Dalam pemberitaan Jawa Pos edisi Selasa 2 Februari 2016, disebutkan informasi dari BNPT bahwa diantara pesantren yang terindikasi ada ajaran radikalismenya adalah Pesantren Darusy Syahadah Boyolali.
Entah dengan dasar apa tuduhan tersebut. Yang pasti belum ada yang datang berdialog dan berdiskusi langsung dengan pesantren sebelum munculnya tuduhan tersebut. Yang jelas, pesantren merasa keberatan dengan pernyataan tersebut. Karena info tersebut sama dengan mendeskriditkan pesantren sebagai pesantren radikal. Dan merupakan pembunuhan karakter kepada pesantren yang tentunya berimplikasi kepada ketakutan ummat kepada pesantren dengan stigma tersebut.
Sesungguhnya Pesantren Darusy Syahadah sejak didirikan pada tahun 1994 berusaha mengajarkan Islam sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW kepada para sahabat, Islam yang memiliki iman yang kuat, ibadah yang baik, akhlak mulia dan menjadi rahmat bagi semesta alam.
Pesantren Darusy Syahadah berusaha membangun komunikasi dengan segenap elemen bangsa. Demikian pula berusaha memberi manfaat kepada sesama. Ada tidak kurang dari 52 masjid dan musholla di sekitar pesantren menjadi tempat praktek santriwan mengajari anak-anak dan dewasa. Para ustadznya pun banyak memberi ceramah di wilayah Boyolali dan sekitarnya, bekerja sama dengan berbagai ormas Islam dan majelis pengajian.
Demikian pula alumninya yang lebih dari seribu orang telah berkiprah di masyarakat dengan berbagai ormas dan lembaga pendidikan Islam. Dan Alhamdulillah sebagian besar diterima masyarakat. Bahkan setiap tahun, jumlah peminta tenaga wiyata bakti melebihi jumlah alumni yang dikeluarkan.
Darusy Syahadah juga secara berkala mengadakan silaturrahmi dan mengadakan perkumpulan dengan para takmir masjid se-Simo dan sekitarnya. Hubungan dengan sesama kaum muslimin dari lembaga Muhammadiyah atau NU juga terjalin baik. Demikian pula dengan MUI.
Intinya, selama ini Pesantren Darusy Syahadah berbaur dengan kaum muslimin dan menerima dengan baik kehadiran kami. Maka jika kemudian ada yang menuduh dengan tuduhan yang tidak layak, maka pesantren meminta bukti dan klarifikasi. Apakah jika dari ribuan alumni, lalu ada satu dua yang berlaku tidak benar bisa kita sebut lembaga tersebut salah? Apakah adil jika ada koruptor alumi perguruan tinggi tertentu kemudian kita katakan bahwa perguruan tinggi tersebut tempat persemaian koruptor? Kita berharap elemen bangsa ini bisa berlaku adil dalam menilai sesama anak bangsa.
(Qosdi Ridwanullah, Mudir Ma’had Darusy Syahadah)