Menghormati ulama dan bersikap rendah hati kepada mereka merupakan satu keharusan bagi seorang penuntut ilmu. Sebab, lewat perantara merekalah ilmu sampai kepada kita dan dengannya pula kita bisa mengetahui perintah dan larangan Allah ﷻ.
Maka jangan sampai kita merendahkan dan mencela para ulama karena mereka adalah orang-orang yang telah diangkat derajatnya oleh Allah ﷻ. Allah ﷻ mengingatkan agar seluruh manusia menghormati mereka dengan firman-Nya,
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi-Nya.” (QS. Al-Hajj: 30)
Dalam ayat lain Allah ﷻ berfirman
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Haj: 32)
Makna sya’a-ir dalam ayat tersebut adalah semua hal yang Allah berikan keutamaan dan pengagungan terhadapnya. Sehingga tidak diragukan lagi bahwa para ulama termasuk dalam kategori tersebut yang mengharuskan kita untuk menghormati mereka.
Allah ﷻ telah memerintahkan hamba-Nya agar tidak mengeraskan suara di hadapan Nabi ﷺ dan bersikap tawaduk kepadanya agar rahmat Allah turun kepada mereka. Maka tidak diragukan lagi bahwa hal ini juga berlaku untuk para ulama karena mereka adalah pewaris para Nabi.
Bila menghormati para ulama diperintahkan, maka sebaliknya, menghina dan merendahkan mereka tentu sangat dilarang.
Siapa pun, terkhusus para penuntut ilmu haruslah memperhatikan adab-adab kepada seorang ulama atau ahlu ilmi karena hal tersebut merupakan salah satu pintu yang akan memudahkan seseorang dalam mempelajari dan memahami ilmu.
Bahkan bisa jadi keberkahan dan manfaat dari ilmu tersebut tidak akan pernah bisa diperoleh ketika seseorang tidak menghormati ilmu dan ahli ilmu.
Termasuk perangkap setan kepada para pencari ilmu adalah berbuat ghibah kepada temannya atau kepada para ulama yang tidak sependapat dengannya. Padahal boleh jadi perbedaan pendapat itu pada masalah yang memang diperbolehkan untuk berbeda.
Oleh karena itu sudah seharusnya para pencari ilmu mengetahui adab-adab khilaf (berbeda pendapat) dengan tetap menjaga ukhuwah dan rasa cinta sesama muslim. Alangkah baiknya bila berdebat dengan menggunakan cara ilmiah, tidak dalam rangka mencari kemenangan diri atau menjatuhkan lawan.
Namun, sangat disayangkan justru banyak didapati perbedaan pandangan yang berkembang menjadi perselisihan pribadi dan ingin saling memenangkan diri. Akhirnya berani untuk menghalalkan kehormatan kaum muslimin khususnya ulama, serta mencari-cari kesalahan dan kelemahannya.
Maka ada baiknya kita mengingat apa yang dikatakan oleh al-Hafidz Ibnu Asakir. Beliau berkata, “Wahai saudaraku, ketahuilah bahwa daging seorang ulama itu ‘beracun.’ Allah ﷻ akan membukakan aib seseorang yang mencela ulama, bahkan Allah akan menimpakan bencana kepadanya dengan kematian hati sebelum kematian jasadnya.”
Allah ﷻ mengingatkan kita dengan firman-Nya
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nur: 63)
Mereka yang mencela ulama, baik mencela kepribadian ataupun mencela ilmu yang mereka bawa, sejatinya juga turut mencela Islam yang datang dari Allah dengan perantara Rasul-Nya.
Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata
من آذى فقيها فقد آذى رسول الله صلى الله عليه وسلم ومن آذى رسول الله فقد آذى الله عزوجل
“Barang siapa yang mencela ulama, maka sungguh ia telah mencela Rasulullah ﷺ dan barang siapa yang mencela Rasulullah, maka sungguh ia telah mencela Allah ﷻ.” (At-Targhib fi Fadhaili al-A’mal, 316)
Bahkan para salaf telah memberikan banyak contoh bagaimana mereka menghormati ulama. Di antaranya adalah kisah Ibnu Umar, seorang sahabat yang memilih untuk diam ketika Rasulullah ﷺ memberikan pertanyaan kepada para sahabatnya sekalipun beliau bisa menjawab.
Hal itu beliau lakukan karena di majelis tersebut terdapat sahabat Abu Bakar dan Umar bin al-Khatab yang jauh lebih senior dan Ibnu Umar ingin menghormati mereka.
Kisah yang semisal juga datang dari salah seorang putra sahabat yang bernama Samurah bin Jundub. Ketika di hadapan Nabi ﷺ ia berkata, ”Di masa Rasulullah masih hidup, aku adalah seorang anak kecil yang turut menghafal hadits dari beliau. Aku tidak mau berbicara karena di situ terdapat orang-orang yang lebih tua dariku.”
Imam Hasan al-Bashri ketika membimbing anaknya mengenai adab mencari ilmu beliau mengatakan, ”Wahai anakku, jika engkau sedang duduk menimba ilmu dari ulama, maka hendaklah engkau lebih antusias untuk mendengar dari pada berbicara.
Belajarlah mendengar yang baik sebagaimana engkau belajar berbicara yang baik. Janganlah engkau memotong pembicaraan orang sekalipun ia berbicara begitu panjang sampai ia sendiri yang menyudahi pembicaraannya.”
Para ulama telah memberikan gambaran konkret tentang apa yang harus dikerjakan oleh seorang penuntut ilmu. Menghormati para ulama adalah satu keharusan sedangkan mencela mereka dalam bentuk apa pun tidaklah dibenarkan.
Sebab para ulama merupakan hamba yang dilebihkan Allah ﷻ daripada yang lain. Bahkan Rasulullah ﷺ mencela orang yang tidak mau menghormati ulama. Beliau bersabda
ليس منا من لم يجل كبيرنا و يرحم صغيرنا و يعرف لعالمنا
“Tidaklah termasuk bagian dari umatku orang yang tidak menghormati yang tua dan yang menyayangi yang muda serta mengerti akan hak orang Alim.” (HR. Ahmad)
Ulama juga memiliki kebaikan yang tidak dimiliki orang lain sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ
من يرد الله به خيراً يفقهه فى الدين
“Barang siapa yang Allah menginginkan kebaikan padanya, maka Dia akan memahamkan agama baginya.” (HR. Bukhari)
Oleh sebab itu jangan sekali-kali kita mencela dan merendahkan ahlu ilmi serta mencari-cari kesalahan mereka. Sebab sekalipun mereka memiliki kekurangan dan keterbatasan tentunya kebaikan serta keutamaan mereka jauh lebih banyak dirasakan. Wallahu a’lam bish shawab.