Rendah hati (tawadhu’) adalah sifat yang sangat terpuji di hadapan Allah i dan juga di hadapan makhluk-Nya. Karena dari sifat yang mulia ini akan melahirkan berbagai sikap mulia. Dengan sifat tawadhu’ orang akan bisa saling menghargai, saling menghormati dan menjaga perasaan orang lain. Dia akan merasa bahwa dirinya bukanlah orang yang sempurna, serba kurang dan tidak mungkin bisa hidup sendiri. Sifat ini pulalah yang akan menghindarkan seseorang dari sifat membanggakan diri dan sombong. Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah kita sebagai orang yang beriman untuk selalu menghiasi diri dengan sifat tersebut.
Perintah Tawadhu’
Sifat tawadhu’ merupakan sifat yang sangat dianjurkan, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman;
الَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ إِلَّا اللَّمَمَ إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَإِذْ أَنْتُمْ أَجِنَّةٌ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
“(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha luas ampunan-Nya. dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32)
Demikianlah, Allah menutup pintu-pintu yang menjurus kepada takabbur (sombong) dengan melarang dari memuji-muji diri sendiri karena dari sinilah benih takabbur (sombong) datang. Allah swt juga memerintahkan Rasul-Nya untuk berhias dengan akhlaq yang mulia ini, sebagaimana firman-Nya;
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Rendahkanlah hatimu terhadap orang yang mengikutimu (yaitu) dari kalangan mu’minin.” (QS. Asy-Syu’ara’: 215)
Begitu juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau senantiasa memerintahkan para shahabatnya untuk bersikap tawadhu’. Iyad bin Himar menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلَا يَبْغِ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian merendahkan hati sehingga seseorang tidak menyombongkan diri atas yang lain dan tidak berlaku zhalim atas yang lain.” (HR. Muslim)
Dari hadits ini kita dapat mengambil faedah yang cukup banyak di antaranya, bahwa tawadhu’ merupakan jembatan menuju keharmonisan, saling menghargai, keadilan dan kebajikan. Sehingga mewujudkan kondisi lingkungan masyarakat yang lebih dinamis dan kondusif.
Keutamaan Sifat Tawadhu’
Pertama: Mendapatkan Derajat yang Tinggi
Seseorang yang memiliki sifat mulia ini akan menempati kedudukan yang tinggi di hadapan Allah dan makhluk-Nya. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam;
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ
“Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah diri) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya .” (HR. Muslim).
Yang dimaksudkan di sini, Allah akan meninggikan derajatnya di dunia maupun di akhirat. Di dunia, orang akan menganggapnya mulia, Allah pun akan memuliakan dirinya di tengah-tengah manusia, dan kedudukannya akhirnya semakin mulia. Sedangkan di akhirat, Allah akan memberinya pahala dan meninggikan derajatnya karena sifat tawadhu’nya di dunia.
Tawadhu’ juga merupakan akhlak mulia dari para Nabi. Lihatlah Nabi Musa as melakukan pekerjaan rendahan, membantu memberi minum pada hewan ternak dalam rangka menolong dua orang wanita yang ayahnya sudah tua renta. Lihat pula Nabi Daud as makan dari hasil kerja keras tangannya sendiri.
Lihat pula bagaimana keseharian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumahnya, beliau tidak segan-segan untuk membantu istrinya. Bahkan jika sendalnya putus atau bajunya sobek, beliau sendiri yang menjahit dan memperbaikinya. Hal ini sebagaimana yang diceritakan oleh ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha ;
عَنْ عُرْوَةَ قَالَ قُلْتُ لِعَائِشَةَ يَا أَمَّ اْلمُؤْمِنِيْنَ أَيُّ شَيْئ ٍكَانَ يَصْنَعُ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَاكَانَ عِنْدَكِ ؟ قَالَتْ: ” مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ يَخْصِفُ نَعْلَهُ و يَخِيطُ ثَوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ
“Dari Urwah, Urwah bertanya kepada ‘Aisyah, “ Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala bersamamu (di rumahmu)? ”Aisyah menjawab,“ Beliau melakukan seperti apa yang dilakukan salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya. Beliau mengesol sandalnya, menjahit bajunya dan mengangkat air di ember. ” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban
Kedua: Sebab Mendapatkan Jannah-Nya
Tentu orang-orang yang selalu berhias dengan sikap tawadhu’, mereka itu adalah sebenar- benarnya mushlihun, yaitu orang-orang yang suka mendatangkan kebaikan dan kedamaian. Karena sikap tawadhu’ tersebut akan melahirkan akhlak-akhlak terpuji lainnya dan akan menjauhkan orang-orang yang berhias dengannya dari sikap-sikap amoral (negatif) yang dapat merusak keharmonisan masyarakat.
Oleh karena itu Allah menjanjikan Jannah bagi orang-orang yang memiliki sikap tawadhu’ bukan kepada orang-orang yang sombong, sebagaiamana dalam firman-Nya:
تِلْكَ الدَّارُ الْآَخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
“Itulah negeri akhirat yang Kami sediakan (hanya) untuk orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi. Dan kesudahan yang baik itu (hanya) bagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al Qashash: 83)
Demikianlah, apabila tercermin dalam diri kita sifat tawadhu’ niscaya akan terwujud sebuah kehidupan yang diliputi dengan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akherat. Semoga Allah swt selalu membimbing kita ke jalan-Nya yang benar dan selalu menghiasi diri kita dengan akhlaq yang baik. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamiin