkatkan performa seorang guru dalam mengemban tugasnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ وَمُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ
“Tiga hal pengusir galau dari hati seorang muslim, ikhlas beramal hanya karena Allah Ta’ala, komitmen dengan arahan para pemimpin kaum muslimin, dan melazimi jamaah mereka.“ (HR Abu Dawud, Tirmidzi dan yang lainnya. Dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ As-Shaghir No. 6766)
Menjadi Teladan Utama dalam Amal dan Akhlak
Kemuliaan guru tak semata-mata karena banyaknya ilmu yang dimiliki, tetapi pada praktek nyata imu yang dimiliki. Karena praktek nyata inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam digelari uswah hasanah (contoh yang baik).
Begitu pula para ulama yang digelari sebagai waratsatul anbiya’ (pewaris para Nabi). Mewarisi para Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan sekedar teori belaka, tapi juga mewarisi sikap mental pribadi yang patut diteladani.
Bila yang terjadi sebaliknya, maka ilmu yang dimiliki tak punya nilai apa-apa kecuali tumpukan kitab yang dipikul orang–orang bodoh, persis seperti keledai yang kerjanya hanya sekedar kuli angkut, itulah orang-orang Yahudi.
Allah Ta’ala berfirman
مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآَيَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang lalim.” (QS Al-Jumu’ah: 5)
Di dalam ayat ini Allah Ta’ala menyerupakan orang-orang Yahudi yang dibebani perintah mengamalkan Taurat tetapi mereka tak mengamalkannya, seperti keledai yang memikul tumpukan kitab namun tak mengerti isi kandungannya.
Perumpamaan yang sangat buruk bagi orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah. Tak sedikitpun ayat-ayat itu bermanfaat bagi mereka.
Allah tak kan memberikan taufik kepada orang-orang yang zalim lagi menerjang aturan-aturan Allah serta keluar dari ketaatan. (At-Tafsir Al-Muyassar: 131)
Menghiasi Diri dengan Muraqabatullah
Meraih keikhlasan sekaligus mencitrakan diri sebagai teladan bukan perkara yang sepele. Bahkan seringkali harus tercemari oleh motif-motif duniawi sesaat semisal popularitas dan jabatan mentereng.
Salah satu jurus yag manjur untuk mengatasinya adalah selalu menghadirkan muraqabatullah (merasa sealau diawasi Allah Ta’ala).
Sungguh, mengajar dan mendidik adalah amanah agung yang kita para pendidik akan dimintai tanggung jawabnya, maka janganlah kita mengkhianatinya.
Allah Ta’ala berfirman
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetaihui” (QS. Al-Anfal: 27).
Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Ilmu itu bukanlah apa yang dihafal tapi ilmu adalah apa yang bermanfaat.” (Tadzkiratus Sami’ Wal Mutakallim, hal: 215) .
Menumbuhkan muraqabatullah dapat dilakukan manakala para guru, mu’alim, senantiasa berkomitmen melaksanakan ibadah yang wajib maupun sunah, serta menjauhi segala yang dilarang.
Agar maksimal maka diperlukan komunitas saleh yang saling mengingatkan dalam kebaikan. Sebab lingkungan adalah faktor yang sangat penting unttuk diperhatikan.
Tetap Semangat Meski Murid Belum Sepenuh Hati
Mengajar dan menddik memang bukan pekerjaan ringan, ada saja hambatan dan rintangan yang dihadapi. Salah satunya adalah polah tingkah dan kurangnya semangat para murid. Hal tersebut adalah sebuah sunatullah yang pasti ada.
Oleh karena itu, meski seorang siswa pada awalnya kurang ikhlas dan serius dalam menuntut ilmu, bukan berarti seorag pengajar harus mundur dari tugasnya.
Justru dengan barakah ilmu keikhlasan dan kesungguhan, murid akan dapat diharapkan pada saatnya. Bahkan, keikhlasan sejatinya merupakan derajat tertinggi seorang hamba, hingga dibutuhkan proses yang lama dan tarbiyah yang berkelanjutan.
Sebagan Ulama Salaf mengatakan
طَلَبْنَا الْعِلْمَ لِغَيِر اللهِ فَأَبَى أَنْ يَّكُونَ إِلَّا للهَ
“Kami mencar ilmu untuk selain Allah, tapi ilmu enggan dan hanya mau karena Allah.”
Sebagian ulama menjelaskan ungkapan di atas, bahwa ilmu itu tujuan akhirnya adalah ikhlas karena Allah (meski awalnya tidak).
Bila para pemula harus dipaksa ikhlas dan serius sejak awal, ini menyulitkan dan menjadikan ilmu sia-sia. (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakalimin, hal. 215)
Nah di sinilah peran utama seorang guru untuk membangkitkan semangat dan gairah para siswa untuk menuntut ilmu.
Tegas Namun Tetap Santun
Dalam rangka mendidik, hukuman sangatlah diperlukan, agar para peserta didik selalu serius dan tak menyepelekan ilmu serta ulama.
Bahkan, sekali waktu pukulan pun diperlukan untuk tujuan itu. Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang pendidikan shalat bagi anak,
مُرُوا أوْلادَكُمْ بِالصَّلاةِ وَهُمْ أبْنَاءُ سَبْعِ سِنينَ ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا ، وَهُمْ أبْنَاءُ عَشْرٍ
“Perintahkan anakmu untuk shalat saat usianya telah mencapai tujuh tahun, pukullah mereka saat usaia mereka telah sepuluh tahun bila mereka enggan melaksanakannya.” (HR. Abu Daud, hadits hasan)
Meski demikian, tentu tak sembarang memukul. Ada aturan koridor yang perlu diperhatikan. Di antaranya jangan memukul wajah serta bukan pukulan yang membuat cidera.
Al-Imam Muhammad ‘Ali bin Muhammad Alaan Asy Syafi’iy berkata, “Maksudnya pukullah dengan pukulan yang tak mencederai dan hati-hati jangan sampai mengenai wajah.” (Dalilul Falihin Lituruqir Riyadhish-shalihin, 2/434)
Pukulan yang dilakukan juga bukan merupakan ekspresi kemarahan seorang guru atau balas dendam seorang guru terhadap murid. Tapi tak lebih merupakan bentuk pendidikan sekaligus bentuk kasih sayang guru kepada anak.
Syaikh Utsaimin berkata saat menjelaskan hadits di atas, “Pukulan yang dimaksud dalam hadits di atas adalah pukulan yang bernlai pendidikan dan tidak membahayakan anak.
Maka seorang bapak tak diperkenankan memukul anak dengan pukulan yang mencederai serta dilakukan berkali-kali, apalagi menjadi sebuah kebiasaan.” (Syarh Riyadhus Shalihin, Ibnu Utsaimin, 1/336)
Dengan demikian, pukulan tak bisa dihilangkan sama sekali dari dunia pendidikan. Kurang tepat bila dengan alasan banyaknya kasus kekerasan guru kemudian meninggalkan sama sekali pemukulan.
Sesuatu yang diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu mengandung maslahat yang banyak.
Syaikh Utsaimin berkata, masih dalam menjelaskan hadits di atas, “Oleh karena itu, tidak benar pendapat pakar pendidikan kontemporer hari ini yang mengklaim sebagai pendidik sejati, bahwa tidak ada pukulan bagi anak kecil di sekolah.
Hadits di atas adalah bantahan yang telak, sebab bagi sebagian anak omongan semata tak bermanfaat, seringkali pukulan justru lebih bermanfaat.” (Syarh riyadhis Shalihin Ibnu Utsaimin, 1/357)
Demikian sekilas adab-adab yang seyogyanya diperhatikan para guru, agar amanah yang mereka emban berbarakah. Amin.
Wallahu a’lam bishshawab.
Ditulis oleh: Ust. Syahidan Sulthoni, S.Psi
Editor: Yazid Abu Fida’